SINGAPURA memiliki luas wilayah yang relatif kecil, bahkan yang paling kecil, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Meski demikian, negara ini justru menjadi yang paling sejahtera secara ekonomi, paling siap secara infrastruktur, paling maju dari sisi pendidikan, serta memiliki pendapatan per-kapita paling tinggi di kawasan yang, secara tradisional, merupakan titik pertemuan perdagangan antara China dan Jepang di timur, dan India, Arab, serta Eropa di barat. Posisinya yang strategis inilah yang bisa dioptimalkan menjadi sumber pembangunan negara-kota ini.
Keuntungan dan keunggulan yang dimilikinya membuat Singapura menjadi magnet sejak masa prakolonial.
Penduduk Singapura merupakan campuran berbagai etnis di Asia dan kini juga etnis Eurasia. Kondisi ini serupa dengan kota-kota pelabuhan pada masa prakolonial hingga masa kolonial.
Pada masa itu, pelabuhan-pelabuhan menjadi kawasan metropolitan. Penguasa pribumi di pedalaman menjadi pemasok hasil pertanian sementara pengelolaan pelabuhan ditangani oleh etnis China yang sekaligus juga menjadi pemasok bahan dagangan dari kawasan Asia Timur.
Penduduk etnis India dan Arab memasok material dari Asia Barat hingga Eropa. Penduduk berbeda etnis ini menjakankan adat budaya dan agamanya masing-masing serta tinggal di kampung yang saling terpisah antara satu kelompok dengan yang lain. Di pelabuhan terjadi divisi pekerjaan yang membuat tata kelola pelabuhan dapat berjalan. Kepentingan ekonomi merupakan alat yang menyatukan kelompok yang berbeda ini. Ini adalah Plural society yang disebutkan oleh JS Furnival.
Kemajuan ekonomi yang diperoleh Singapura melalui cara kerja tersebut mampu secara pesat meningkatkan perekonomian negaranya. Lapangan pekerjaan yang kini tersedia melimpah di kota pelabuhan ini menarik minat orang dari negara lain, terutama negara tetangga, untuk datang mengadu peruntungan.
Data statistik menunjukkan bahwa lebih dari seperempat dari total 5,64 juta penduduk adalah pendatang. Artinya, satu dari setiap empat orang penduduk merupakan yang tidak lahir di negara tersebut. Tingginya aktivitas ekonomi membuat jumlah penduduk luar negara terus bertambah.
Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk ada di angka 3,4% dari bulan Juni 2021 ke Juni 2022. Angka ini cukup jauh dari pertumbuhan penduduk dunia sebesar 1.19 % per tahun selama periode 2011-2021.
Jumlah penduduk tersebut mendiami pulau yang minim sumber daya alam. Laporan Singapore Food Statistik tahun 2021 menyebutkan hanya 1% lahan negara tersebut disiapkan untuk memproduksi makanan. Akibatnya, 90% bahan pangan harus diimpor.
Keterbatasan lahan nampaknya juga mempengaruhi strategi pembangunan fisik yang dilakukan termasuk upaya penyediaan permukiman.
Selama tiga hari berkeliling ke beberapa tempat, gedung-gedung kotak tinggi mendominasi pemandangan di luar jendela bus. Itulah rumah susun hingga apartemen di mana penduduk tinggal. Pemerintah sangat membatasi rumah tapak demi menghemat lahan.
Pembangunan gedung-gedung tinggi membutuhkan material-material beton dan tenaga kerja dalam jumlah besar. Keduanya juga dipenuhi oleh supply dari luar negara. Beton-beton struktural dibungkus dengan material lembaran-lembaran metal dan kaca berbagai ukuran sebagai kulit utama bangunan.
Salah satu gedung di Singapura | Foto: Gede Maha Putra
Bahan-bahan bangunan tersebut bukanlah yang ramah terhadap lingkungan dan sering dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan. Akan tetapi, kebutuhan ruang yang terus bertambah membuatnya terus dipakai. Untuk itu, bangun-bangunan harus dibuat tahan lama untuk bertahan ratusan tahun. Selain menghemat biaya konstruksi, ini juga bertujuan memperpanjang usia bangunan, mencegah bongkar-bangun yang akan semakin merusak lingkungan.
Proses konstruksi bukan satu-satunya faktor merusak lingkungan dalam dunia tantangan bangun. Justru operasional dan perawatan bangunan bisa menjadi penyumbang dampak buruk terbesar. Kebutuhan energi untuk menerangi ruangan, menurunkan suhu di dalam bangunan agar para pengguna gedung merasa dan, untuk mesin-mesin yang membantu menaikturunkan manusia dari lantai ke lantai bisa menyumbangkan dampak negatif yang sangat besar.
Hal ini mendorong pemerintah mendukung setiap pembangunan yang memberi ruang hidup yang memadai bagi tumbuhan dan hewan melalui pemberian insentif. Insentif diberikan jika pengembang mampu meyakinkan pemerintah bahwa aktivitas pembangunan fisik yang mereka lakukan mampu menekan penggunan energi semaksimal mungkin hingga mendekati nol bahkan surplus, mampu mengelola air hujan dan limbah di dalam wilayah propertynya dan hal positif lain.
Di National University of Singapore, para perancang dan kontraktor bekerja bahu membahu untuk membangun pengetahuan yang mampu mendukung upaya mengurangi penggunaan energi dalam proses konstruksi dan operasional bangunan sekaligus menjamin keberlanjutan negara dengan keterbatasan luas wilayah ini. Mempelajari kembali pengetahuan nenek moyang dan menerapkanya dengan penyesuaian terhadap konteks hari ini menghasilkan bangunan yang hemat energi.
Salah satu gedung di Singapura | Foto: Gede Maha Putra
Bangunan-bangunan dibuat porous, tidak masif, sehingga angin dapat bergerak bebas di sebagian ruangan yang sengaja dirancang minim sekat. Atap dibuat lebar sehingga bayangannya menaungi permukaan bangunan sekaligus menghindari tempias hujan.
Dalam kondisi dimana sekat tidak terelakkan, pendingin ruangan diatur untuk bekerja dalam suhu 28 derajat. Pendinginan dibantu kipas sehingga suhu 28 derajat tersebut terasa sekitar 24 derajat saja. Strategi ini meringankan kerja mesin, mengurangi penggunaan daya, sekaligus memperpanjang usia pakainya.
Finishing bangunan diaplikasikan seperlunya. Sebagian besar plafond dibiarkan terbuka memperlihatkan jaringan utilitas pipa air dan kabel listrik. Selain menghemat bahan, ini juga bisa menjadi bahan ajar bagi mahasiswa arsitektur.
Tindakan dan intervensi strategi desain baru untuk menjadikan bangunannya ramah lingkungan tidak hanya terjadi di bagian interior tetapi juga eksterior. Pohon-pohon besar dan kecil mendominasi halaman. Sekilas nampak seperti hutan.
Rewilding, demikian penjelasan salah satu profesor arsitektur tentang konsep tata hijau kampus terkemuka di dunia ini. Rewilding kurang lebih memiliki makna memberikan kesempatan kepada pepohonan untuk tumbuh sesuai kodratnya. Seperti di hutan. Ini juga membuat species berbagai binatang hadir di kampus.
Serangga, mamalia, juga burung hidup berdampingan, beraktivitas bersama para mahasiswa. Ini sering juga disebut dengan istilah biophilia sebagaimana dicetuskan oleh Edward O. Wilson.
Biophilia sebagai strategi desain nampaknya cocok dengan kondisi Singapura dimana keterbatasan lahan harus berhadapan dengan tingginya intensitas pembangunan. Membiarkan unsur alam untuk turut hadir dalam bangunan bisa menjadi penyeimbang tumbuh pesatnya tiang-tiang beton vertikal.
Baik pemerintah maupun masyarakat sepertinya menyadari keterbatasan sumber daya yang mereka miliki. Hal ini memberi sedikit tekanan bagi arsitek, desainer dan pengembang untuk terus melakukan inovasi.
Sekolah-sekolah arsitektur tidak hanya menjadi penyumbang lulusan tetapi sekaligus berperan sebagai laboratorium uji coba temuan atau ide baru, menghasilkan penelitian tepat guna yang membantu terwujudnya visi bersama.
Hasil dari kesadaran bersama dengan dukungan kebijakan pemerintah dan sumbangan pemikiran serta hasil kerja perguruan tinggi nampak nyata. Dalam lebih dari satu dekade terakhir banyak bangunan-bangunan yang telah diwujudkan untuk bekerja dalam konsep biophilia. Ini tentu membantu menciptakan ruang hidup yang baik bagi penduduk serta lingkungan alamiah negara tetangga Indonesia ini.
Akan tetapi tantangan tidak hanya datang dari dalam tetapi juga dari luar. Impor bahan makanan yang sangat tinggi rentan gangguan masalah distribusi. Persoalan pada rantai pasok bisa mengakibatkan kekacauan.
Ruang hijau pada salah satu gedung di Singapura | Foto: Gede Maha Putra
Upaya untuk menanam edible food di taman serta mengembangkan pertanian vertikal kini diupayakan. Selain itu, ada persoalan lain yang muncul dari strategi arsitektural yang terlihat seragam. Meski saya merasakan kenyamanan, entah mengapa tidak terasa hal yang menyentuh ‘rasa’.
Ada rasa tidak terkoneksi secara emosional. Pernyataan ini tentu sangat personal dan cenderung bias karena latar belakang saya yang tumbuh dan berkembang di lingkungan dengan latar belakang ikatan budaya yang kental. [T]