Pada masa pandemi, walau dengan segala keterbatasan, di Bali banyak digelar pameran seni rupa. Tentu saja dilaksanakan dengan mengikuti protokol kesehatan. Entah pameran itu digelar secara online atau offline.
Salah satu pameran yang cukup dapat perhatian adalah pameran tunggal Syakieb Sungkar dengan tema Retro Expressionism, Painting Reenactment, di Titik Dua Ubud Jl. Cok Rai Pudak No.48, Peliatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Pameran dibuka oleh Goenawan Mohamad, 16 Oktober 2021, dengan kurator Asmudjo Jono Irianto. Dipamerkan 16 lukisan dalam pameran itu dan berlangsung hingga 6 November 2021.
Kolektor Melukis?
Nama Syakieb Sungkar sudah tidak asing lagi di kalangan dunia seni di Indonesia. Ia adalah seorang kolektor lukisan, dan pebisnis. Ia juga pernah menjadi juri Bandung Contemporary Art Award (BaCAA), dan menjadi anggota Persatuan Pecinta Seni Indonesia (PPSI). Di luar seni, ia aktif dalam kegiatan sosial, gerakan sosial kemasyarakatan di Gerakan Indonesia Kita (GITA).
Karena lebih dikenal sebagai kolektor ketimbang pelukis, muncullah sejumlah pertanyaan, secara bisik-bisik, dalam hati, atau keras-keras, antara lain:
“Kok kolektor dan art dealer melukis? Lalu seniman ngapain? Apa karena sahabatnya sastrawan Goenawan Moehamad juga melukis?”
“Ibarat kata pedagang tahu, yang ikut bertani menanam kedelai sendiri, dan diolah menjadi tahu dijual sendiri pula. Tidak etis, dong. Lalu pelukis ngapain?”
Mungkin ada yang mengatakan, “Jangan jangan pakai artisan ini, masak tiba tiba melukis?” Artisan adalah istilah untuk pelukis yang melukis dengan menggunakan jasa pelukis lain untuk mengerjakan lukisannya.
Selentingan-selentingan yang “mempertanyakan” pameran Syakieb Sungkar banyak terungkap di media sosial dan beberapa tulisan di media sosial menjadi perdebatan panjang di kolom komentar.
Di media sosial juga banyak seniman dan penikmat seni yang mendukung dan menyatakan bahwa pameran Syakieb Sungkar bagus. Ada yang komentar pengambilan ide dan teknik melukis Syakieb Sungkar sangat bagus. Ucapan selamat dan sukses banyak juga dituliskan di beranda media sosial sejumlah seniman dan pecinta seni yang menyaksikan pameran tersebut.
Cerita-cerita Syakieb Sungkar
Beberapa jam sebelum pameran dibuka, saya mendatangi Titik Dua untuk melihat langsung lukisan Syakieb Sungkar di sana. Saya melihat beberapa kawan kuliah di ISI Yogyakarta menjadi objek lukisan Syakieb Sungkar. Juga salah satu kolektor lukisan saya, Dedy Kusuma, ada dalam objek lukisan itu. Beberapa objek wajah lain dalam lukisan di pameran itu terlihat sangat familiar untuk saya simak.
Akhirnya saya mendatangi Syakieb Sungkar yang kebetulan sedang asik minum kopi bersama Asmudjo Jono Irianto yang menjadi kurator pameran. Ada juga Goenawan Mohamad yang membuka pemeran, dan Kemalezedine Zubir sebagai panitia pameran.
Saya bergegas hendak mewawancarai Syakieb Sungkar tentang lukisan yang dipamerkan. Agar tak langsung bicara lukisan, perbincangan kami awali dengan obrolan mengenai tulisan saya tentang Eddy Soetriyono, yakni “Ito Joyoatmojo Mengenang Eddy Soetriyono: Majalah Tempo, Edith Piaf dan Warna Lukisan” yang dimut di tatkala.co edisi 15 Oktober 2021.
Tentu, ini obrolan menarik, karena Eddy Soetriyono dan Ito Joyoatmojo sempat bekerja di Majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad. Obrolan pun menjadi seru saat membahas masa lalu Eddy Soetriyono, apalagi Asmujo juga menyinggung lukisan Ito Joyoatmojo.
Agar tak ngelantur, obrolan saya kerucutkan untuk membahas lukisan Syakieb Sungkar. Saya awali dengan kalimat, “Pak Syakieb Sungkar, bisa diceritakan tentang bagaimana ayah Anda menghadiahi Anda majalah Time Magazine yang disana di bahas tentang lukisan Pablo Picasso, dan akhirnya anda tertarik dengan dunia seni?”
Sebelum dijawab oleh Syakieb Sungkar, nyeletuklah Goenawan Mohamad. “Syakieb, itu lukisan telanjang itu bagaimana?”
Sambil tersenyum-senyum, Syakieb tak menjawab pertanyaan saya. Ia terlebih dulu menjelaskan munculnya ide lukisan telanjang yang ditanyakan Goenawan Mohamad.
Kata dia, judul lukisan itu “Make Up” berukuran 120 x 145 cm, denan bahan cat minyak di atas canvas yang di buat tahun 2020 dengan model perempuan yang di pinggangnya ada lipatan lemak yang kelihatan jelas. Dan si model yang minta dilukis marah marah, karena tidak mau dirinya dilukis seperti kenyataan seperti itu. Maunya, ya, dibuat lebih langsing.
Bagi Syakieb, melukis dengan mengambil bagian dengan jelas dan detil seperti itu adalah suatu penghormatan bagi tubuh. Semuanya memiliki sisi menarik bahwa kecantikan itu adalah bahasa universal yang tidak hanya bisa diukur dengan ukuran bentuk tubuh wanita, semuanya memiliki kelebihan masing masing.
Setelah menjelaskan tentang lukisan perempuan telanjang itu, Syakieb Sungkar kemudian menjawab pertanyaan saya. Ia menceritakan secara detil ketika dihadiahi Time Magazine oleh ayahnya.
Ia sangat kaget membaca artikel di majalah itu, karena ada lukisan Pablo Picasso dengan aliran kubisme, harganya sangat fantastis. Pada tahun 1970-an lukisan Picasso meledak di pasaran. Syakieb Sungkar sangat terkesima dan kaget waktu membaca artikel itu, di mana terdapat lukisan corat-coret berbentuk persegi, harganya fantastis.
Sejak itu, mulailah Syakieb Sungkar membaca banyak hal tentang lukisan, lebih-lebih ayahnya adalah seorang pelukis yang juga pernah mendesain label produk salah satu minuman. Ayahnya juga pengagum lukisan Basuki Abdullah dan Dullah. Syakieb Sungkar mulai melukis dengan pensil waktu itu. Dan sejak kecil ia memang sudah terbiasa melihat karya lukisan Pablo Picasso dan Salvador Dali, yang dikenalkan oleh ayahnya.
Ketika Syakieb Sungkar melanjutkan kuliahnya di ITB akhirnya ia lebih dekat mengenali karya-karya perupa Indonesia yang dipengaruhi oleh aliran kubisme seperti A.D Pirous, Ahmad Sadali dan Mochtar Apin.
Sejak tahun 1995 beliau mulai mengoleksi lukisan. Yang awalnya dikoleksi adalah lukisan-lukisan Bali, karena bagi Syakieb, lukisan Bali itu unik, tiada duanya di dunia. Ia juga mengoleksi lukisan Mazhab Bandung, juga karya Old Master dan Mooi Indie. Dan pada tahun 2006 hingga 2008, Syakieb mulai menjual lukisan di Balai Lelang seperti lukisan Old Master karya Affandi dan Hendra Gunawan.
Pelukis Pablo Picasso dan S. Sudjojono sangat dikagumi oleh Syakieb Sungkar, yang kemudian mempengaruhinya dalam melukis. Tampak salah satu lukisannya yang berjudul “Dialog Fatimah dengan Dora Maar” yang berukuran 150 x 150 cm dengan bahan cat minyak yang dIbuatnya pada tahun 2019.
Ide lukisan itu muncul ketika melihat lukisan Pablo Picasso yang berjudul Portrait de Dora Maar yang dibuat tahun 1937 dan lukisan S. Sudjojono dengan modelnya bernama Fatimah, yaitu lukisan di depan kelambu yang terbuka, di buat tahun 1939.
Kedua lukisan ini dibuat di tahun yang sama dan keduanya sama-sama melukis kekasih hatinya. Namun dengan perbedaan jarak, antara Indonesia dan Spanyol, keduanya menghasilkan lukisan yang bergaya berbeda.
Lukisan Dora Maar dilukis ketika setahun Pablo Picasso bertemu Dora Maar di lokasi syuting film Prancis yang berjudul The Crime of Monsieur Lange Pablo Picasso, yang waktu itu Picasso berusia 55 tahun dan Dora Maar 29 tahun.
Saat itu Pablo Picasso masih berhubungan dengan Marie-Therese yang merupakan ibu dari putrinya, Maya. Dan karena ketegangan dan situasi memburuk, akhirnya hubungan Picasso dan Dora Maar berakhir.
Beda halnya dengan S. Sudjojono, yang mana lukisan itu diawali dengan latar belakang S. Sudjojono gagal menikahi kekasihnya yang gadis Betawi bernama Yoyok. Setelah gagal, S. Sudjojono mulai mengunjungi tempat tempat pelacuran, akhirnya bertemu dengan seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang berasal dari Cirebon bernama Fatimah, yang sudah mengganti namanya menjadi Adhesi.
Fatimah kabur dari rumah karena dipaksa menikahi seorang haji yang jauh lebih tua umurnya, akhirnya ia ke Batavia dan terdampar di kawasan tersebut. Dan S. Sudjojono yang seorang Maxis, serta keras kepala, akhirnya mengajak Adhesi untuk menikah dan mengganti nama Fatimah/Adhesi menjadi Maryam, yang dimaksudkan mirip dengan Maria Magdalena.
Dengan latar belakang adanya kedekatan kisah percintaan semacam itu, kedua lukisan itu – lukisan Picasso dan Sudjojono – terlahir dengan gaya yang berbeda sama sama di masa perang dunia kedua.
Dari situ kemudian muncul ide Syakieb Sungkar melukis dengan mengambil kedua objek tersebut ke dalam satu lukisan, dan kedua objek duduk di kursi jawa, dengan memakai rok pendek, yang kelihatan kakinya. Ini tentu beda dengan obyek asli karya Sudjojono yang memakai kain batik
“Dilukis seperti ini dengan rok pendek sangat kontemporer bukan?” ujar Syakieb Sungkar mengenai lukisan model Dora Maar Pablo Picasso yang kakinya dibuat lebih putih dan lembut, serta kaki di lukisan Fatimah karya S. Sudjojono yang dibuat lebih gelap menyesuaikan dengan kaki orang Indonesia. Dengan memakai kebaya kakinya dibuat lebih berotot.
Ada pesan yang ingin disampaikan Syakieb Sungkar bahwa wanita jaman sekarang banyak melakukan aktivitas gym yang menyebabkan munculnya otot. Begitu pula kulit putih mulus dari lukisan Picasso, ada pesan berkaitan dengan banyaknya wanita Indonesia sekarang terobsesi menjadikan kulitnya lebih putih dan mulus sampai-sampai ngotot menggunakan whitening.
Di sela wawancara, turut hadir pelukis Chusin Setiadikara yang turut memberikan komentar tentang lukisan Syakieb Sungkar. Menurut Chusin, terdapat kedekatan ide melukis Syakieb dengan pelukis Liu Xiaodong dari China.
Lukisan lain “Di Kolam Hockney Kami Berpose”, dengan ukuran 150 x 150 cm, berbahan cat minyak, memperlihatkan kolektor Dedy Kusuma bersama Syakieb sedang berpose di kolam renang. Dan objek lukisan kolam renang semacam ini sering dilukis oleh pelukis David Hockney.
Setelah melihat lukisan David Hockney — Hockney itu adalah pasangan LGBT –, Syakieb kemudian mencari objek lukisan yang orangnya tidak LGBT tetapi cara berpakaiannya mirip LGBT. Dipilihlah Dedy Kusuma dan dirinya.
“Walaupun Dedy Kusuma usianya 70 tahun tapi cara penampilannya keren,” ujar Syakieb.
Lukisan tersebut, kata Syakieb, untuk mengapresiasi dan penghargaan bagi kaum LGBT. Ada juga kemiripan konsep lukisan dengan lukisan lain, misalnya lukisan berjudul “Brokeback Mountain” yang objeknya terdapat Asmudjo Jono Irianto bersama Kemalezedine Zubir.
Lain halnya dengan lukisan “Dinner With Tony”. Ini tentang musisi kontemporer, Tony Prabowo. Terdapat undangan diner, dan nampak di sebuah restaurant, di Jakarta. Ketika para peserta diner waktu itu asik ngobrol, Tony malah diam saja dan asik melihat handphonenya.
Baginya, peristiwa itu fenomena masa kini. Banyak terjadi kecenderungan untuk melakukan hal seperti yang digambarkan dalam lukisan itu, terutama dengan adanya kemajuan gadget, sehingga sangat menarik untuk diabadikan menjadi jukstaposisi dalam lukisan.
Di lukisan yang berjudul “Obral Lukisan” dengan ukuran 120 x 145 cm dengan bahan cata minyak di atas canvas yang di buat tahun 2021, Obyek yang menonjol adalah Yuswantoro Adi, seniman lukis, dan Hendro Tan yang kolektor lukisan dengan pacarnya.
Ide lukisan itu muncul dari obrolan grup WhatsApp yang dipimpin oleh Hendro Tan (salah satu kolektor lukisan kenamaan di Indonesia). Hendro punya ide untuk memasarkan seni kontemporer dengan discount besar-besaran sampai 90%, karena sudah sulit untuk dipasarkan. Sudah pasti ide tersebut kalau dilaksanakan, menjadi kontroversi di dunia seni rupa. Tentu seniman akan merasa keberatan dengan hal tersebut, yang awalnya harga lukisanya 100 juta menjadi 10 juta. Juga akan merugikan reputasi pelukis.
Munculah ide untuk lukisan, dengan melukiskan sosok seniman lukisan Yuswantoro Adi, wajahnya dibuat dengan dengan ekspresi wajah bermuram durja, duduk di atas krat minuman dengan termos dan di sampingnya ada Hendro Tan dilukiskan tenang-tenang saja dengan pacarnya. Di belakangnya ada tulisan diskon 90% dan lain-lainnya. Ini menjadi jukstaposisi dengan perbedaan status seniman dan kolektor.
Selain tokoh-tokoh terkenal seperti Goenawan Mohamad dan Wiyu Wahono, ternyata Syakieb juga melukis sopir Goenawan Moehamad, namanya Gugun. Ceritanya, di Salihara Gugun sedang santai menikmati jam istirahat di bengkel Salihara dengan sandal jepit, dan tumpukan speaker yang sedang diperbaiki.
Syakieb Sungkar juga aktif di media sosial. Postingan media sosial, banginya juga karya seni dengan memanajemen konten sedemikian rupa. Tidak ada pencitraan diri sini atau menjaga image penuh kepalsuan. Semua ditampilkan apa adanya, dari postingan dirinya, dilanjutkan ke konten lucu, politik, dan karya seni dan kehidupan pribadinya.
Keraguan khalayak ramai mengenai Syakieb Sungkar menggunakan artisan dalam menyelesaikan lukisannya terjawab sudah dengan postingan di media sosial saat ia berkunjung ke Devfto Printmaking di Sika Gallery Ubud sehari setelah pembukaan pameran bersama Goenawan Mohamad.
Tampak Goenawan Mohamad lagi melukis wajah dan Syakieb Sungkar lagi membuat lukisan perempuan telanjang, nampak jelas kekuatan garis dan spontanitas goresan mereka.
Fenomena melukis yang dilakukan bukan pelukis sebenarnya banyak terjadi di berbagai macam profesi lainya seperti artis, musisi, bahkan pejabat negara juga melukis seperti Paul McCartney yang gitaris The Beatles, yang juga menggemari karya David Hockney, Andy Warhol dan Eduardo Paolozzi, Presiden Amerika yang karyanya banyak melukis para veteran militer AS yang terluka.
Baru baru ini sempat viral di media sosial mantan Presiden Indonesia SBY juga melukis, dan banyak lagi lainnya. Ini bukan fenomena baru tentunya.
Kontemporer
Kalimat Syakieb Sungkar mengenai kontemporer perlu juga direnungkan lebih dalam. Dalam lukisan judulnya “Dialog Fatimah dengan Dorra Marr”, ketika melukiskan Fatimah dengan rok pendek, Syakieb menyebut pewarnaannya dibuat kontemporer, tidak seperti aslinya
Namun sampai sekarang istilah kontemporer masih sulit dirumuskan. Apa itu seni kontemporer? Walaupun dalam perkembanganya dikatakan seni kontemporer terpengaruh dampak modernisasi dan perkembangan di Barat sebagai produk seni yang di buat sejak Perang Dunia II. Dan saat itu istilah seni kontemporer menjadi sangat popular dalam perkembangan seni rupa di Indonesia.
Bahkan ketika booming seni rupa pada tahun 2006-2009 yang ketika terjadi bubble ekonomi, banyak lukisan yang muncul waktu itu ada kemiripan dengan seniman lukisan seniman China seperti Yue Minjun, Fang Lijun, Ju Ming, Wang Guangyi, Xue Jiye, Zhou Chunya, yang membuat saya bertanya tanya.
Atau mungkin ukuran kontemporer itu hanya diukur dari kebutuhan market seni rupa dan menjadi sangat mahal di berbagai bursa lelang dengan menggunakan ukuran seni rupa barat. Padahal banyak gaya-gaya lukisan Nusantara pada masa lalu di Indonesia “tersebar” di Eropa.
Misalnya, ketika Herman Neubronner Van Der Tuuk, mengenalkan lukisan lukisan dari Indonesia ke Eropa. Van Der Tuuk adalah alumni Leiden University yang ahli linguistic. Ia melakukan penelitian di Indonesia, salah satunya meneliti karya seni rupa yang dilakukannya di Sumatra, Jawa dan Bali sejak tahun 1850-an. Van Der Tuuk akhirnya menetap di Bali.
Van der Tuuk mengenalkan lukisan lukisan dari Indonesia ke Eropa, dan dilihat oleh seniman Barat yang bernama Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp, sehingga Nieuwenkamp akhirnya berkeliling di Indonesia dari Sumatra, Jawa, Bali dan Lombok, dan melukis di daerah yang dikunjungi, dan sesekali waktu membawa lukisan dari seniman Indonesia ke Eropa dari tahun 1898 sampai 1919.
Sejak itu mulailah dikenal karya-karya seni seniman Indonesia di Eropa, walaupun seniman dari Indonesia Raden Saleh Syarif Bustaman, sudah belajar dan tinggal di Eropa sejak tahun 1829 sampai tahun 1851 dan menjadi pelopor seni lukis modern Indonesia.
Dan mulailah pelukis Eropa lainnya berdatangan ke Indonesia seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Jose Miguel Covarrubias, dan Theo Meier, dan memberi pengaruh dan dipengaruhi oleh seniman lokal di Indonesia. Sehingga melahirkan corak pada karya lukisan Ida Bagus Gelgel dan Ida Bagus Kembang, seniman Indonesia asal Bali yang mendapatkan penghargaan medali bergengsi.
Pada tahun 1937 terdapat pameran akbar kelas dunia dengan tema pameran Exposition Internationale des Arts et Techniques dans la Vie Moderne (Pameran Seni dan Teknologi Antarabangsa dalam Kehidupan Modern) diadakan dari 25 Mei hingga 25 November 1937,di Paris, Perancis, setahun setelah dibentuknya manajemen seni rupa Pita Maha di Bali, atau lima tahun sejak dibentuknya Documenta di Kassel Jerman (adalah ajang seni tingkat dunia yang ada di Eropa) dan sebelum dibentuknya Art Basel yang juga merupakan event seni bergengsi tingkat dunia.
Pada pameran tersebut juga dipamerkan lukisan Guernica karya Pablo Picasso di kawasan pameran yang luasnya 101 hektar. Mungkin saja Raden Saleh sempat melihat pameran tersebut, dan menemui Ida Bagus Gelgel dan Ida Bagus Kembang, bisa jadi kedua pelukis tersebut sebagai cikal bakal lukisan kontemporer Indonesia, tanpa dipengaruhi gaya seniman luar Indonesia berkaitan dengan bombing seni rupa. Lukisan itu dibuat dengan kemurnian ide lukisan yang tiada duanya di dunia. [T]
__________
Baca artikel SENI RUPA lainnya atau artikel lain dari penulis I GEDE MADE SURYA DARMA
__________