Kita selalu kaget menghadapi banjir, seakan-akan peristiwa semacam itu baru pertama kali kita hadapi. Pada masa pasca kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi banjir kerap terjadi dan banyak yang kelimpungan menghadapinya, sepertinya peristiwa itu tak pernah dianggap sebagai pengalaman dan pelajaran.
Pada masa kolonial, sebelum kemerdekaan, sejumlah koran berbahasa Belanda mencatat, di Bali beberapa kali terjadi banjir yang berdampak pada kerugian materi, bahkan menimbulkan korban jiwa.
TAHUN 1932
Koran De Telegraaf terbitan 10 Januari 1932 melaporkan peristiwa hujan lebat yang melanda Bali Barat pada Sabtu, 2 Januari 1932, telah mengakibatkan terjadinya banjir besar pada Minggu sore. Daerah Jembrana disebut mengalami kerusakan paling parah dan terisolir. Setidaknya dilaporkan ada empat korban jiwa.
Sebelumnya pada 8 Januari, De Amsterdammer memberitakan jembatan besi di Sungai Puloekan sepanjang 40 meter hancur. Beberapa rumah hanyut namun tidak ada kecelakaan. Demikian pula jembatan di Sungai Pengragoan telah hanyut ke pantai. Di Sungai Yeh Leh banyak ditemukan batang pohon hanyut. Di Tabanan banjir menghanyutkan jembatan besi di Slabi dan Tukad Balean. Jalan Pengastoelan ke Poepoean yang merupakan penghubung paling barat Bali Utara – Selatan tertutup tanah longsor.
Koran De Banier terbitan 11 Januari melaporkan sebuah gubug di Benoa disapu angin dan terjadi kerusakan jaringan telegraf dan telepon akibat banyaknya pohon tumbang. Kecuali jalur dengan jembatan yang terputus, lalu lintas kembali normal sehari setelahnya.
TAHUN 1929
Tiga tahun sebelumnya, yakni 1929, juga terjadi hujan sangat lebat yang mengguyur Bali Selatan.
Hujan lebat diberitakan terjadi pada tanggal 11 dan 12 Januari 1929 yang berujung pada terjadinya banjir seperti diberitakan Soerabaiasch Handelsblad terbitan 15 Januari 1929. Air di Tukad Badoeng meluap dan merendam rumah jagal sehingga empat sapi dan lima babi tenggelam dan hanyut. Daerah Den-Passar dan Koeta disebutkan menderita kerusakan paling parah, namun tidak ada korban jiwa kecuali banyak babi dan ayam yang hilang.
TAHUN 1913
Selain tahun 1929 dan 1932, hujan deras dan disertai banjir besar yang sempat diberitakan koran Hindia Belanda misalnya banjir pada 24 – 25 Maret 1913 (De Indische Mercuur, 1 Juli 1913) yang mengakibatkan seorang petugas pria hanyut dan tenggelam di Buleleng, Sementara seorang wanita tertimbun tanah longsor.
TAHUN 1907
Di Bali Selatan banjir membuat bendungan Oongan dan Mambal rusak akibatnya bendungan yang lebih kecil hancur dan saluran air tersuMbat seperti sungai di Klandis dan Kedaton. Pabrik es di Kedaton tidak bisa beroperasi selama beberapa hari. Bendungan di Kapal dan Moengoe roboh, air danau Batooer meluap sehingga beberapa rumah di desa Boehan Abang dan Troenjan terendenam. Tanggal 21 Maret 1907 koran Het Nieuws van den Dag melaporkan peristiwa hujan lebat yang menyebabkan bendungan Oongan rusak sehingga saluran irigasi terganggu.
Bendungan Oongan pada akhirnya dibangun secara modern mulai 1913 – 1921. Dam ini malah sempat jebol juga akibat banjir pada 1918 (serta diduga akibat gempa 1917). Bendungan yang sebelumnya dibangun dengan pimpinan Ir. Happé’ kemudian diperbaiki kembali. Oleh Sorensen (Koloniaal tijdschrift, 1923) yang memimpin perbaikan, desain luncuran air diubah menjadi berundag untuk mengantisipasi ketinggian, dan desain itu bertahan hingga sekarang. [T]