Senin, 21 Juni 2021. Sinar matahari yang mulai menyengat kulit tidak saya rasakan. Wajah dan kaki saya sudah belang sejak kemarin. Saya lupa menggunakan krim tabir surya yang saya beli di Sidoarjo tempo hari.
Sampai di Pantai Lovina pukul 11.45 WITA. Saya sudah menempuh 74,51 kilometer dari Gilimanuk.
Objek wisata yang dulu ramai dipadati wisatawan, utamanya mancanegara, begitu sepi. Wisatawan domestik pun hampir tak terlihat.
Selama perjalanan dari Gilimanuk higga Pantai Lovina, saya beberapa kali menjumpai penginapan yang dijual. Iklan penjualan ditempel pada pintu gerbang depan.
Saya tidak bisa memastikan, apakah penjualan penginapan tersebut terkait dengan sepinya wisatawan akibat pandemi.
Yang jelas, beberapa sudut objek wisata pantai yang biasanya menjadi tempat berkumpulnya wisatawan itu, kali ini seperti perkampungan tanpa penghuni.
Sebenarnya saya sudah mulai lapar. Tapi saya sengaja mencari warung makan “be pasih”, ikan laut, di Pasar Banyuasri, Singaraja. Toh jaraknya tidak jauh lagi.
Tepat pukul 12.45 WITA, saya sampai di gerbang kota Singaraja. Angka di cyclocomp menunjuk 82,79 kilometer dari Gilimanuk.
Saya segera menelepon Made Adnyana, sastrawan yang akrab dipanggil Ole. Saya ingin mengabarkan bahwa saya sudah sampai di Singaraja. Tapi telepon tidak direspon.
Beberapa menit kemudian, suami Kadek Sonia Piscayanti itu menelepon balik. Dia menyampaikan bahwa mereka masih di jalan. Pasangan sastrawan itu akan sampai di rumah 30 menit lagi.
Saya pacu sepeda menuju Pasar Banyuasri. Saya sudah membayangkan betapa nikmatnya sate lilit ikan laut, sup ikan, jukut undis dan sambal matahnya yang sedap itu.
Pasar Banyuasri sudah berubah. Dibangun dengan megah. Sudah tidak tampak lagi ciri pasar tradisional yang kumuh. Tapi saya merindukan kekumuhan dan aroma khas pasar rakyat itu.
Warung langganan saya kini letaknya jauh lebih tinggi dari trotoar. Saya harus naik beberapa anak tangga. Sepeda saya parkir di bawah dengan perasaan was-was.
“Dari Jawa?”
“Iya, Bu.”
“Pak naik sepeda sendiri dari Jawa!?”
“Iya.”
“Mimiiiih!! Oh ya, di sini tidak ada babi. Halal. Aman, Pak.”
Saya yakin ibu pemilik warung sudah pangling dengan saya. Bisa jadi dia tidak pernah menyangka saya ke Singaraja naik sepeda. Apalagi wajah saya belang. Biasanya dia memanggil saya dengan sebutan “Cak” karena dialek saya khas Surabaya.
Dia bukannya tidak tahu jika saya anaknya orang Bali, dan masih Bali secara suku dan adat. Tapi tetap saja dia memperlakukan saya seperti orang Jawa, Arek Suroboyo.
Di Jawa saya dianggap orang Bali dan seringkali dipanggil “Bli”. Tapi di Bali saya dianggap orang Jawa, dipanggil “Mas” atau “Cak”, meskipun oleh saudara sepupu.
Nasib orang-orang hibrid mungkin sama saja di mana pun. Seperti halnya para indo pada masa Hindia Belanda, yang tidak diterima sepenuhnya oleh orang-orang Belanda totok.
Setelah menyantap hidangan menu ikan laut dengan porsi satu setengah, saya melanjutkan perjalanan menuju rumah Ole.
Di rumah Ole, kami berbagi cerita tentang banyak hal. Dia tertarik dengan kisah perjalanan saya menuju ke Mataram. Dia berniat akan membuat artikelnya. Tapi hingga kini artikel itu belum jadi juga. Bangke! 😃
Setelah membuat beberapa dokumentasi, saya pamit menuju ke rumah keluarga besar di Banjar Baleagung. [T]