Di bukit Nirwana, hidup berbagai jenis tumbuhan. Ketika waktunya musim berbunga, tumbuh-tumbuhan itu memancarkan semerbak keharuman dan warna-warni bunga bermekaran. Musim berbunga di bukit itu menjadi kebahagiaan bagi serangga-serangga pemakan nektar.
Ada satu kupu-kupu penyendiri bernama Kupa suka menikamti nektar dari bunga-bunga bermekaran di bukit itu. Bahkan, para lebah sangat senang bisa menikmati nektar. Mereka pun sebagai serangga penikmat nektar berpesta ria merayakan musim bunga-bunga tumbuhan bermekaran di bukit itu.
Akan tetapi, di bukit Nirwana tidak ada lagi semerbak harumnya bunga bermekaran. Tumbuh-tumbuhan hanya memperlihatkan daun-daunnya yang bolong-bolong. Semua itu terjadi semenjak para ulat memakan daun-daun yang masih hijau. Di setiap daun, ada ulat-ulat kelaparan. Apa lagi, daun-daun tumbuhan di bukit Nirwana dirasakan nikmat oleh para ulat.
Para lebah dan serangga lainnya pindah dari bukit Nirwana. Mereka pergi mencari tempat baru. Tempat yang banyak ditumbuhi tumbuhan berbunga yang banyak menyimpat nektar. Di bukit Nirwana, tidak ada lagi serangga pencari nektar, tetapi hanya ada Kupa yang ada di bukit itu. Kupa adalah kupu-kupu menyendiri satu-satunya yang ada di bukit itu.
Kupa tidak sanggup mencari tempat yang lain. Ia merasa di bukit Nirwana menjadi tempat yang aman sebagai kupu-kupu penyendiri. Jika pergi jauh dari bukit Nirwana, ia takut dimangsa oleh bangsa burung. “Aku harus tetap bertahan di tempat ini,” gumam Kupa.
Kupa terbang mengelilingi bukit Nirwana. Ia tidak melihat ada satupun tumbuhan yang berbunga. Terlihat ulat-ulat hinggap di setiap daun tumbuhan yang ada di bukit itu.
“Benar-benar tidak ada tumbuhan yang berbunga,” ucap Kupa menggerutu.
Kupa terus mengepakkan sayap terbang tanpa henti yang terlihat semakin marah, “Aku harus mencari pemimpin dari ulat-ulat ini. Aku berbicara kepadanya untuk berhenti memakan daun-daun tumbuhan di bukit ini.”
Kupa mengalihkan pandangannya pada seekor ulat besar yang sedang lahap memakan daun di sebuah tumbuhan. “Mungkin itu pemimpin dari para ulat,” gamam Kupa.
Kupa terbang rendah mendekati tumbuhan itu. Ia hinggap di ranting pucuk di dekat seekor ulat besar.
“Hai, Ulat Besar. Kamu pasti pemimpin dari para ulat yang telah makan semua dedaunan tumbuhan yang ada di bukit ini,” sapa Kupa menahan amarah.
Ulat Besar itu terus mengunyah dedaunan tanpa henti.
“Mengapa kamu diam Ulat Besar? Jawab aku!” ucap Kupa suaranya meninggi.
“Krieek-krieek, Krieek-krieek, Krieek-krieek,” hanya suara itu yang terdengar.
Ulat Besar itu tetap terus makan tidak mendengarkan perkataan Kupa.
Kupa semakin marah. Semua pertanyaan Kupa tidak dijawab sama sekali oleh Ulat Besar itu. Ulat Besar itu terus-menerus mengunyah dedaunan.
“Katakan padaku! Mengapa kamu harus ada di bukit ini?” teriak Kupa marah.
Ulat Besar tetap tidak peduli dengan teriakan Kupa. Tubuh Ulat besar itu semakin besar.
“Baiklah Ulat Besar. Jika kamu tidak menjawabku, aku akan memanggil bangsa burung untuk memangsa kalian semua. Aku akan mencari mereka walaupun aku juga pasti akan dimangsanya,” ucap Kupa mengancam.
Ulat Besar itu masih tetap diam tidak menjawab, tetapi ia berhenti makan dedaunan. Ulat-ulat lainnya juga menghentikan kegiatan makannya. Semua ulat-ulat mulai merangkak mencari batang ranting tumbuhan.
“Ada apa ini? Mengapa kamu merangkak ke ranting tumbuhan? Jangan-jangan kamu juga ingin memakan batang dan ranting tumbuhan yang ada di sini? Hentikan niatmu itu, Ulat Besar!” ucap Kupa marah-marah.
Ulat Besar dan ulat-ulat lainnya terus bergerak mendekati ranting tumbuhan.
“Hentikannnnnn!” teriak Kupa.
Ulat-ulat itu tidak menghiraukan teriakan Kupa.
“Aku memang harus pergi mencari bangsa burung. Pernah kudengar kalau bangsa burung sangat suka memangsa ulat, tetapi kemana aku harus mencari mereka,” pikir Kupa.
Ulat Besar dan ulat-ulat lainnya sudah berada di ranting-ranting tumbuhan. Tiba-tiba, Ulat Besar dan ulat-ulat lainnya mengeluarkan benda seperti benang. Benang-benang itu dililitkan di ranting tumbuhan. Kemudian, Ulat Besar dan ulat-ulat lainnya menggulung-gulung dirinya. Mereka terus menggulung diri sampai tidak terlihat lagi. Mereka terlihat seperti terbungkus rapat.
“Oh jadi ini yang kalian lakukan, membungkus diri agar tetap aman. Baik, aku akan tunggu sampai kalian keluar dari gulungan,” grutu Kupa.
Ulat Besar dan ulat-ulat lainnya tidur tenang di dalam gulungan.
“Apa tetap kutunggu atau mencari bangsa burung walaupun aku tidak tahu tempatnya,” pikir Kupa bimbang.
Suasana di bukit Nirwana menjadi hening. Suara-suara kunyahan para ulat tidak terdengar lagi.
“Lebih baik aku pergi mencari bangsa burung itu dan mengundangnya datang,” ucap Kupa.
Kupa pergi mencari bangsa burung. Ia telah pergi jauh meninggal bukit Nirwana. Ia menelusuri berbagai tempat, tetapi belum menemukan adanya burung. Ia terus mencari sampai berhari-hari, tetapi belum juga bertemu dengan bangsa burung.
Karena sudah berhari-hari tidak juga bertemu dengan bangsa burung, Kupa memilih kembali ke bukit Nirwana.
“Kemana perginya bangsa burung itu? Mengapa tiba-tiba aku sangat sulit menemukan mereka? Apa sudah menjadi ketakutan dengan para ulat? Ah, pusing,” pikir Kupa.
Kupa kaget Ketika sampai di bukit Nirwana. Ia melihat tumbuh-tumbuhan yang ada di bukit sudah memiliki daun. Ia terbang berkeliling di bukit itu. Bahkan, ia melihat ada tumbuhan yang sudah berbunga. Ia merasakan sangat Bahagia.
“Akhirnya, aku akan bisa menikmati nektar,” ucap Kupa.
Kupa terbang menghampiri Ulat besar yang masih menggulung diri dan bergelantungan di ranting tumbuhan.
“Lihatlah Ulat Besar! Karena kalian masih bersembunyi di dalam gulungan, tumbuh-tumbuhan yang ada di bukit ini sudah memiliki daun. Sudah ada juga yang berbunga,” ucap Kupa.
Ulat Besar masih tetap diam.
“Ulat Besar, bagus. Tetap kalian sembunyi di dalam gulungan-gulungan itu. Jika kalian keluar lagi, para bangsa burung akan segera memangsa kalian,” ucap Kupa mengancam.
Akan tetapi, Kupa menyembunyikan rasa ketakutannya jika para ulat benar-benar keluar lagi dari gulungannya.
“Jangan kalian keluar lagi ya! Aku sebenarnya tak penah ketemu bangsa burung,” gumam Kupa pada dirinya.
***
Tiba-tiba terdengar suara,”Kraaaak.” Gulungan-gulungan yang ada di ranting tumbuh-tumbuhan itu pecah. Dari dalam gulungan, keluarlah mahluk yang sangat berbeda. Mahluk itu terlihat badannya masih terbungkus, tetapi tidak seperti terbungkus oleh gulungan sebelumnya.
Kupa terkejut melihat semua kejadian itu,”mahluk apa ini yang keluar dari gulungan? Kemana perginya ulat-ulat itu?”
Mahluk-mahluk itu sudah keluar semua dari gulungannya. Mereka bergerak menuju pucuk ranting tumbuhan. Mereka seolah-olah mencari cahaya matahari yang paling terang karena sudah lama berada di dalam kegelapan.
“Jangan-jangan mahluk ini lebih rakus dari para ulat,” pikir Kupa cemas.
Di bawah sinar matahari yang terang, mahluk itu menggerak-gerakkan badannya. Secara serentak, makluk-mahluk itu mengeluarkan sepasang sayap dari punggu mereka. Setika, bukit Nirwana dipenuhi oleh mahluk-mahluk bersayap. Sayap mereka berwarna-warni.
“Mengapa mahluk-mahluk ini menjadi mirip denganku? Mahluk yang keluar dari gulungan Ulat Besar menjadi sama persis dengan diriku dan sayapnya lebih besar,” ucap Kupa bingung dengan kejadian yang ada dihadapannya.
“Hai kakak! Kami cantik-cantikkan? Kami kupu-kupu yang baru lahir.”
Kupa yang masih bingung semakin kebingungan.
“Bukannya yang ada di dalam gulungan-gulungan itu ulat? Mengapa jadi kupu-kupu juga? Ucap Kupa masih belum mengerti.
“Betul itu Kakak. Kami ulat-ulat itu. Ulat-ulat yang kamu marah-marahi,” jawab Ulat Besar yang kini sudah menjadi kupu-kupu besar.
“Mengapa jadi begini?” ucap Kupa kebingungan.
“Kakak! Sebelum orang tua kita pergi jauh, orang kita menyembunyikan telur-telurnya di daun-daun tumbuhan. Kemudian, telur-telur itu menetas menjadi ulat-ulat seperti kami sebelum menjadi kupu-kupu,” jawab Kupu-kupu besar itu.
“Jadi, aku dulu juga seekor ulat yang rakus makan daun tumbuhan? Aku tak percaya,” ucap Kupa sedih akan dirinya sendiri.
Kupa pergi meninggalkan para kupu-kupu yang baru lahir. Ia ingin menenangkan diri bahwa dirinya juga seekor ulat yang berubah menjadi seekor kupu-kupu.
“Mengapa hanya aku yang tidak tahu dengan proses hidupku hingga menjadi kupu-kupu yang indah? Apa karena aku kupu-kupu yang suka menyendiri? Hingga aku tak tahu asal-usulku,” pikir Kupa yang sudah sangat jauh dari bukit Nirwana. Bukit yang kini sudah menjadi taman kupu-kupu.
Kini, apakah Kupa sudah menerima dirinya berasal dari ulat? Apakah Kupa akan membenci dirinya yang berasal dari ulat? Akan tetapi, saudara-saudaranya di bukit Nirwana tetap menunggu Kupa. [T]