Sejak beberapa bulan yang lalu, Singaraja menjadi salah satu kota yang mengalami keterpurukan dan kesepian. Tentu hal tersebut merupakan imbas dari masuknya Virus Corona atau Covid-19 yang menurut Pakar Epidemologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono; sudah masuk di Indonesia sejak awal Januari. Meskipun dari pihak pemerintah Indonesia baru mengumumkan pertama kali terkait adanya dua kasus pasien positif Covid-19 pada 2 Maret 2020.
Hal tersebut di dalam bagian tertentu cukup menjarah berbagai aktivitas yang biasa dilakukan umat manusia atau masyarakat: bagi para guru, aktivitas belajar dan mengajar secara tatap muka; tentu akan terhalangi, bagi para penjual bakso keliling, aktivitas berjualan; dari segi penghasilan keuntungan yang didapat perharinya akan sangat menurun, karena sebagian besar masyarakat [bisa juga mahasiswa] yang notabene adalah perantau; yang biasanya menjadi konsumen; terpaksa harus dipulangkan ke daerah masing-masing, bagi para seniman panggung, aktivitas pementasan yang telah dijadwalkan dari jauh-jauh hari, tentu banyak yang perlu dihentikan [ditunda], karena berbagai peraturan daerah telah dikeluarkan untuk menghimbau masyarakat agar tidak bergerombol, dengan harapan, pandemi Covid-19 cepat mereda atau setidaknya, penyebarannya agar tidak semakin meluas, dan selain pihak-pihak yang telah disebutkan di atas, juga masih banyak lagi berbagai pihak yang bisa terbilang terjarah akibat dilanda Virus Corona atau Covid-19. Yang tidak bisa disebutkan satu persatu di dalam tulisan ini.
Dengan berbagai permasalahan yang telah dipaparkan, tentu bisa digeneralisasikan bahwa Covid-19 ini memang cukup mengancam bagi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup-sosial masyarakat. Khususnya, di bagian daerah yang ada di Kota Singaraja, Bali. Namun meski demikian hebatnya Covid-19 mengancam dan menghentikan berbagai aktivitas hidup-sosial masyarakat. Tentu, manusia yang ditakdirkan sebagai makhluk yang berpikir, akar terus mencoba mencari jalan ke luar atau solusi untuk menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh adanya Covid-19. Salah satu hasil dari pemikiran tersebut adalah memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk tetap melangsungkan berbagai aktivitas yang sebelumnya sempat dihentikan [ditunda]; meski dengan jangkauan yang bisa dikatakan cukup terbatas, karena tidak semua lini masyarakat bisa berkecimpung di dalamnya.
Mereka, memanfaatkan dan melangsungkan pertemuan dengan dukungan kecanggihan teknologi atau sebut saja internet. Mereka memanfaatkan ‘dunia virtual’ sebagai alternatif untuk bertatap muka atau bertemu langsung. Hal tersebut cukup membantu dan menjadi solusi untuk sebagian aktivitas masyarakat yang sebelumnya terbengkalai. Para guru memanfaatkan jalur tersebut untuk melangsung aktivitas belajar dan mengajar. Sedangkan para seniman panggung, juga memanfaatkannya sebagai media alternatif untuk melangsungkan berbagai aktivitas pementasan.
Hal demikian bisa dilihat dari kegiatan yang sudah diprogramkan oleh sekelompok mahasiswa yang menamai diri mereka Teater Kampus Seribu Jendela. Program yang sedang mereka rancang juga melibatkan berbagai kelompok-kelompok lain yang ada di Singaraja, salah satu dari kelompok tersebut adalah Komunitas Omah Laras. Yang di dalam kegiatan yang mereka programkan mendapat bagian mementaskan monolog dengan naskah berjudul Topeng-Topeng karangan Rachman Sabur, pada Senin, 21 September 2020 dan berlangsung pada pukul 19.05 Wita. Pemain atas pementasan monolog tersebut bernama Syahrul Iman (22). Sedangkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, atau yang bisa disebut sebagai pembantu di dalam keberlangsungan dan kelancaran pementasan, antara lain: Danny Mahatma Ghandi (21), Hidayat (23), Fajar Hartono (24), Gamma Uswatun Hasanah (22), Retno Adibar (27), Ardi Berati Artha, dan Sam Pohlmann (24). Selain itu, juga ada para penonton yang langsung datang ke tempat kediaman Komunitas Omah Laras di Jl. Srimadya No.81119, Banyuning, Buleleng, antara lain: Kadek Nara Widyatnyana (21), Ahmad Anif Alhaki (24), Agus Wiratama (25), dan lain-lain.
Seperti yang disematkan pada pernyataan sebelumnya, bahwa pementasan tersebut berjalan lancar. Syahrul Iman yang sebagai pemain atas naskah Topeng-Topeng yang berhaluan kritik-sosial; membawakan secara sangat totalitas, mulai dari adaptasi terhadap situasi di panggung; yang membuat properti-properti berbagai topeng seolah hidup, pendalaman terhadap karakter Waskah dan Semar yang menjadi tokoh utama di dalam naskah yang sedang dibawakan juga cukup memuaskan, dan hal lain juga menarik adalah adanya percobaan interaksi-interaksi kepada penonton yang secara langsung ada di kediaman Komunitas Omah Laras maupun yang secara langsung ada di dalam jaringan di Instagram UKM Teater Undiksha. Dengan demikian, mungkin tulisan ini memang hanya sebatas yang bisa dijamah oleh penulis; dan akan segera diakhiri. Namun sebelum itu, penulis terlebih dahulu ingin menyampaikan sesuatu, bahwa hal-hal kreatif semacam kegiatan ini, atau yang sedang diprogramkan oleh kelompok Teater Kampus Seribu Jendela harus tetap ada dan mampu menghidupkan Kota Singaraja, khususnya di wilayah kesenian.