Pada tanggal 24 Oktober 2020, di Jatijagat Kampung Puisi (JKP 109), berlangsung dengan sederhana peluncuran buku kumpulan puisi Solilokui karya penyair Wayan Jengki Sunarta (Jengki). Peluncuran buku itu dihadiri oleh kurang lebih 40 orang, dengan menerapkan protokol kesehatan. Imam Barker didapuk oleh Jengki untuk menjadi pembawa acaranya.
Acara dibuka dengan sepatah kata pengantar dari Jengki.
“Saya menapaki jalan puisi sejak tahun 1990. Bagi saya, menciptakan puisi adalah sebuah proses sepanjang usai dalam rangka memaknai kehidupan. Puisi adalah anugerah Semesta yang menuntun batin saya mengembara menjelajahi rimba kehidupan. Buku puisi ini adalah buku puisi saya yang ke-8. Bolehlah sesekali di dalam hidup yang absurd ini, saya memberikan hadiah kepada diri saya sendiri. Solilokui adalah hadiah yang khusus saya berikan untuk diri sendiri dalam rangka ulang tahun saya yang ke-45. Solilokui ini juga sekalian menjadi persembahan saya kepada Ayah dan Ibu saya yang telah merestui setiap langkah hidup saya. Solilokui berisi 55 puisi yang saya pilih dari masa penciptaan tahun 2016 hingga 2020. Cover buku Solilokui merupakan patung Sisipus karya pematung besar, I Ketut Putra Yasa, yang dijepret oleh Phalayasa Sukmakarsa.”
Acara dilanjutkan dengan bedah buku. Acara yang dimoderatori oleh Ni Amor Fati dengan pembicara kondang Profesor Petualang Sabang ini berlangsung dengan sangat alot selama 2 jam. Hehe…maaf, baru saja saya telah menyampaikan suatu hal yang tidak benar. Sesungguhnya di dalam acara itu tidak ada moderator, tidak ada pembedah buku, dan tidak ada diskusi. Amor Fati adalah buku kumpulan puisi karya Wayan Jengki Sunarta terbitan tahun 2019 sedangkan Petualang Sabang adalah buku kumpulan puisi karya penyair yang sama terbitan tahun 2018. Saya hanya ingin menekankan bahwa acara ini, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, adalah acara peluncuran buku yang dilangsungkan dengan sederhana. Ya, hal itu memang disengaja sebagai respon sederhana terhadap covid 19. Sesederhana itu.
Sesederhana apa pun, musik bisa bikin asik. Musikalisasi puisi sepertinya sudah menjadi menu wajib pada acara peluncuran buku puisi. Tetapi di masa pandemi ini, musikalisasi puisi ternyata sudah termasuk barang mewah. Diperlukan latihan berkali-kali; dibutuhkan persiapan yang memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Dan hal itu, dengan kondisi seperti ini, tidak lagi bisa disebut sebagai sesuatu yang sederhana. Untunglah pada malam yang cerah itu, Dedysumantara Yasa hadir. Ia menyanyikan dua buah lagu ciptaannya sendiri, diiringi dengan petikan gitarnya sendiri. Sebagian dari yang hadir terlihat asik menikmatinya. Sebagian yang lain terlihat asik berdiskusi. Spontanitas, apa adanya, alami, begitulah kira-kira suasana yang ingin saya laporkan. Apakah hal tersebut belum cukup untuk menjelaskan kata sederhana yang saya tulis di kalimat pertama paragraf pertama di atas?
Pada acara pembacaan puisi, Pematung Kondang yang karya patung Sisipus-nya dijadikan sampul depan buku tersebut, dimohon dengan sangat oleh Jengki untuk membacakan puisi. Pembacaan puisi disusul oleh Gm Sukawidana, Ketut Syahruwardi Abbas, Mira Antigone, Kardanis MudaWi Jaya, Hendra Utay, April Artison, Imam Barker, Wayan Jengki Sunarta, Sulis Gingsul AS serta beberapa orang yang tidak saya ketahui namanya karena baru kali itu saya jumpai di JKP 109.
Sebelum membaca puisi karya Jengki, GM Sukawidana menegaskan bahwa dirinya membaca puisi bukan karena diminta membaca puisi. “Kalau diminta itu bisa saja dilakukan dengan terpaksa. Saya membaca puisi ini atas keinginan saya sendiri. Sejak dulu saya sering suka sekali mengejek Jengki. Nah, ini adalah kesempatan saya untuk melunasi. Pembacaan puisi yang saya lakukan ini adalah semacam silih atas semua ejekan “sayang” yang saya pernah lontarkan kepada Jengki. Menurut saya, Solilokui adalah buku Jengki yang paling baik di antara semua buku puisinya. Semoga pembacaan puisi yang saya lakukan ini adalah akhir dari kesukaan saya mengejekmu ya, Jeng!”
Sebelum membaca puisi, Ketut Syahruwardi Abbas (Abbas) menyatakan bahwa Soliloqui ini berbeda dengan semua buku kumpulan puisi karya Jengki (Solilokui adalah buku Rp kumpulan puisi karya Jengki yang ke-8). Menurutnya, Soliloqui lebih matang. Sebagai perbandingan, ia menyatakan bahwa di dalam kumpulan puisi Petualang Sabang, Jengki seperti kehilangan kedalamannya. Petualang Sabang terkesan sekedar “laporan pandangan mata.” Saya tidak ingat dengan persis kata-kata Abbas, terutama yang pada frasa yang saya beri tanda petik (“).
Setelah membaca satu buah puisi, Sulis Gingsul AS menyatakan kekagumannya, kepada Jengki. Didorong oleh keharuan, sebenarnya ada banyak sekali yang ingin disampaikannya. Tetapi karena itu adalah acara pembacaan puisi, hanya sedikit yg bisa tersampaikan. Apa yang ingin disampaikannya pada saat itu saya tuliskan di bawah ini.
Ada satu hal saja yang membuat saya kagum sekaligus terharu menyaksikan Wayan Jengki Sunarta. Umbu Landu Paranggi (ULP) pernah menulis “Puisi adalah kehidupan, kehidupan adalah Puisi.” Kalimat tersebut pernah menjadi “tag line” pada spanduk Kampung Puisi Bali (cikal bakal JKP 109) yang dipakai untuk latar belakang panggung pada acara-acara di JKP. Saya merasa bahwa Jengki adalah salah satu yang benar-benar menghayati kalimat ULP tersebut dalam arti harafiah. Sebagai penyair, sebagian besar hidup Jengki (bisa kita baca: seluruh hidup Jengki) adalah untuk puisi. Bisakah Anda bayangkan, pada zaman milenial ini, masih ada Jengki, seorang penyair yang dihidupi hanya oleh puisi. Lebih jelasnya, sumber penghidupan Jengki ya dari menjadi penyair. Hampir tidak ada sumber penghasilan lain. Sekarang ada berapa gelintir orang sih yang masih berani dan kuat menjadi penyair yang seperti Jengki? Jika itu pilihan hidup Jengki, saya angkat topi. Dan jika itu adalah takdir, saya memang telah dan sedang terharu. Saya baru saja menduga bahwa itu adalah takdir yang telah ditemukan oleh Jengki sebagai pilihan hidup. Untuk menjalani kepenyairan seperti itu, banyak sekali yang harus dikurbankannya. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang penyair seperti Jengki? Mari kita simak puisi berjudul “Seekor Kucing Hitam Sekarat”. Puisi ini saya pilih karena (kebetulan) sampul belakang buku puisi Solilokui adalah foto Jengki sedang memangku seekor kucing hitam.
SEEKOR KUCING HITAM SEKARAT
seekor kucing hitam sekarat
nafasnya lemah, tubuhnya kaku
betapa bodoh diriku
tak mampu menolongnya
seekor kucing hitam sekarat
rasa sakitnya menjalari hatiku
semesta senyum sinis padaku
tak mampu berbuat apa
seekor kucing hitam sekarat
aku menunggu maut menjemputnya
ah, betapa aku penyair tak berguna
hanya bisa menulis puisi
sebagai pengantar kematiannya
————————————————–
Ada dua hal yang saya selalu temukan dalam sebagian besar puisi-puisi Jengki. Yang pertama adalah kejujuran. Yang kedua adalah kesederhanaan. Kedua hal itu membuat saya berani merekomendasikan kepada Anda untuk membaca puisi-puisi Jengki. Puisi Jengki adalah pengembaraan batin. Mungkin Jengki belum menemukan apa-apa selain absurditas. Yang pasti, Jengki sudah menjalani pencarian. Dalam pencariannya yang berdarah-darah itu, apa yg sering ia sering menemukan “kejutan tak ternilai”. Kejutan tak ternilai itulah yang diolahnya menjadi puisi. Sesederhana apa pun puisi yang diciptakannya, baginya merupakan anak-anak rohaninya yang tak ternilai dan wajib ia sayangi.
“Apakah menjadi penyair seperti Wayan Jengki Sunarta bisa hidup bahagia?” Itulah yang saya lontarkan kepada khalayak, dan telah dijawab seketika oleh Jengki, “Itu pertanyaan yang sangat Absurd…eh-eh-eh”. Kebetulan (kalau memang takdir itu tidak ada), Jengki telah memilih Sisipus untuk menjadi sampul depan buku kumpulan puisi Solilokui-nya. Untuk Anda yang belum pernah mengetahui cerita tentang Sisipus, berikut ini adalah ringkasan ceritanya.
Sisipus adalah tokoh dalam mitologi Yunani. Karena kesalahannya, ia dikutuk untuk terus-menerus mendorong sebuah batu besar dari bawah ke puncak gunung. Sesampai di puncak, batu itu akan menggelinding jatuh kembali. Begitu batu itu sampai di bawah, Sisipus harus mendorong lagi batu besar itu ke atas. Begitu seterusnya, lagi dan lagi, tanpa akhir yang pasti. Ini terasa seperti suatu kekonyolan, bukan? Mungkinkah kehidupan yang seperti itu bisa menciptakan kebahagiaan? Mari kita tengok hidup kita masing-masing. Jika kita renungkan, tidak miripkah krhidupan Sisipus itu dengan kehidupan kita?
Menyadari bahwa kehidupan Sisipus adalah perumpamaan yang paling dekat bisa menggambarkan keabsurdan kehidupan ini, sebagian orang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Untuk apa bersusah payah melakukan segala hal yang ternyata hanya kesia-siaan? Albert Camus, dalam eseinya konon menyarankan “Hidup adalah perjuangan tiada akhir. Dan sesungguhnya perjuangan sudah sangat bisa untuk mengisi waktu dan hidup manusia. Kita seharusnya membayangkan bahwa Sisipus berbahagia. Kalimat “Kita harus membayangkan Sisipus bahagia” ini juga saya dengar dari mas Tatang Bsp yang entah dengan Nur Nuryana Asmaudi atau dengan Muda Wijaya sedang berbisik-bisik membicarakan Sisipus.
Pada suatu masa, saya mulai percaya bahwa sesuatu menjadi bunga yang mekar dan kemudian gugur terjadi bukan atas kehendak bunga itu sendiri. Sesuatu telah ditakdirkan untuk menjadi bunga yang mau tidak mau harus mekar kemudian gugur, mekar kemudian gugur, demikian sampai batas waktu yang tidak diketahui. Dan ketidakbahagiaan hanya akan muncul ketika bunga itu ingin menjadi daun atau sesuatu yang tidak sebagaimana apa-adanya-dirinya-sendiri. Eh, lalu bagaimana dengan yang sering disebut-sebut sebagai kehendak bebas itu? Saya bukan filsuf dan wawasan saya sempit. Entah itu bagaimana, tetapi beginilah yang saya alami. Kemarin pagi, saya berkehendak bebas untuk datang ke JKP 109 jam 6 sore agar bisa membantu Bonk Ava, Obed Wewo, Phalayasa Sumakarsa, Ngurah Arya Dimas Hendratno, dan Ari Antoni untuk menyiapkan sesuatu. Tetapi ternyata pada hari ini bos saya meminta saya masuk kerja lembur meskipun pada hari ini seharusnya saya libur. Akhirnya saya malah terlambat datang di JKP. Ketika memasuki halaman, kira-kira jam delapan malam, panggung sudah siap, orang-orang sudah berkumpul. Saya melihat Wayan Juniarta dan Achmad Obe Marzuki sedang berdiri melihat ke arah Jengki.
Kembali ke pertanyaan apakah menjadi penyair seperti Wayan Jengki Sunarta bisa hidup bahagia? Sekali lagi, itu pertanyaan yang absurd. Tetapi saya bisa membayangkan penyair Wayan Jengki Sunarta sesungguhnya sering bahagia.
seekor kucing hitam sekarat
aku menunggu maut menjemputnya
ah, betapa aku penyair
sangat bisa menulis puisi
sebagai pengantar kematiannya
—————————————————
Setelah membacakan puisi pamungkasnya, Penyair Wayan Jengki Sunarta berkata begini: “Puisi adalah batu Sisipus saya”
Bapak Umbu Landu Paranggi hadir dan mengikuti acara peluncuran buku ini dari awal sampai akhir. Bapak Umbu terlihat sangat sehat dan berbahagia. Wajahnya berseri-seri. Bapak Umbu berbahagia terutama karena Jengki akhirnya menemukan. “Akhirnya, Jengki!” Begitu Bapak Umbu mengucapkannya dengan keras dan bahagia.
Beberapa nama sempat disebut-sebut oleh Bapak Umbu, di antaranya yang saya ingat: Bapak Frans Nadjira, Emha Ainun Najib, Warih Wisatsana, Dedari Rsia, Raudal Tanjung Banua, dan Riki Dhamparan Putra. Kebetulan mereka tidak berkesempatan menghadiri acara peluncuran buku. Umbu menyebutkan beberapa hal baik tentang mereka. Kata-kata Umbu yang paling berkesan bagi saya pada acara peluncuran buku kumpulan puisi Solilokui:
“Arti sesungguhnya dari SOLILOKUI
adalah
APA YANG BISA SAYA KERJAKAN!
APA YANG BISA SAYA KERJAKAN!
Selamat atas buku kumpulan puisi Solilokui. Sesuatu yang mewah mungkin akan membuat orang tercengang. Tetapi sesuatu yg sederhana kadang-kadang malah bisa memicu perasaan haru. Sungguh, saya begitu terharu. Semoga penyair Wayan Jengki Sunarta sering bahagia.
Jika memang hidup ini absurd, apakah kita harus bunuh diri. Atau sebaiknya kita menulis puisi saja?
Sulis Gingsul AS
(Tulisan ini saya kerjakan sebagai penghormatan saya kepada Penyair Wayan Jengki Sunarta.)