Laga pertama semifinal Liga Champions 2020-2021 baru berjalan sembilan menit, ketika Timo Werner mendapat umpan cantik dari Christian Pulisic dalam kondisi yang begitu bebas di kotak penalti Real Madrid. Lalu jeger! Alih-alih menjadi gol, tendangan volinya justru mengarah tepat ke kaki kiper Los Blancos, Thibaut Courtouis.
What a big miss. A sitter missed.
Ibarat makanan empuk yang sudah terhidang di piring, tinggal menyendok dan menyuapkannya ke mulut saja, sendok masih bisa meleset. Media Inggris yang terkenal nyinyir, pundit, dan penggemar Chelsea, ramai-ramai menyayangkan peluang yang disia-siakan itu (terlepas dari penyelamatan yang dilakukan Courtouis). Sementara penggemar Madrid barangkali juga tertawa terkekeh-kekeh meledek Werner yang belakangan memang rajanya gagal mengkonversi peluang menjadi gol. Bahkan sekumpulan vidio soal peluang-peluang yang disia-siakannya sepanjang musim ini bisa dengan mudah ditemukan di youtube.
Lalu jelang leg kedua semifinal di Stamford Bridge Kamis (06/05) ini, banyak yang berandai-andai sekaligus bertanya-tanya. Andai saja tembakan Werner menjadi gol, andai saja The Blues bisa lebih klinis di depan gawang, andai saja dominasi mereka di pertandingan yang berakhir dengan imbang 1-1 itu bisa lebih dimaksimalkan, barangkali, iya… barangkali… langkah mereka menatap leg kedua sekaligus untuk lolos ke final akan lebih ringan. Keunggulan satu gol tandang saja jelas bukanlah modal yang cukup signifikan untuk bisa menghentikan tim sekelas Madrid yang sarat pengalaman di Liga Champions.
Andai nanti Madrid berhasil mencetak satu gol saja di Stamford Bridge, sementara mesin gol Chelsea kembali seret atau bahkan mandul, dan Chelsea benar-benar gagal ke final, tidakkah tim kota London ini akan menyesali peluang Werner yang terbuang sia-sia di leg pertama? Tidakkah itu akan menjadi semacam penyesalan massal untuk para penggemar Si Biru, begitu juga untuk Werner sendiri?
Sepakbola, sekalipun dia permainan strategi, mungkin memang selalu berkelindan antara harapan-harapan, mimpi-mimpi, pengandaian-pengandaian, hiburan dan tak luput juga kesalahan, kegagalan sekaligus penyesalan. Selalu ada aksi-aksi heroik yang diharapkan bisa melampaui ambang keterbatasan sekaligus juga pengingat akan keterbatasan.
“Ada jutaan orang dengan hal yang lebih berat lainnya untuk dihadapi, daripada sekadar peluang yang disia-siakan itu. Inilah bagusnya olahraga, tak akan ada yang peduli hal itu besok.”
Thomas Tuchel, pelatih Chelsea, sebagaimana dikutip Daily Mail, boleh saja berkata begitu, untuk menghibur Werner dan menyemangati anak asuhnya. Tapi sepakbola mencatat, beberapa kesalahan dan kegagalan yang membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya bisa menyesal sekaligus mengalami malam-malam panjang yang menyesakkan, dan tidur yang tak enak bahkan setelah mereka tidak lagi aktif bermain.
“Bahkan sampai hari ini, aku masih terjaga di tengah malam, dan bertanya-tanya, “oh kenapa”. Antara jam dua atau jam tiga pagi. Aku mengalami banyak hal bagus, tapi satu hal itu tetap saja mengganggu.”
John Terry, mantan kapten Chelsea bercerita dalam salah satu wawancara dengan media Inggris tahun lalu. Terry mengenang upayanya mengeksekusi penalti saat melawan Manchester United di final Liga Champions 2008. Di Moskow kala itu, harusnya tendangan Terry bisa membawa Chelsea merengkuh tropi Si Kuping Besar untuk pertama kalinya sepanjang sejarah setelah di pihak lawan, eksekusi penalti Cristiano Ronaldo gagal.
Naas, permukaan lapangan yang licin karena hujan, dan strateginya mengubah caranya mengeksekusi penalti menjadi mirip gaya panenka justru membuat keseimbangan tubuhnya buruk. Alhasil, ia pun terpeleset. Bola menggelincir ke samping kiri mistar gawang Edwin Van der Sar. Sang kapten tak bisa menahan emosi dan berurai air mata melihat kapten United kala itu, Rio Ferdinand yang justru akhirnya mengangkat trofi juara.
Bahkan disebut-sebut, momen yang dikenal sebagai John Terry’s penalty slip ini menjadi salah satu cikal bakal munculnya era meme-meme lucu yang kemudian bersliweran di lini masa media sosial setiap kali ada kejadian menarik di dunia olahraga. Ada juga yang menyebutnya sebagai kelahiran komedi gelap online dalam dunia sepakbola. Sesuatu yang berat dalam sejarah karier sang pemain tentunya, namun kenangan manis sekaligus lucu bagi suporter rival.
Tapi sebagai penggemar Chelsea, saya juga pernah ikut-ikutan terhibur ketika ramai-ramainya orang membicarakan tentang terpelesetnya Steven Gerrard yang dianggap sebagai pemicu kegagalan Liverpool meraih gelar Liga Premier Inggris pada 2014 yang sejatinya sudah dinanti-nantikan sejak lama. Musim masih menyisakan tiga pertandingan ketika itu, dan The Reds unggul lima poin atas Chelsea di puncak klasemen. Kemenangan dari Chelsea akan menambah jarak di pucuk klasemen sekaligus cukup hasil imbang sebetulnya untuk membuat Chelsea keluar dari kontestasi juara.
Apes, di penghujung babak pertama, dalam kondisi tanpa tekanan, Gerrad salah mengantisipasi umpan Mamadou Sakho, dan saat mencoba mengejar, ia terpeleset, bola lebih dulu diserobot Demba Ba untuk kemudian menjebol gawang Simon Mignolet. Chelsea menang 2-0, dan di akhir musim Manchester City yang juara. Jarang sekali skipper sekelas Gerrard melakukan kesalahan mendasar seperti itu, apalagi di saat-saat krusial. Sontak media heboh, pundit heboh, dan betapa tipis batas antara pihak yang pedih dan ria. The agony and the ecstasy. Bahkan hingga kini, insiden Gerrard’s slip ini masih sering sekali menjadi bahan cemoohan antar suporter. Potongan klipnya bersliweran di sana-sini.
“Aku sudah mengacuhkannya, tapi terus saja kembali, sepanjang waktu,” kata Gerrard mengenang peristiwa itu, bertahun-tahun setelahnya, setelah dia jadi manajer Rangers sekali pun. “Kariermu membawamu ke titik rendah sesekali. Akan mudah jika bisa seperti mengangkat karpet, lalu membenamkan dibawahnya dan kita tidak pernah memikirkannya lagi. Tapi aku pikir itu tidak akan pernah terjadi,” lanjutnya lagi, sembari mencoba berdamai.
Membandingkan peluang yang disia-siakan Werner, dengan kegagalan dua orang itu, dan juga masih banyak lagi mungkin kegagalan dan kesalahan pemain lain pada momen-momen yang jauh lebih krusial, barangkali tak berimbang dan tak penting-penting amat mengingat dampaknya yang memang belum terasa saat ini. Toh, baru fase semifinal. Tapi satu kesamaan yang bisa jadi ingin dinikmati sebagai penggemar sepakbola, adalah determinasi setelah kegagalan itu. Determinasi.
Tulisan kecil ini pasti bias, karena saya penggemar Chelsea. Tapi tak mengapa. Tak ada yang meragukan pengalaman Madrid, rajanya Eropa dengan 13 gelar Liga Champions dan juara empat kali dalam tujuh musim terakhir, plus sederet pemain sarat pengalaman. Los Blancos dan Zinedine Zidane tidak akan bertamu ke Stamford Bridge tanpa rencana dan tidak akan mudah menyerah sebagaimana mereka menyingkirkan Liverpool.
Saya masih berharap, Chelsea bisa meredam trio gelandang Luka Modric, Toni Kroos, dan Casemiro seperti laga pertama, meski disadari, tak mungkin mereka mau terjebak pada hal yang sama untuk kedua kalinya (bermain high pressing dan meninggalkan lubang di lini tengah). Pun untuk urusan menjaga lebih ketat striker veteran macam Karim Benzema, yang dalam sepersekian detik kesempatan bisa mengubah keadaan. Dan syukur-syukur setelah laga kedua berakhir nanti, saya tidak memiliki banyak pengandaian yang menggantung-gantung dan menghantu-hantui. [T]