SAAT INI INDONESIA sedang dalam tahapan pemilu 2024. Seluruh partai politik peserta pemilu 2024 sudah menyerahkan nama-nama bakal calon legislatif (bacaleg) kepada KPU RI untuk selanjutnya diverifikasi.
Nama-nama baru pun bermunculan. Menariknya, dari sekian banyak nama-nama bacaleg yang didaftarkan oleh seluruh partai politik peserta pemilu 2024, ditemukan ada beberapa nama yang merupakan kerabat dari tokoh-tokoh yang sedang duduk sebagai pejabat publik hari ini.
Siapa saja kerabat pejabat yang siap melenggang ke gelanggang politik?
- Atalia Praratya Kamil (istri Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat/Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar);
- Yane Ardian (istri Bima Arya, Wali Kota Bogor/Ketua DPP PAN);
- Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari (anak dari Puan Maharani, Ketua DPR RI/Ketua DPP PDIP);
- Yuri Kemal Fadlullah (anak dari Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB);
- Siti Hediati Heriyadi/Titiek Soeharto (mantan istri Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI/Ketua Umum Partai Gerindra);
- Futri Zulya Savitri (anak Menteri Perdagangan RI/Ketua Umum PAN);
- Danty Indriastuti Rukmana (cucu Soeharto, Presiden RI ke-2).
Fenomena tersebut bukan menjadi hal baru dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara. Sebelumnya pun, hal semacam ini kerap kali terjadi.
Sebut saja Dinasti Atut di Banten, mantan Gubernur Banten tersebut menempatkan kerabat-kerabatnya di pemerintahan, seperti anaknya, Andika Hazrumy menjabat sebagai anggota DPD RI utusan Banten periode 2009-2014.
Kemudian Ade Rossi Khoerunisa yang merupakan istri Andika Hazrumy menjabat sebagai anggota DPRD Kota Serang periode 2009-2014. Selanjutnya Ratu Tatu Chasanah yang merupakan saudara Atut, menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Serang periode 2010-2015.
Contoh politik dinasti selanjutnya dapat ditemukan di Kota Cimahi. Itoc Tochija yang merupakan Wali Kota Cimahi dua periode yang setelahnya digantikan oleh istrinya, Atty Suharti yang menjadi Wali Kota Cimahi periode 2012-2017.
Politik kekerabatan juga dapat dilihat di tataran pusat. Bagaimana kita bisa lihat Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo merestui anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Surakarta dan menantunya Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan.
Kemudian anak Megawati Soekarnoputri, seperti Puan Maharani dan Prananda Prabowo memiliki kiprah cemerlang dalam politik.
Juga dapat dilihat bagaimana Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono mewariskan tahta Ketua Umum Partai Demokrat kepada Agus Harimurti Yudhoyono yang merupakan anak pertamanya.
Politik Kekerabatan Adalah Konsekuensi Negara Demokrasi
Secara etik tentu politik kekerabatan bukanlah hal yang elok untuk diperlihatkan oleh para pejabat yang sedang duduk di jabatan publik.
Namun secara aturan, fenomena tersebut menjadi hal yang “sah”, mengingat dalam sistem demokrasi, negara memberi ruang seluas-luasnya kepada warga negara untuk dipilih maupun memilih tanpa membeda-bedakan latar belakangnya.
Tetapi di sisi lain, politik kekerabatan menjadi sebuah jalan pintas untuk mendulang suara—tidak hanya untuk partai politik, tetapi juga bagi kerabat pejabat yang sedang berkontestasi.
Politik kekerabatan atau lebih dikenal dengan politik dinasti sendiri diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.
Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.
Hal ini diperkuat oleh Ari Dwipayana, Dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada yang menyebutkan politik kekerabatan sebagai gejala neopatrimonialistik.
Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem dalam menimbang prestasi. Atau bisa dikatakan politik kekerabatan adalah sistem patrimonial dengan strategi baru.
Suburnya politik kekerabatan belakangan ini tentu memiliki dampak negatif, seperti gagalnya partai politik menjalankan fungsinya, sehingga pada akhirnya partai politik hanya menargetkan kekuasaan.
Kemudian, partai politik dalam melakukan rekrutmen anggota hanya melihat popularitas dan kekayaan saja, tanpa memperhatikan kompetensi. Apa yang sebelumnya sudah disebutkan kemudian akan menimbulkan perputaran kekuasaan yang hanya berada di kalangan elit dan pengusaha saja.
Terakhir dan yang paling berbahaya adalah sulitnya negara dalam mewujudkan cita-cita demokrasi karena gagal menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih.
Meski telah menjadi konsekuensi dalam negara demokrasi, politik kekerabatan harus diantisipasi oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Suburnya politik kekerabatan juga tidak lepas dari peran rakyat yang menggunakan hak pilihnya untuk menyuburkan politik kekerabatan tersebut. Maka, sangat penting bagi rakyat untuk membekali diri dengan informasi yang mapan terkait dengan calon pemimpin yang akan dipilihnya.
Nah, setelah mengetahui fenomena politik kekerabatan di Indonesia, kemudian mengetahui dampak yang ditimbulkan, masihkah kita sebagai rakyat membiarkan praktik politik kekerabatan tumbuh subur di Indonesia? Silakan tentukan sikap Anda di bilik suara nanti.[T]