26 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Wayan Sumahardika [ilustrasi tatkala.co | Nana Partha]

Wayan Sumahardika [ilustrasi tatkala.co | Nana Partha]

Panggung dan Ruang: Sebuah Sebab Memahami Diri

Wayan Sumahardika by Wayan Sumahardika
February 10, 2021
in Esai

Apa sesungguhnya panggung itu? Bagaimana bentuknya? Rupanya? Manakah yang dapat disebut panggung? Manakah yang bukan? Jika kita mengamini unsur teater—sebagaimana yang biasa terdefinisikan—yakni, ada panggung, ada aktor, ada penonton, namun pada suatu saat ada ruang yang tak biasa untuk dikategorikan sebagai panggung, bisakah kerja yang kita lakukan pada ruang-ruang ini disebut panggung teater? Dalam konteks kerja di ruang digital misalnya, bagaimana panggung mesti didefinisikan kemudian? Mesti disikapi kemudian?

Pertanyaan semacam ini jadi semakin sering berkelindan di kepala saya pada tahun belakangan. Terutama ketika kerja teater dipaksa untuk beradaptasi pada situasi pandemi. Semakin dicari kemungkinannya, semakin beragam pula kenyataan yang bisa ditemukan, khususnya pada persoalan panggung. Panggung hari ini tak lagi hanya sebatas tempat di mana kita berpijak, di mana kita mempertontonkan ekspresi, gesture dan segala piranti keaktoran lainnya, di mana set dan properti ditata sedemikian rupa, atau cahaya lampu dijatuhkan. Panggung bukanlah ruang hampa yang menunggu sutradara dan aktor datang, mengisi kekosongan ruang di dalamnya. Panggung adalah entitas hidup yang terus menerus bergerak, membangun sejarah dirinya, bahkan hidup kita sendiri.

Dalam konteks ini, saya ingin menangguhkan terlebih dahulu proyeksi panggung teater di masa depan. Justru sebaliknya, situasi yang memungkinkan panggung dibaca sebagai sesuatu yang tak terbayangkan, membuat diri kembali merenungi kerja teater yang selama ini dilakukan bersama kawan-kawan dalam menyikapi ruang, yang justru tak bisa disebut panggung pada umumnya. Karena keterbatasan yang kami miliki, kebanyakan pertunjukan biasa diselenggarakan pada ruang alternatif. Situasi ini bukan malah membuat kami menyerah dengan keadaan, melainkan jadi sebab buat menemukan hal-hal yang barangkali tak bisa ditemukan pada panggung konvensional. Bahwa panggung dan ruang memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain.

Hal ini saya sadari ketika berproses semasa kuliah di Singaraja. Tahun 2011, saat menggelar pementasan drama kuliah ‘Upacara Tengah Malam’ karya Oka Rusmini, saya dan kawan-kawan kebingungan di mana mesti menggelar pentas. Kampus Bawah yang biasa digunakan pentas kala itu, sedang masa pembangunan ulang. Sementara Sasana Budaya dan Gedung RRI Singaraja pun tengah dipergunakan untuk acara. Hanya tinggal Gede Manik-lah satu-satunya gedung yang tersisa sebagai pilihan. Ruang yang teramat besar, yang lebih banyak digunakan untuk konser band, tentu akan tampak seperti baju kedodoran bagi sebuah pertunjukan teater.

Kami menyiasatinya dengan membagi panggung dalam tiga bagian, yakni panggung atas, tengah, dan panggung penonton, sementara penonton sendiri ditempatkan pada bagian samping. Pada detik pertama pentas, hal ini tampak mengejutkan karena perspektif pertunjukan terbagi dalam dua kubu. Bagian samping kiri dan samping kanan. Namun gaung ruang, vokal pemain yang tenggelam, koreografi yang melempem, serta lampu yang tak begitu terang menjadikan penonton kehilangan fokus permainan. Alhasil pentas malam itu menuai kegagalan.

Mungkin karena kegagalan itu jugalah, secara tak sadar membuat saya mencari kemungkinan lain pada panggung-panggung lainnya. Hampir di setiap pentas, khususnya dalam kerja bersama kawan-kawan Teater Tebu Tuh kala itu, ruang-ruang alternatif kami cari dan gali kemungkinan-kemungkinannya. Mulai dari lapangan, basement, toilet, tangga dan lain sebagainya. Dari hal ini, temuan-temuan yang didapatkan dalam panggung lebih banyak pada tataran eksplorasi ruang yakni bagaimana cara untuk mendekatkan jarak panggung dan penonton, mencari bentuk pentas, komposisi blocking, koreografi, dinamika pentas, penggunaan ornamen panggung, dan hal-hal lain yang memungkinkan panggung untuk diisi dengan berbagai artistik permainan.

Di antara pentas yang dilakukan, ada satu pengalaman unik pada 201. Pada waktu itu bersama kawan-kawan Komunitas Cemara Angin, saya berkesempatan untuk membuat pertunjukan ‘Orang Asing’ karya Rupert Brooke terjemahan D.Djajakusumadi tengah basement kampus bawah Undiksha. Pada suatu adegan, pemain berteriak begitu kencangnya, diikuti musik yang berasal dari bunyi seng diinjak sedemikian rupa menghasilkan letupan suara yang menggema karena ruang yang cenderung semi terbuka-tertutup. Peristiwa ini begitu menghantui pikiran saya saat itu. Beberapa tahun kemudian, merupakan cikal bakal saya memaknai ruang sebagai sesuatu yang mesti ‘disingkap’ keberadaannya.

Boleh dikata pemahaman ini adalah kelanjutan dari apa yang saya temukan sebelumnya. Pada bagian pertama, saya maknai sebagai pengalaman ‘mengeksplorasi ruang’. Pada proses eksplorasi ruang, ruang-ruang alternatif yang saya gunakan sebagai panggung lebih banyak disikapi sebagai objek. Tak memiliki suara, tak memiliki narasi. Sebuah ruang netral yang memungkinkan penghuninya untuk menempati dan mengisinya dengan segala laku artistik teater. Sementara pada bagian kedua, saya maknai sebagai pengalaman ‘menyingkapkan ruang’. Jika mengeksplorasi ruang disikapi sebagai objek, menyingkapkan ruang justru disikapi sebagai subjek. Ruang kami posisikan sebagai sesuatu yang hidup, yang mempunyai narasinya sendiri. Maka tugas sutradara, tugas pemain dan tim produksi bukanlah menempati ruang mana suka. Melainkan berdialog dengan ruang tersebut. Membiarkan sang ruang menyingkapkan dirinya pada kita. Menyatakan hal yang ingin dinyatakan pada kita.

Kualitas semacam ini baru saya rasakan ketika pentas bersama Teater Kalangan dalam ‘Daftar Isi dan Kenangan yang Tak Lekang’ berdasar respon buku kumpulan cerpen karya Juli Sastrawan di Rumah Belajar Komunitas Mahima pada 2017 lalu. Pada pentas tersebut, saya mencoba tak melakukan eksplorasi sebagaimana biasa yang terjadi pada pertunjukan sebelumnya. Seperti namanya, Rumah Belajar Komunitas Mahima adalah rumah yang dialihfungsikan menjadi tempat pentas dan diskusi sastra. Struktur bangunan yang cenderung sempit sebagai tempat pentas membuat pergerakan aktor menjadi terbatas. Pada titik inilah, saya melihat kemungkinan lain dalam pentas.

Saya biarkan penonton untuk duduk mana suka, sementara adegan-adegan dibuat seintim dan seminimalis mungkin mulai dari gerak, komposisi, koreografi, ekspresi, dan vokal aktor. Sementara tempat bermain aktor semuanya dirajut dari kebiasaan penghuni rumah menyikapi ruang. Di mana saja mereka melintas, perlakuan mereka terhadap ruang, perubahan yang terjadi pada ruang, serta hal-hal yang melenceng atau yang tak terduga terjadi pada saat latihan para aktor. Semua kemudian dirajut dalam satu kesatuan pentas dengan memposisikan ruang sama halnya dengan aktor. Maka pentas tak hanya menyajikan komposisi aktor semata, penonton juga diberi celah menyadari perubahan ruang ketika aktor bermain di dalamnya.

Lalu, apakah semua itu cukup untuk menguraikan bagaimana definisi ruang dalam panggung pertunjukan? Saya rasa tidak. Hal-hal semacam ini baru merupakan serpihan keterbacaan saya pribadi bersama kawan-kawan dalam memahami ruang dan panggung. Ada juga misalnya pengalaman lain yang kami sebut sebagai provokasi ruang. Di mana sejarah dan sosial sebuah ruang justru dipertanyakan ulang keberadaannya untuk mencederai kemapanan konstruksi ruang di kepala penonton sebagaimana yang hadir dalam pertunjukan ‘Joged Adar, Kekasihmu dan Kesibukan Melupakannya’ bersama Teater Kalangan pada 2018 lalu. Selain itu ada saat di mana ruang dibaca dalam bingkai disiplin lain. Sebab interpretasi akan ruang juga tak bisa dilepaskan dari struktur berbagai lintasan ilmu yang punya agenda dan kepentingan epistemiknya masing-masing.

Tapi lagi-lagi tetaplah itu belum cukup untuk menjelaskan ruang sebagai panggung pertunjukan. Alih-alih semakin terang pembacaan kami atas ruang dan panggung, justru ada saja hal-hal baru yang menantang untuk diulik lebih dalam lagi. Pada akhirnya tulisan ini pun merupakan catatan bersambung yang terbuka untuk diisi kembali dengan uraian kemungkinan pembacaan akan ruang dan panggung lainnya. Sebab bukan diri saja yang berada pada posisi menjelaskan ruang dan panggung, boleh jadi sebaliknya, ruang dan panggunglah yang menguraikan diri kita.  Maka perlu juga kiranya membiarkan ruang dan panggung menyingkapkan dirinya kepada kita. [T]

Denpasar, 2021

______

BACA ARTIKEL LAIN DARI WAYAN SUMAHARDIKA

Wayan Sumahardika [ilustrasi tatkala.co | Nana Partha]
Tags: baliIndonesiasastraTeater
Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi Florence W. Williams dari buku aslinya  dan diolah oleh Juli Sastrawan
Cerpen

Si Ayam Betina Merah | Cerpen Florence W. Williams

by Juli Sastrawan
February 24, 2021
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

Jangan Belajar ke India Sebelum ke Gedong Kirtya Buleleng

Catatan Harian Sugi Lanus, 5 September 2020 1. Pakar Sanskerta ternama berkebangsaan India Prof. Dr. Raghu Vira, M.A., Ph.D., D.Litt.&LPhil., ...

September 5, 2020
Dunia Tanpa Suara / NI Putu Merta Bhuana Ningsih
Esai

Dunia Tanpa Suara

Oleh: NI Putu Merta Bhuana Ningsih - SMA PGRI 1 Amlapura Kembang api mulai bertebaran di langit hitam. Hari sudah ...

April 4, 2020
Esai

Jebakan Zaman

Tahun ini adalah tahun pertama adik saya mencoblos. Sebagai pemilih pemula, tentu saja ada semacam perasaan yang belum ternamakan sebelumnya. ...

April 25, 2019
Berpose di sebauh taman di Melbourne
Perjalanan

Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia [3] – Senang di Panggung, Riang di Luar Panggung

BACA JUGA: Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia – Hari Pertama, Pesta Kecil di TamanLaporan Pentas “The ...

March 5, 2020
Ilustrasi foto oleh: Mursal Buyung
Esai

Saya Seorang Nasionalis yang Pahit

Rasa sesal dan kesal kini bercampur menjadi satu hal yang membingungkan. Beberapa hari yang lalu, saudaraku dihina dan dimaki, aku ...

September 2, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jaja Sengait dari Desa Pedawa dan benda-benda yang dibuat dari pohon aren [Foto Made Saja]
Khas

“Jaja Sengait” dan Gula Pedawa | Dan Hal Lain yang Bertautan dengan Pohon Aren

by Made Saja
February 25, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Dedek Surya Mahadipa
Esai

Cerita-Cerita Biasa dan Tak Biasa Semasa Pandemi

by Dedek Surya Mahadipa
February 26, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (155) Dongeng (11) Esai (1412) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (340) Kiat (19) Kilas (196) Opini (477) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (101) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In