Catatan: Artikel ini adalah juara kedua dalam Wimbara (Lomba) Penulisan Opini pada Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2023
PADA suatu momentum di pinggiran barat Kota Denpasar, seorang pemikir Bali bergumam pada saya. Katanya, “Jika seorang sarjana kedokteran bisa menjadi dokter yang mengobati pasien, seorang sarjana arsitektur berperan sebagai aktor pembangunan gedung, dan sarjana pertanian lahir menjadi agen-agen pemajuan dunia pertanian, lalu apa peran seorang sarjana sastra?”
Kala itu saya berpikir keras untuk memilih kata yang tepat sebagai jawaban. Saya curiga pertanyaan itu diajukaan bukan sekadar pertanyaan, tetapi juga sebagai jebakan. Kebetulan saya seorang sarjana sastra yang sungguh tidak memiliki pengetahuan luas pada dunia sastra. Selain itu, sang penanya juga dikenal sebagai seorang kritis dan kadang “sinis” pada berbagai hal. Mungkin memang demikian seorang pemikir. Atas alasan-alasan itulah saya merasa harus memilih kata yang tepat agar tidak terjebak dan terjerat.
Lantaran saya tak kunjung menjawab, ia lantas menjawab sendiri pertanyaan itu. “Tugas sarjana sastra adalah merawat kemanusiaan! Sastra dan segala ilmu humaniora tugasnya adalah merawat humanity itu,” tegasnya. Saya mengangkat bahu yang awalnya tersandarkan pada kursi plastik di ruang kerjanya. Sembari merogoh sebuah salak yang jadi sajian pertemuan kami, saya merenungkan pertanyaan dan jawabannya. Pernyataan itu pula yang patut kita renungkan dalam konteks berkesenian di Bali hari ini.
Barangkali publik telah lama sepakat bahwa seni dan sastra ditempatkan pada posisi terhormat sebagai pijar peradaban manusia. Dua bidang yang sesungguhnya tunggal ini disebut-sebut sebagai media penghalus budi. Sastra diyakini mampu menjadi pelita yang dapat menerangi hidup manusia yang temaram. Setidaknya demikian dikatakan nun jauh beberapa ratus tahun silam oleh penggurat Kakawin Nītiśāstra yang mempersembahkan karyanya secara penuh untuk publik. Pujangga yang penuh kerendahan hati dengan mengalpakan nama pada karyanya itu menulis bernas, “Widyā śāstra sudharma dipa nikang tribhuwana suměnӧ prabhāswara (pengetahuan sastra, serta ajaran-ajaran kebenaran adalah pelita yang menerangi ketiga dunia ini)—Kakawin Nītiśāstra, IV.1”.
Lalu, apa hubungan menyatakan entitas sastra dan seni sebagai penerang hidup terhadap penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-45 tahun 2023?
Sebagaimana telah diketahui, PKB ke-45 tahun ini mengetengahkan tema “Segara Kreti: Prabhaneka Sandhi (Samudera Cipta Peradaban)”. Jika ditimang dan ditimbang, tema ini memiliki tanggung jawab moral yang jauh dari kata sederhana. Kearifan nilai sagara kerthi [kreti] ‘memuliakan lautan’ yang diwariskan leluhur Bali dari masa silam digunakan oleh panitia untuk memantik dan menghidupi proses penciptaan, pelestarian, dan pengembangan seni di Bali. Jika asumsi saya benar, maka tema ini sesungguhnya adalah agenda besar nan kompleks dalam membuka ruang pengembangan seni dan kebudayaan Bali menyongsong berbagai dinamika dan perkembangan zaman saat ini.
Sagara Kreti: Penciptaan dan Peleburan
Segara kerthi [sagara kreti] secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘pemuliaan lautan’. Ini merupakan satu konsep dari enam bagian sad kreti ‘enam upaya pemuliaan’. Konsep pemuliaan yang sarat nilai kearifan ekologi ini secara konsepsi tidak perlu disangsikan untuk dijadikan kompas mengelola lingkungan Bali sejak dahulu, hari ini, dan masa depan.
Rujukan untuk konsep sagara kreti dan sad kreti dapat ditemui pada teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul. Naskahnya dapat disapa dalam bentuk lontar di perpustakaan Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar serta dalam bentuk naskah alih aksara di Gedong Kirtya Singaraja. Pusat Kebudayaan Bali di Denpasar konon juga mengkoleksi naskah ini—dibuktikan dengan teregistrasi di dalam katalog. Sayangnya, ketika ingin ditemui, naskah tersebut tidak ada.
Menurut teks tersebut, secara khusus aspek sagara kreti dimuliakan di Pura Sakenan yang merupakan istana dari entitas dewa bergelar Hyang Sandijaya. Beliau merupakan satu dari enam Dewata Sad Kreti Loka Bangsul yang lahir dari yoga mahasempurna Bhatara Pasupati di Gunung Mahameru. Dewata Sad Kreti Loka Bangsul disamakan dengan Dewata Sad Winayaka yang beristana di surga. Di Nusa Bangsul (Pulau Bali), mereka bertugas menjaga elemen-elemen alam semesta yakni gunung (giri), hutan (wana), danau (ranu), laut (sagara), sawah (swi), dan dunia (jagat)agar lestari dan menghidupi seluruh rakyat.
Secara fungsional, menurut teks ini sagara kreti adalah konsep memuliakan lautan sebagai objek keseimbangan dunia, meruwat segala bentuk kekotoran, serta menetralisir wabah penyakit (pagêh mangrakṣa sāgara pakrêtti, pangayu jagat, mwang pamrayaścitta sarwwa kāla bhūta mānuṣa. Humilangakên sarwwa manighra sarāt, mwang sarwwa jara maraṇa [konsisten menjaga sāgara pakrêti, memuliakan bumi dan meruwat segala sifat negatif pada manusia. Melebur kotoran semesta dengan cepat serta memusnahkan segala jenis wabah]).
Konsep laut sebagai media peleburan segala dosa dan kekotoran sebagaimana dinyatakan dalam Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul masih terawat terang dalam kehidupan spiritual masyarakat Bali hingga hari ini. Ritual-ritual umat Hindu Bali yang terkait dengan peruwatan banyak di antaranya melibatkan elemen lautan. Sebagian besar desa adat di Bali akan melakukan ritual melasti menjelang perayaan Nyepi. Pada musim-musim yang dianggap rawan, misalnya pada sasih Kanem hingga Kasanga, sejumlah komunitas adat akan melakukan upacara pamarisuddha atau tawur di pantai. Secara pribadi, orang Bali juga memanfaatkan laut untuk ritual malukat, mabayuh, maupun istilah lainnya yang beririsan dengan pembersihan diri. Banyak individu juga sangat percaya jika air laut merupakan media penetralisir ilmu hitam yang efektif, sehingga memanfaatkannya untuk melindungi atau meruwat pekarangan rumah atau sekadar sebagai panyengker ‘penjaga’ ritual yang sedang mereka bangun.
Pada dimensi lainnya, laut juga diwacanakan sebagai ruang penciptaan dan pusat kehidupan. Teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul pada bagian awal telah menarasikan laut sebagai ibu dari semesta ini. Dahulu kala, telur semesta (andabhuwana) pertama kali menetas di lautan luas. Telur inilah yang meledak dan menciptakan gugusan benua dan pulau-pulau. Satu di antaranya adalah Nusa Bali yang dituturkan terletak di bagian selatan dunia itu. Mulai dari laut pulalah kemudian muncul makhluk-makhluk ciptaan Bhatara untuk memenuhi dunia ini.
Laut dalam fungsinya sebagai ruang penciptaan juga beririsan dengan kemunculan air suci keabadian (tirtha amreta). Kitab Adiparwa menyebut bahwa air suci yang dapat membuat peminumnya hidup selamanya itu muncul dari upaya pemutaran Lautan Susu (Ksirarnawa) menggunakan Gunung Mandara. Kerja besar itu konon dilakukan melalui kolaborasi antara bangsa dewa dan raksasa atas nama kemaslahatan seluruh dunia.
Seni sebagai Perawat dan Peruwat Kemanusiaan
Seperti tesis yang saya ajukan di depan, refleksi mendasar yang dapat kita ambil dari kearifan nilai sagara kreti pada PKB ke-45 ini adalah peran seni sebagai perawat dan peruwat kemanusiaan. Kita semua barangkali sepakat jika ke depan kehidupan ini akan semakin kaya dengan tantangan. Krisis lingkungan, krisis pangan, wabah, hingga peluang terjadinya perang besar antarnegara adalah ancaman nyata di pelupuk mata bagi masa depan umat manusia. Prediksi-prediksi kiamat berpeluang besar akan benar-benar terjadi jika umat manusia salah mengelola alam dan egonya.
Berpijak pada ancaman-ancaman itu, maka melalui momentum PKB ke-45, seni idealnya dapat mengambil peran sebagai tontonan dan tuntunan untuk menjadi cermin bagi manusia berlaku di dunia. Garapan-garapan yang dihadirkan dalam PKB ke-45 dapat mengetengahkan tema terkait dinamika perubahan lingkungan, khususnya laut, berikut tantangan-tantangan konservasi yang sekiranya tidak banyak disadari. Sejalan dengan laku samudera yang diyakini mampu meruwat kotoran, garapan-garapan yang ditampilkan dalam PKB ke-45 dapat mengusung tema-tema daur ulang. PKB ke-45 juga dapat membincangkan persoalan tata kelola laut kita yang saya kira belum maksimal meskipun negara telah berkoar mendeklarasikan diri sebagai pusat maritim dunia.
Tindakan terpenting dan paling nyata adalah bagaimana seniman dapat menjadi corong menyuarakan suara minor bendega di Bali. Selama ini saya mengamati popularitas bendega dan subak kalah jauh dibanding dengan perbincangan kita terkait desa adat. Padahal, desa adat, subak, dan sekaa bendega adalah tiga elemen penting dalam konstruksi sosial adat Bali. Mereka, bendega-bendega itu, tengah mengalami berbagai macam pergolakan. Suara-suara gusar mereka mungkin dapat lebih didengar oleh otoritas yang tepat jika dikemas dalam bentuk kesenian, lebih-lebih memanfaatkan panggung PKB yang telah mendunia.
Pada upaya dan tanggung jawab besar itu, kewajiban dan tugas seniman adalah melakukan eksplorasi tanpa henti. Literasi wajib dilakukan dalam menyajikan karya seni yang bermartabat. Bagi saya dan mungkin sebagian besar dari Anda, seni yang mampu merawat dan meruwat kemanusiaan adalah seni yang tidak menanggalkan kebenaran. Seni hanya sekadar jadi ekspresi seniman jika menerobos ruang-ruang kebenaran, meskipun mungkin tidak satu pun dari kita paham dan mewarisi kebenaran mutlak. [T]
- BACA artikel lain dari penulis IK Eriadi Ariana atau Jero Penyarikan Duuran Batur