Pentas 11 Ibu 11 Kisah 11 Panggung bagi sebagian orang mungkin hanya pentas biasa. Menyihir ibu-ibu yang biasa berkutat sebagai ibu rumah tangga atau wanita karir ke dalam dunia seni peran.
Saya mengikuti beberapa pementasannya, tidak semua. Kemudian saya mengikuti semua kisahnya lewat buku. Sebelum menjadi sebuah buku, kisah-kisah ini dipentaskan secara maraton. Project ini adalah project inspirasi. Project ini lolos kurasi dan dibiayai oleh Ford Foundation melalui Cipta Media Ekspresi pada tanggal 21 Apri 2018. Begitu dinyatakan lolos, eksekusi dimulai dengan sutradara Kadek Sonia Piscayanti.
11 kisah yang dibukukan itu merupakan sebuah perjuangan panjang yang dialami seorang perempuan dari masa mudanya hingga berumah tangga. Sedih, haru, bahagia, marah, sangat marah, kebencian dan dendam berkecamuk. Muncul bersamaan di benak saya ketika membaca buku itu. Saya ikut merasakan beratnya jalan hidup mereka.
Kemelut dalam kehidupan tak pernah luput menghampiri. Selalu ada celah untuk masuk pada kehidupan mereka. Ajaibnya mereka bisa bertahan. Bisa bergerak maju. Bisa menghadapi dengan santai, dengan senyum. Dan saya tebak dibalik keluwesan itu ada hati yang teriris.
Ada air mata yang harus ditahan agar tak menerobos pertahanan. Berlagak santai tapi gontai. Berlagak manis tapi miris. Ahh, pelik sekali. Saya sebagai penonton dan pembaca turut merasakan yang mereka rasakan. Menonton dan membaca bagi saya adalah dua hal yang berbeda.
Saat saya membaca buku ini, rasanya lebih lengkap, tertata dan terukur. Imajinasi menjadi sangat liar. Membayangkan adegan satu ke adegan lainnya. Serasa menjadi tokoh di setiap ceritanya. Ada 11 kisah, ada pula 11 peran berbeda yang saya “perankan” saat membaca.
Rasa sesak yang dituliskan dengan rangkaian kata juga bisa saya rasakan. Tapi ketika saya menonton pementasan itu, perasaan saya tidak begitu menghayati. Mungkin karena anyak orang. Dan saat membaca saya hanya sendiri. Dalam kamar. Mungkin itu sebabnya saya bebas berimajinasi, berekspresi. Emosi pun terkuras.
Halaman demi halaman saya buka. Sampailah pada kisah Wati. Seorang perempuan yang berprofesi sebagai tukang batu. Entah tukang batu bagaimana yang dia maksud. Yang jelas ia menyebut dirinya perempuan batu. Segala pekerjaan rendah ia kerjakan. Asal bisa hidup dan memenuhi kebutuhan. Mengambil pekerjaan rendah bukan tanpa alasan. Sebab ia dari golongn kurang mampu dan pendidikannya tidak tinggi. Kehidupannya sangat sulit. Terlebih ia hidup sebagai seorang single mom dengan anak-anak. Yang membuat saya miris dan sesak saat membaca kisahnya ketika ia sama sekali tak memiliki sepeser uang. Beras untuk ia dan anak-anaknya makan tak ada.
Kemudian anak Wati yang paling bontot berinisiatif membuat layang-layang sendiri. Lalu layangan itu ia jual. Entah kepada siapa. Namun layangan itu laku. Uangnya ia belikan beras. Ia bawa pulang dan diberikan kepada ibunya, Wati. Anak sekecil itu dengan usia dibawah 10 tahun memiliki inisiatif untuk membeli beras. Bayangkan betapa nestapanya kehidupan mereka. Saya membayangkan jadi Wati. Sedih sekali. Begitu perjuangan Wati bersama anak-anaknya. Berusaha tumbuh tanpa suami. Namun setiap detik yang berlalu dijalani Wati dengan sepenuh hati hingga ia bangkit lagi. Menjadi sosok perempuan kokoh, sekokoh batu yang tak mudah terpecahkan.
Beranjak lagi saya ke bagian berikutnya. Peran dan kisah yang berbeda. Tetu dengan kemunculan emosi yang berbeda. Tini Wahyuni. Seorang dokter yang gemar melukis. Kisah ini membuat saya tergelitik, sedih dan juga haru. Mengajarkan saya bahwa kedamaian itu indah.
Tapi saya bukanlah seorang Tini Wahyuni yang bisa melakukan itu. Saya akui seorang Tini Wahyuni memiliki hati yang sangat lapang. Bukan memuji. Tapi ini yang saya rasakan setelah membaca kisahnya. Melakukan perceraian dengan damai. Mengakhiri semuanya dengan baik-baik saja. Meski dalam hatinya ada gejolak.
Mungkin bagi sebagian orang ketika akan bercerai, datang ke pengadilan sendiri-sendiri. Tapi tidak berlaku baginya. Mereka datang berdua, berboncengan layaknya suami istri yang harmonis. Pengadilan mengabulkan permohonan cerai mereka. Bagi mereka perpisahan bukanlah akhir tapi awal untuk memulai hal baru.
Dan Tini Wahyuni melakukannya. Ibarat bayi Koala yang digendong induk. Memeluk erat di belakang. Dan ketika ia mulai bertumbuh dan matang maka akan memilih dan memiliki jalannya masing-masing.
Yang paling membekas ketika saya baca adalah kisah dari Ibu Simpen. Entah kisah itu nyata atau hanya kiasan tapi jujur saya marah. Emosi saya terkuras saat membaca bagian tertentu. Ketika sampai pada kalimat itu, tak sadar saya berucap kasar dan kotor. Suasana hati tak menentu. Seperti gelombang pasang yang menghempas segala yang teronggok di pesisir.
Sosok laki-laki manipulatif. Sifat yang begitu mejijikkan bagi saya. Jika saya mampu, ingin rasanya langsung mengirimkannya ke Titi Ugal-Agil. Menarik ulur dirinya agar melintasi titi itu lalu melepaskannya dan terjatuh dalam kawah dengan panasnya api neraka. Tersiksalah kau di sana. Tapi saya bukan Tuhan.
Kemarahan saya benar-benar memuncak saat membaca kisah itu. Buku itu saya tutup. Mencoba menenangkan diri dengan meneguk air putih. Sembari megenang apa yang saya baca beberapa menit lalu, saya membayangkan alurnya. Saya menempatkan diri sendiri dalam situasi itu. Saya berkhayal. Kemudian saya ingat meski diperlakukan tidak adil beliau tetap diam. Tidak mengambil tindakan keji. Menunjukkan bahwa diri benar dan bermartabat dengan diam.
Begitulah perempuan. Terkadang ia harus diam untuk bertahan. Terkadang ia juga harus bersuara untuk bertahan. Ini hanya soal pilihan. Perempuan juga harus pandai bagaimana meracik sebuah rasa agar keharmonisan dalam keluarga terjaga. Buku ini saya rekomendasikan bagi anda kaum perempuan. Baik yang sudah berumah tangga atau belum. Buku ini pantas dibaca sebagai benteng pertahanan hati menghadapi badai kehidupan. [T]
- Tulisan ini didedikasikan untuk acara Book Discussion 11 Mothers 11 Souls with Kadek Sonia Piscayanti, Tini Wahyuni dalam acara Mahima March March March di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Sabtu 26 Maret 2022