MINGGU, 25 Juni 2023 malam, Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) Denpasar menggelar peluncuran bersama sembilan buku karya sembilan penyair dari Bali. Delapan di antaranya buku puisi dan satu buku kumpulan cerita anak.
Delapan buku puisi itu, yakni Izinkan Aku Memuisikanmu (Ida Bagus Dharmadiaksa), Malam Cahaya Lampion (Tan Lioe Ie), Air Mata (Tanah) Bali (GM Sukawidana), Puisi-puisi yang Ditulis Karena Cinta (Sthiraprana Duarsa), Mengening (Winar Ramelan), Mimpi Tak Usai (Ngurah Arya Dimas Hendratno), Roda Musim (Bonk Ava), dan Renjana (April Artison). Sementara buku cerita anak, yakni Cerita Anak Binatang Mitologi (Mas Ruscitadewi).
Meski bukan buku puisi, Cerita Anak Binatang Mitologi ditulis oleh seorang penyair. Dua hari sebelumnya, Mas Ruscitadewi juga meluncurkan buku Nawa Sena, sebuah novelet yang merespons karya rupa I Wayan Sujana Suklu sehingga diklaim sebagai karya kolaboratif.
Hampir semua buku merupakan terbitan tahun 2023. Hanya Mengening yang terbit tahun 2020. Malam Cahaya Lampion merupakan penerbitan kembali buku dengan judul serupa tahun 2005 lalu. Pada terbitan ulang yang ditandai sebagai “edisi khusus” ini, beberapa sajak di buku sebelumnya tidak disertakan.
Sembilan buku ini memperlihatkan keragaman latar belakang sekaligus pengalaman penyair atau penulisnya. Ada penyair atau penulis yang sudah “jadi”, namun ada juga yang sedang berproses. Mereka berasal dari generasi tahun 1970-an hingga tahun 2010-an.
Penyair tertua berusia 67 tahun (IB Dharmadiaksa, kelahiran tahun 1956), dan termuda berusia 32 tahun (April Artison, kelahiran tahun 1991). Jarak usia penyair ini adalah 35 tahun. Jika 20 tahun dianggap sebagai tanda satu generasi, maka jarak usia penyair ini hampir dua generasi.
Dilihat dari sudut pergaulan kreatif yang melatarbelakangi, sembilan penyair dan penulis yang karyanya diluncurkan juga memperlihatkan suatu perjalanan panjang dunia perpuisian di Bali. Mulai dari era pra-Umbu yang diwakili oleh IB Dharmadiaksa hingga pasca-Umbu yang diwakili oleh April Artison.
Para penyair yang bukunya diluncurkan di JKP Denpasar, Minggu 25 Juni 2023 | Foto: Dok Sujaya
IB Dharmadiaksa mulai meniti “karier” kepenyairannya pada tahun 1976, tiga tahun sebelum kedatangan Umbu. Dia bersentuhan dengan pergaulan kreatif di halaman sastra Bali Post saat diasuh oleh Tjok Raka Pemajun dan Made Taro.
Sementara April Artison mulai menulis puisi tahun 2016, ketika Umbu pelan-pelan mulai mengurangi perannya sebagai penjaga gawang halaman apresiasi sastra Bali Post sebelum akhirnya beralih ke Nusa Bali pada tahun 2020.
Karena itu, sembilan buku yang diluncurkan memberi kemungkinan untuk menelusuri perkembangan puisi Indonesia di Bali era pra-Umbu, era Umbu, dan pasca-Umbu.
Puisi Memanggil
Pertanyaan yang segera menyeruak ketika sembilan buku yang umumnya buku puisi ini diluncurkan, mengapa para penyair itu begitu bergairah menerbitkan buku puisi? Padahal, buku puisi tergolong paling sulit laku. Jangankan untuk mencari pembeli, bahkan untuk menemukan orang yang mau mengapresiasi puisi saja tidak mudah.
Mengapa seorang IB Dharmadiaksa yang lama tak menulis puisi setelah membenamkan diri dalam kesibukan sebagai dosen di Fakultas Ekonomi (FE) Unud kini kembali menulis puisi lalu menerbitkannya? Mengapa seorang anak muda semacam Bonk Ava rela bersusah payah menerbitkan buku kumpulan puisi? Sebagian besar penyair ini menerbitkan buku puisinya dengan biaya sendiri.
“Puisi pun memanggil.” Begitu Yoki (panggilan akrab Tan Lioe Ie) menulis dalam pengantar buku Malam Cahaya Lampion. Panggilan puisi bagi penyair atau mereka yang mengikhtiarkan diri meniti “jalan kata-kata”, merupakan sesuatu yang sulit ditolak. Laksana seorang yang tengah dihinggapi Dewi Cinta, tak kuasa berpaling, bahkan siap menyerahkan segalanya. Panggilan puisi adalah panggilan cinta.
Arya Dimas dalam pengantar buku Mimpi Tak Usai menulis, “Cinta adalah awal dari segala hal di dunia.” Cinta pulalah, tandasnya, yang menjadi awal dari seluruh perjalanan kepenulisan puisi dalam bukunya.
Panggilan puisi sebagai panggilan cinta tak hanya dinyatakan secara eksplisit dalam pengantar para penyair dalam bukunya, tetapi juga dituangkan dalam sajak-sajaknya. April Artison dalam sajaknya “Ketika Melihatmu dengan Mata Terpejam” menulis: “Di taman surga/ Puisi adalah desahan menghanyutkan/ Suara alam menjelma kidung rindu/ Yang menenggelamkan/ Jauh ke dasar jiwa tak terbatas/ Sampai kulupa segala//.
Bonk Ava juga dengan bersahaja menulis: “aku setia menulis sajak/ dengan kata-kata sederhana/ sebab aku mencintai kata/ dengan segala kekurangannya// (Sajak “Aku Mencintai Kata, Dengan Segala Kekurangannya (I)”. Walau, tak jarang, percumbuan dengan puisi begitu getir, bahkan ironis, seperti dilukiskan Ary Duarsa dalam sajak “Puisi-puisi yang Ditulis karena Cinta”: “Aku menulis dan menulis/ Aku menjadi bahagia/ Di atas penderitaanku//”.
Senada dengan Ary Duarsa, IB Dharmadiaksa juga berseru: “Hari-hariku adalah sajak/ penuh hujan dan gelap/ tapi senyum/ di luka// (Sajak “Aku”). Para penyair didikan Umbu itu seolah mengimani betul petikan sajak Umbu, “Melodia”: “cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan/ karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan//.
Tapi, bagi penyair, memenuhi panggilan puisi tentu tidak cukup. Panggilan puisi harus dilanjutkan dengan “memanggil puisi”. “Memanggil puisi” bukan sekadar menghadirkan daya hidup puisi dalam diri tapi juga menuntaskannya sampai pada puncak keindahan puisi.
Soal “memanggil puisi” ini, menarik lagi membaca pengantar Yoki yang mungkin bisa menjadi cermin bagi penyair yang sedang berjuang. Pada awalnya, segalanya menjelma puisi, produktivitas menjadi sesuatu yang niscaya. Tapi, perlahan mencuat kesadaran tentang pentingnya faktor pembeda dalam berpuisi.
Dalam memenuhi panggilan puisi, Yoki berusaha memancing dengan cara-cara tertentu sebagai eksperimen untuk “memanggil puisi” agar lahir sebagai puisi dengan faktor pembeda tertentu.
Akibatnya, produktivitas terganggu. Selalu tidak mudah, bahkan tidak jarang penyair harus “bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata” (meminjam larik sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” karya Goenawan Muhamad). Namun, persabungan dengan kata dan rasa yang intens terkadang juga bisa menghadirkan sesuatu yang mengejutkan bagi penyair, sehingga upaya “memanggil puisi” menuai hasil.
Untuk bisa “memanggil puisi” yang memiliki faktor pembeda itu, memang penyair mesti bersedia membuat perhitungan dengan menantang hegemoni struktur maupun wacana yang dianggap sudah mapan dalam arena sastra.
Tidak mudah, memang, karena dalam proses kreatif berkarya, pengaruh para pendahulu, terutama yang dianggap guru atau memberi inspirasi dalam berkarya, kerap kali sulit dihindarkan. Karena itu, tantangan yang dihadapi para penyair muda yang tengah memulai biasanya pengulangan, bahkan tanpa disadari bisa menjadi epigon.
Hal ini pernah dinyatakan penyair sekaligus kritikus Arif Bagus Prasetyo saat memabahas buku kumpulan puisi Saron yang juga diterbitkan JKP pada tahun 2018 lalu.
Menurut Arif, sajak-sajak dalam buku itu menggambarkan stagnasi dalam perkembangan puisi Indonesia di Bali. Arif menyebut tak tampak adanya terobosan puitik dan eksperimen yang serius. Dia menyebut hal itu sebagai tantangan serius bagi para penyair-penyair muda yang sedang berproses.
Menemukan “Ladang Garapan”
Itu sebabnya, kesadaran untuk hadir dengan pembeda kiranya penting bagi para penyair yang sedang berproses. Filsuf sekaligus sosiolog Pierre Bourdieau memandang arena sastra atau seni pada umumnya, sesungguhnya arena kekuasaan yang penuh pergulatan, bahkan pertarungan.
Mereka yang mampu merebut posisi dan legitimasi dalam arena sastra ditentukan oleh akumulasi modal yang dimiliki serta habitus yang dilakoni. Bourdieau mengelompokkan modal itu menjadi empat, yakni modal ekonomi, modal kultural, modal sosial, dan modal simbolik.
Dalam arena sastra, modal yang penting, yakni modal kultural berupa kemampuan menulis puisi yang dibuktikan melalui karya-karyanya. Selain itu, modal sosial berupa jaringan dalam komunitas-komunitas sastra atau pergaulan kreatif juga memiliki pengaruh karena memungkinkannya untuk makin menguatkan modal kulturalnya.
Melalui modal kultural dan modal sosial itu, seseorang bisa mendapatkan modal simbolik berupa legitimasi sebagai sastrawan atau penyair. Modal simbolik itu memungkinkan untuk dikonversi menjadi modal ekonomi, walaupun tidak selalu sejalan.
Membaca kesembilan buku yang diluncurkan, segera terasa perbedaan modal simbolik yang telah diraih para penyairnya yang tentu berasal dari modal kultural yang dimiliki.
Modal kultural itu, selain dalam hal kematangan struktur, juga apa yang disebut Umbu sebagai ladang garapan yang menjelma identitas masing-masing penyair atau penulisnya. Melalui kekhasan ladang garapan itu terlihat perbedaan karya-karya mereka di antara karya-karya penyair lain.
Sajak-sajak Tan Lioe Ie, misalnya, menunjukkan suatu kesuntukan mengeksplorasi warna ketionghoaan. Begitu juga sajak-sajak GM Sukawidana yang merepresentasikan kesetiaan menggarap “ladang garapan” segitiga upacara-pesisir-tanah yang dibalut warna lokal Bali.
Hal itu semakin ditegaskan dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Air Mata (Tanah) Bali yang mengimpun sajak-sajaknya dengan satu tema tentang keprihatinan atas tergerusnya pesisir dan tanah Bali.
Ary Duarsa juga melakukan hal serupa dengan mencoba menawarkan pembeda itu melalui upaya mengikat sajak-sajaknya dalam satu tema cinta dengan tetap menawarkan permenungan tentang hidup yang paradoks, bahkan ironi.
Dengan kata lain, buku puisi mereka dibingkai dalam satu konsep tertentu, walau konsep itu dirumuskan kemudian, setelah melihat kecenderungan dalam sajak-sajak yang telah dihasilkan.
Kecenderungan kerja kreatif yang dilandasi konsep yang jelas untuk kepentingan menghadirkan faktor pembeda itu kiranya kini kerap dilakukan kawan-kawan sastrawan. Karena itu, kita menemukan buku puisi yang mengeksplorasi tema tertentu atau diikat oleh tema-tema tertentu.
Buku puisi Playon karya F. Aziz Manna, misalnya, khusus mengeksplorasi dunia permainan tradisional Jawa. Penyair sekaligus pekukis Nyoman Wirata suntuk menggali-gali tentang keteduhan pohon dalam Merayakan Pohon di Kebun Puisi. I Made Suantha tekun mengeksplorasi dunia kupu-kupu dalam Pastoral Kupu-kupu.
Tentu saja, seorang penyair bisa saja menggali-gali “ladang garapan” yang sama dengan penyair pendahulunya. Namun, tetap mesti ada upaya menghadirkan warna berbeda sehingga memperluas kemungkinan bagi “ladang garapan” itu. “Ladang garapan” tentang konflik adat Bali sudah menjadi semacam tradisi dalam sastra Indonesia di Bali, tapi Oka Rusmini tetap bisa tampil berbeda karena dia memilih menautkan persoalan adat Bali itu dengan wacana feminisme di tengah budaya patriarkhi.
Selain konsep karya yang jelas, sastrawan juga mesti bersedia dan bersetia untuk suntuk melakukan sejenis penelitian untuk mendalami dan mempertajam karya yang akan digarap sesuai konsep yang telah ditetapkan.
Dengan begitu, kerja kreatif sastrawan tak beda jauh dengan seorang peneliti. Hal ini juga kerap diakui sejumlah sastrawan. Oka Rusmini dan Cok Sawitri dalam berbagai kesempatan menyebutkan novel-novelnya lahir dari riset yang mendalam.
Upaya semacam itu tentu bisa dipahami karena melalui karyanya, sastrawan sesungguhnya menawarkan suatu “dunia baru”, dunia imajinatif sebagai dunia kemungkinan yang lahir dari refleksi dan interpretasi pengarang terhadap kehidupan.
Melalui karya sastra yang menawarkan berbagai kemungkinan, baik moral, sosial, maupun psikologis, orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan bersikap yang menjelma ke dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Sastra memberi ruang bagi pembaca memasuki “segala macam situasi” sehingga pembaca bisa menempatkan diri dalam kehidupan yang luas daripada situasi diri yang nyata.
Inilah kemerdekaan berpikir yang ditawarkan sastra. Begitulah kiranya tantangan sastrawan atau penyair, tak hanya menemukan bahasa, tapi juga menemukan “dunia alternatif” itu.
Tentu, ada banyak motif seseorang menulis puisi. Selain didorong obsesi bahkan mungkin ambisi untuk mendapat legitimasi di tengah arena sastra, ada juga yang menulis puisi karena semata-mata memang ingin menulis puisi. Mungkin baginya puisi adalah rumah yang teduh, tempat untuk pulang, melepaskan dari segala kesuntukan hidup. Dia sudah merasa cukup bahagia ketika puisinya lahir. Tak penting penilaian orang, apakah itu puisi bagus atau jelek, atau malah tak dianggap puisi. Tentu ini juga mesti dihargai.
Namun, penemuan kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengungkapan merupakan ikhtiar yang terus dirawat agar dunia puisi Indonesia terus berkembang. Hal ini juga merupakan ciri penting sastra modern, bahkan dunia kreatif secara umum.
Sejatinya, sajak-sajak karya penyair muda yang bukunya turut diluncurkan bukan tidak memiliki potensi bagi terbukanya kemungkinan-kemungkinan baru. Diksi dan metafora berani dari April Artison, kebersahajaan ungkapan Winar Ramelan dan Bonk Ava, maupun ketenangan bahasa seorang Ngurah Arya Dimas merupakan harapan bagi dunia puisi Indonesia di Bali.
Tentu keberhasilan sangat ditentukan oleh kesediaan dan kesetiaan untuk tidak hanya memenuhi panggilan puisi, tapi juga kesuntukan “memanggil-manggil puisi” hingga ke kedalaman makna maupun puncak keindahan hakikinya.
- Esai ini merupakan pengembangan dari pandangan umum yang disampaikan penulis untuk merespons sembilan buku puisi dan cerita anak karya sembilan penyair yang diluncurkan di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Denpasar, Minggu, 25 Juni 2023 lalu.