Banyaknya tanjakan, selain menguras tenaga juga bekal air minum. Setelah satu jam bersepeda dari Desa Labasari, air minum tinggal setengah bidon, sekitar 300 ml.
Jika tidak ada warung yang menjual air kemasan, terpaksa saya minta penduduk setempat. Saya lihat di cyclocomp, Heart Rate (HR) bergerak ke angka 145. Wah!
Maximum Heart Rate (MHR) orang seusia saya adalah 165 (220 – umur). Tapi angka tersebut berisiko. Idealnya dikalikan 90%. Jika umur saya 55, maka MHR saya hanya 148.
Saya segera memperlambat kayuhan untuk menurunkan HR. Saya tidak ingin terkena serangan jantung dan mati konyol di jalan karena sok-sokan.
Ponsel yang saya taruh di Molokobar berbunyi. Nomor tak dikenal.
“Ini Pak Made Wirya?”
“Benar. Maaf, dengan siapa saya bicara?”
“Saya Haji Fauzi, Ketua Kosti Lombok Barat. Saya diminta Pak Purnomo SR, Ketua Kosti Pusat, untuk menjemput Pak Made di Lembar.”
“Waduh Pak, nggak usah repot-repot lah.”
“Nggak repot, Pak. Ini juga instruksi pimpinan kami. Kami harus menjemput Pak Made.”
Purnomo SR, sahabat saya yang menjadi Ketua Kosti (Komunitas Sepeda Tua Indonesia) Pusat. Saya pernah menulis feature tentang aktivitasnya, saat saya masih mengelola media daring. Saya tidak menyangka dia begitu peduli pada perjalanan saya yang remeh-temeh ini.
Masuk Desa, Tista Kecamatan Abang, pukul 11.20 WITA. Angka kilometer mencapai 77, 67 dari Kota Singaraja. Padangbai masih sekitar 42 kilometer lagi. Jersey yang saya kenakan kuyub oleh peluh. Air minum di bidon tinggal dua teguk.
Di depan masih ada tanjakan lagi. Fuih! Saya berhenti di bawah rambu berwarna kuning-hitam dengan gambar mobil di atas jalan tanjakan. Sontoloyo! 😃
Semangat Pak’e! Maju perut pantat mundur! Saya pasang earphone, saya buka Spotify. Tapi tidak ada sinyal. Huuuh!
Setelah berhasil melewati tanjakan, saya lihat ada rumah penduduk. Penghuninya sedang merokok di teras depan.
“Maaf, boleh minta air minum, Pak. Saya kehausan, bekal air minum habis,” pinta saya sambil mengulurkan dua bidon.
“Mimiiih, pedalem gathi! (Wah, kasihan banget!). Mari sini, Pak!”
Lelaki tua bertelanjang dada itu segera mengambil bidon dari tangan saya, kemudian memanggil seseorang. Dia memintanya untuk mengisi bidon dengan air minum.
“Pak sudah makan?”
“Sudah.”
“Jika lapar, ayo makan. Lauk seadanya ya. Kanggoang.”
“Terima kasih. Saya belum lapar, Pak.”
Setelah dua bidon terisi penuh, saya mengucapkan terima kasih dan pamit melanjutkan perjalanan.
Dua tanjakan saya lewati. Jalan mulai mendatar. Horee! Jarum jam menunjukkan pukul 12.45 WITA, kilometer 79,78 dari Kota Singaraja.
Saya pikir tanjakan berakhir sampai di sini. Ternyata tidak. Saya masih dihajar beberapa tanjakan lagi.
Pukul 13.15 WITA akhirnya sampai juga di Tirta Gangga, kilometer 85,66 dari Kota Singaraja. Objek wisata ini sepi. Saya tidak menemukan warung yang buka untuk makan siang. Saya ganjal perut dengan Oreo yang saya beli di Desa Labasari.
Pukul 14.30 WITA, kilometer 103,5 dari Kota Singaraja. Saya sampai di Candi Dasa. Seperti halnya objek wisata lain, tidak ada wisatawan mancanegara. Wisatawan domestik pun bisa dihitung dengan jari. Pandemi ini sungguh luar biasa dampaknya pada sektor pariwisata di Bali. [T]