Pada setiap kata terdapat bunyi. Pada setiap bunyi terdapat struktur. Pada setiap struktur ada semesta makna. Pada setiap jejak makna itu ada penemuan baru.
Mari kita dudukkan misalnya kata ‘rarung’ sebagai kata lepas saja. Sendiri dan mandiri. Apa yang kita rasakan.
Coba ulang kata ini berulang, ulang, Rarung, Rarung, Rarung. Mungkin bisa diulang hingga belasan kali. Ternyata kata ini memiliki bunyi yang mengandung rasa, meskipun tanpa konteks. Di dalam kata Rarung ada dua huruf ‘r’ yang menggetarkan. Juga dua huruf vocal yang terasa menggenapkan bunyi yaitu ‘a’ dan ‘u’ dan diakhiri dengan nasal velar ‘ng’. Dalam konteks bunyi, ‘r’ adalah konsonan getar alveolar yang menimbulkan rasa bergetar. Sedangkan nasal velar ‘ng’ menjadikan kata ‘rarung’ ditutup dengan bunyi sengau getar yang menggantung dan dalam. Jadi secara bunyi ‘rarung’ adalah getaran yang mendalam, sedangkan secara rasa, ‘rarung’ adalah sebuah rasa yang menggetarkan, dan timbul tenggelam seolah saling memunculkan dan saling meniadakan.
Seperti kisah yang diangkat soal pembagian negeri Kadiri, Rarung adalah bagian novel yang menjadi tulang punggung trilogy Jirah yang di dalamnya terdapat Sound and Sense (Bunyi dan Rasa) yang sangat luar biasa.
Dalam konteks teori puisi, saya akan memakai perspektif teori Laurence Perrine dalam bukunya Sound and Sense (an Introduction to Poetry, tahun 1982). Perrine mengatakan bahwa fungsi khusus puisi adalah menyampaikan bukan hanya suara, namun juga pengalaman melalui bunyi. Fungsi bunyi adalah untuk memperdalam rasa, memberi makna yang lebih intensif, dan memberi penguatan (reinforcement kepada makna).
Dalam novel Rarung, yang saya dapat dudukkan sebagai prosa puitis atau poetic prose, elemen-elemen yang terdapat di dalam Rarung adalah sebuah puisi yang mengandung bunyi yang mewakili perasaan-perasaan, ide-ide, ataupun perspektif. Paling tidak saya mendengar bunyi itu sebagai perjalanan rasa yang saya bangun dari perspektif yang saya jalin dengan imajinasi saya.
Kata-kata dalam novel Rarung tiba di dalam sebuah teks yang kaya dan penuh warna.
Misalnya saya kutip bagian 1 dari Rarung seperti ini (halaman 1).
Kemilau duka di danau cahaya dalam kedip tatapan matamu. (9 kata)
Jadilah kabar dikisahkan angin, terlalu bebas mendesir ke mana saja. (10 kata)
Tak akan terhalangi tembok tinggi juga ancaman senjata. (8 kata)
Angin tak pernah takut menemui yang paling menyerikan dunia. (9 kata)
Kabar itu telah menyebar dan tertanam di semua kata. (9 kata)
Terlihat bahwa semuanya terstruktur dan sistematis bukan? Tidak ada baris yang terdiri dari lima kata, atau dua kata. Semua mengambil struktur 8-10 kata.
Apakah Cok Sawitri telah mereka semua tatanan bunyi itu sedemikian rupa secara terstruktur dan sistematis? Barangkali ya. Namun bisa juga tidak. Akan tetapi bagaimana mungkin bisa setiap baris memiliki jumlah kata yang nyaris sama, antara 8-10 kata? Dan bagaimana mungkin jika semua ini tidak disusun, semua kata tersusun dengan hati-hati seolah-olah jika satu kata hilang atau dihilangkan maka seluruh makna akan luruh.
Maka jika sekali lagi kita telusuri bahkan jika dari satu bagian teks saja, naskah Cok Sawitri adalah sebuah teks yang memakai musikalitas bunyi yang diperhitungkan dengan matang. Dalam konteks sound and sense, perhitungan bunyi dan jumlah kata adalah bagian dari struktur musik dari puisi.
Apakah konsekuensi struktur bunyi pada sebuah teks?
Mengapa perlu kita menyadari bahwa bunyi bukan sekedar ada namun bahkan dialah inti? Sebab bunyi hadir sebagai nafas kata, baik sebagai imaji maupun sebagai pesan.
Sebuah kata mewakili bahasa, mewakili gagasan dan mewakili pesan. Bunyi adalah sebuah tanda dengar yang mengandung sinyal pesan.
Sound tidak hadir serta merta sebagai tanda, namun pesan. Rarung misalnya dengan dua huruf r, dua huruf vokal dan satu nasal velar. Ketika menyebutnya, perasaan kita tergetar. Secara langsung.
Ada sebuah pertunjukan bunyi yang terjadi di organ produksi suara kita. Dan ada struktur rasa yang secara langsung terbentuk pula.
Simak pertunjukan bunyi berikut ini.
Semak belukar itu seolah mematuhi perintah untuk cepat tumbuh tinggi, makin tinggi, makin rimbun, dengan serentak, dengan cepat, meninggi secepat desau angin yang melintas tanpa henti, terus menerus menghempas deras.
Jika dengan sadar kita membacanya maka kita tahu bahwa baris ini telah diperhitungkan dengan ritme yang cermat. Disitu ada pengulangan, ada jeda yang terstruktur, ada bunyi yang dapat dinyanyikan dengan sangat baik.
Lalu bagaimanakah sesungguhnya bunyi dan rasa dari semak belukar yang meninggi itu? Bagaimana bunyi desau angin yang melintas tanpa henti itu? Bagaimana rasa yang ditimbulkan akibat pengulangan suasana makin tinggi, makin rimbun, tanpa henti, terus menerus.
Demikian deras makna bunyi itu terbangun dari suasanya yang ditimbulkannya.
Pengulangan menambah kesan kuat itu dan efek yang ditimbulkan adalah rasa mencekam.
Bunyi dan rasa selalu hadir seperti ritme nafas dalam hidup, bagi yang mampu mengatur nafas, maka hidupnya akan baik. Demikian pula dalam konteks sastra jika bunyi dan makna itu dihadirkan dengan baik, maka sastra itu hadir dengan baik.
Pada bagian berikutnya mari kita simak unsur-unsur bunyi lain yang dapat kita amati di teks Rarung ini (halaman 129).
Ke mana tanah akan kembali? Kembali ia ke air. Ke mana air akan kembali, kembali ia ke udara. Lalu udara ke manakah ia akan pergi? Ia kembali ke hampa. Lalu hampa ke manakah ia akan kembali? Ia akan pergi ke dalam pikiran.
Dalam konteks teori Perrine (1982), pada konteks sound, ada sebuah upaya yang dilakukan penulis/penyair untuk mengintensifkan makna dari bunyi, salah satunya adalah teknik euphony. Euphony adalah cara yang digunakan penulis untuk memberikan efek yang rapi pada bunyi agar terdengar harmonis. Euphony artinya bunyi yang baik. Dalam kutipan di atas kita temukan bahwa bunyi disusun dengan rapi dengan perhitungan yang seksama.
Jika diamati, disini ada unsur bunyi yang diulang-ulang misalnya ke mana dan kembali.
Mengapa ke mana dan kembali diulang ulang?
Karena jika ditarik, filosofi hidup adalah sebuah repetisi dan jika kita tak kembali, berarti kita tak menemukan asal, nada dasar kehidupan lagi. Ke mana dan kembali adalah kunci kemanusiaan kita. Seperti dalam music, selalu ada struktur begitu pula dalam bunyi. Bahwa dalam sound and sense ada logika bunyi yang harus diperhitungkan dan struktur itu disusun berdasar rasa, bukan kegagahan ulang alik sirkus kata.
Ke mana dan kembali
Dua unsur bunyi dengan tiga suku kata.
Ke mana (3 suku kata)
Kembali (3 suku kata)
Mengapa tiga suku kata, mengapa bukan bagaimana? Mengapa bukan mengapa meskipun tiga suku kata pula. Itulah yang membedakan puisi dengan jenis karya lainnya. Dalam konteks puisi, semua kata bahkan suku kata dan bunyi dihitung dengan cermat karena ia adalah seni yang intens dan padat. Perrine mengatakan bahwa puisi sebagai sebuah karya sastra yang paling padat dan berisi, karena dia mengatakan sangat banyak dengan kata yang sedikit. Kutipan langsung Perrine mengatakan soal puisi “Poetry is the most condensed and concentrated form of literature, saying most in the fewest number of words.”
Selanjutnya saya akan membahas Onomatopoeia.
Onomatopoeia adalah kata yang mewakili bunyi. Kata ini menjadikan bunyi sebagai simbol makna. Saya akan sajikan data berikut dari Rarung halaman 133.
Saling tusuk dengan keris-keris berbatang lurus dan tajam. Pemukul-pemukul itu menikmati berderak-deraknya kepala-kepala yang pecah. Simbahan darah muncrat seperti pancuran kecil merembes memenuhi jalan. Teriakan-teriakan ketakutan bercampur kesakitan tertindas oleh gemeretuk batu-batu yang berhamburan. Berderit-derit suara kematian itu. Sabetan dan gesekan menjeritkan kenyerian. Anak-anak tak lagi menangis, namun melolong ngeri. Telapak-telapak kaki tanpa ragu menginjak genangan darah.
Di sana ada sound and sense yang pekat dan nyaring. Repetisi dan tekanan. Ada onomatopoeia berupa berderak-derak kepala yang pecah. Bagaimanakah bunyi kepala yang pecah itu? Mengapa hingga berderak-derak. Bunyi apa yang ditimbulkan? Menurut KBBI, berderak artinya berkertak atau mengeluarkan suara seperti bunyi dahan patah. Jadi bayangkan kepala yang pecah seperti dahan yang patah. Dan bayangkan juga dampak rasa dari peristiwa itu. Berderak-derak artinya lebih dari satu bahkan mungkin ratusan kepala pecah yang membuat rasa mencekam.
Lalu berikutnya berderit-derit suara kematian itu. Bagaimana bunyi berderit-derit itu? Menurut KBBI derit artinya tiruan bunyi lantai bambu diinjak atau engsel yang tak berminyak. Kematian yang berderit-derit itu dalam imajinasi saya seperti kematian yang datang dengan suara melengking parau, seperti antrian bunyi yang saling bersahutan dan saling menautkan kengerian.
Ditambah dengan efek bunyi sebagai berikut: sabetan dan gesekan menjeritkan kenyerian. Sabetan adalah bunyi yang ditimbulkan dari senjata logam yang dilayangkan. Gesekan mengacu bunyi dua senjata logam yang bersentuhan dengan keras atau berbenturan. Sehingga di telinga kita ada produksi imajinasi tentang senjata yang berat, tajam, dan cepat saling menyerang.
Lalu berikut ini Anak-anak tak lagi menangis, namun melolong ngeri.
Sound and sense kata melolong ngeri sesungguhnya dapat menjadi sebuah intensifikasi bunyi. Lolong biasanya kita pahami sebagai suara/bunyi binatang yang kesakitan, namun ketika dipakai untuk manusia, maknanya menjadi semakin intens dan tajam, karena tangisannya mungkin melebihi apa yang sering kita dengar. Dan tangisan itu bukan lagi tangisan namun barangkali semacam bunyi yang melengking menyerupai lolongan yang biasanya terdengar dari binatang.
Selain itu, apakah jenis lain dari sound and sense itu?
Apakah semua mesti terstruktur?
Apakah semua mesti terukur?
Apakah semua mesti teratur?
Sesungguhnya dalam musikalitas apapun, bahkan dalam musikalitas semesta tentu tak semua harus seragam, sebab seragam hanya menghasilkan bunyi yang monotonous dan boring. Dalam konteks sound and sense juga ada irregularity atau ketidakteraturan yang sering juga diistilahkan sebagai blank verse atau the absence of verse.
Contohnya dapat kita lihat pada novel Rarung halaman 91 sebagai berikut.
Hanyutkan aku. Hanyutkan aku.
Lalu gelembung-gelembung menjelma menjadi gelembung raksasa, menelan si Rarung, membaringkannya di dalam cadar bening.
Angin mendorong dengan embusan lembut, “Engkau lupa, di dalam dadamu ada air yang teramat halus.
Teramat tipis.
Itu benang kehidupanmu.
Itu mahanapi namanya.”
Disini dapat kita rasakan bahwa irregularity terjadi karena tidak ada sistem yang cukup rapi untuk membentuk rima yang teratur atau suku kata yang terukur. Lalu apakah fungsi ketidakteraturan ini dalam semesta bunyi? Juga sesungguhnya jika kita pahami, struktur yang tidak teratur juga dapat digunakan untuk membuat kesan yang mendalam. Kita terkesan pada baris Hanyutkan aku. Hanyutkan aku.
Akan tetapi kita juga langsung disentak oleh momen imaji berikutnya. Lalu gelembung-gelembung menjadi dan seterusnya. Hal ini membuat kita terus terseret pada imaji-imaji berikutnya, kemana akan dihanyutkan si aku?
Kenapa tidak mesti semua terukur? Bahwa rima tak hadir disana, misalnya kata yang tak berbunyi sama di akhir barisnya, seperti aku/aku/bening/halus/tipis/kehidupanmu/namanya.
Dalam rima di akhir baris yang tak beraturan seperti itu, kita merasakan imaji yang kuat, sebab kata-kata menjadi sebuah perwakilan gagasan yang telah mengandung rasa yang kuat. Sehingga bahkan kita tak lagi berpusat pada struktur, namun pada rasa.
Sound and sense dalam konteks ini hadir sebagai penguat makna yang ingin disasar oleh penulis. Dia menggunakan berbagai cara untuk menggempur kesadaran kita akan kompleksitas bahasa dan pengalaman rasa dan makna di baliknya.
Akhirnya saya dapat mengatakan bahwa sound and sense dalam Rarung adalah sebuah samudera yang tak terbatas tentang bunyi dan rasa, dan kompleksitas makna yang ada di dalamnya. Di dalamnya ada wilayah-wilayah analisis yang sangat luas dan sangat dimungkinkan dikaji lebih mendalam agar karya ini tak berhenti sebagai karya, namun juga ladang subur untuk memanen analisis bahasa. [T]
Singaraja, 27 Mei 2022
- Tulisan ini disampaikan pada Readers Festival Trilogi Jirah karya Cok Sawitri