Sudah lama sekali rasanya mengikuti bagaimana pola kehidupan yang diatur oleh keadaan mengenai pendemi ini, segala aspek rasanya terpaksa melakukan rehat yang begitu panjang. Dipaksa berjarak dari biasanya, tak terkecuali saya yang sering berkegiatan dalam pola hidup yang membutuhkan ruang lingkup yang luas.
Rasanya sangat hampa, entah bagaimana seorang aktor teater yang dasar pola hidupnya sudah acak adul kerja tanpa waktu yang tepat. Kemudian diketemukan oleh realitas baru seperti sekarang. Awal adanya isu Covid-19 segala pentas tertunda, kemudian segala kegiatan tertunda pula bahkan sampai ada yang tidak jadi untuk diselenggarakan.
Segala macam kegiatan terhenti, bahkan nyaris tidak ada pergerakan sama sekali. Awalnya saya sangat menyadari bahwa ritme pola kerja saya pun mengalami pemberhentian secara alami, yang saya curigai mungkin karena faktor lingkungan yang segalanya berhenti berkegiatan. Atau saya curiga juga mungkin faktor keinginan untuk beristirahat sejenak atau kasarnya ingin bermalas-malasan sebentar.
Kemudian ketika suatu hari saya mencoba mengulik ulang apa yang terjadi pada diri saya sendiri, malah yang muncul ke permukaan pikiran adalah sudah lama sekali rasanya tidak lagi melakukan kegiatan rutin yang biasanya dilakukan sebelum pendemi. Semisal berdiskusi, membaca buku teater, ataupun menulis tentang keaktoran. Sampai-sampai saya kebingungan ketika mempunyai keinginan untuk menulis kembali, lalu harus dari mana saya memulai dan mengambil pijakan untuk melanjutkan.
Tapi ada beberapa hal yang kemudian saya jadikan perkiraan untuk melanjutkan atau mengambil pijakan untuk memulai, bahwa ada sebuah proses istirahat panjang dalam diri saya beberapa bulan belakangan ini. Ketika dihitung, tak terasa sudah hampir 4 bulan saya menghabiskan waktu untuk merenggangkan pikiran. Entah apakah itu murni untuk merenggangkan pikiran saya dari kebiasaan yang begitu berat, atau melepas segala hal-hal yang sudah saya jalani dalam dunia teater. Tegang rasanya, sebab dalam rehat panjang saya menghabiskan waktu di kampung halaman. Yang tentu dalam keseharian begitu berjarak dengan teater, walaupun sesekali dalam beberapa saat pikiran dan pertanyaan tentang teater muncul untuk diri sendiri.
Ada hal yang saya rasakan sangat berbeda ketika berada di kampung halaman begitu lama, bahwa ada sebuah pola pikir yang saya bawa dengan alami ketika saya melakukan rutinitas di kampung. Ada sudut pandang dan cara berpikir berbeda ketika melihat sesuatu yang ditunjukkan orang-orang di kampung halaman, ada pikiran mengkritisi pola hidup khususnya anak muda di kampung tapi bentuk dan wujud kritis itu saya lontarkan untuk diri saya sendiri. Guna mengasah perasaan saya, entah itu untuk apa. Tapi tentunya, saya kira sangat berbeda konteksnya ketika mengkritisi hal-hal yang biasa saya kritis di lingkungan saya berteater dengan hal-hal yang terjadi di kampung halaman.
Padahal realitas yang terjadi sama saja, di Denpasar ketika berteater saya juga berkumpul dengan teman sebaya saya membicarakan hal-hal yang biasa saya bicarakan. Tapi ketika saya pulang ke kampung halaman, dan berkumpul dengan teman sebaya saya, ada ketegangan baru yang saya temukan dalam lingkaran pergaulan di kampung. Awalnya saya mencurigai diri saya sendiri, bahwa ini adalah efek yang terjadi karena jarangnya saya memijakkan kaki berlama-lama di kampung halaman saya sendiri. Baru kali ini setelah beberapa tahun saya berteater di Denpasar akhirnya saya berdiam diri begitu lama di kampung halaman, tidak tanggung-tanggung lima bulan saya berada di kampung halaman. Dari yang biasanya hanya pulang kampung ketika hari raya, ataupun ada kegiatan yang kebetulan di kampung halaman. Ya biasanya paling lama 10 hari.
Dengan membawa interpretasi bahwa diri saya begitu lama tidak pernah memijakkan kaki di kampung halaman sendiri, akhirnya ada keinginan untuk mencoba mencari sebab dan kemungkinan lain. Apalagi pikiran tersebut datang ketika saya beru menginjakan kaki beberapa minggu saja di kampung. Saya mencoba mencari beberapa lingkaran pertemanan yang memang dalam sebuah lingkungan ada beberapa pergaulan yang mengkelompokkan dirinya sendiri. Contohnya begini, ada beberapa teman saya yang suka bergaul dengan teman di luar kampungnya bahkan hari-harinya habis untuk “mengukur jalan” dan berkumpul dengan temanya di luar. Ada juga beberapa teman yang memilih hanya bergaul dengan teman sekampungnya saja, bahkan karena berteman dan bergaul di kampung saja jadi mereka tak banyak mempunyai teman di luar kampungnya. Hal-hal tersebut alami terjadi tergantung bagaimana mereka membangun dirinya dengan keadaan sosial serta lingkaran pergaulan.
Kemudian saya menemukan lagi hal menarik dalam proses mempetakan pergaulan teman-teman saya, ada satu tempat dan moment yang membuat mereka akhirnya untuk dipaksa untuk bertegur sapa ataupun bertemu. Yaitu masjid, di masjid mereka dipertemukan tanpa ada kesepakatan sebelumnya. Beda ketika bergaul, mereka sebelumnya mengatur jadwal waktu dan tempat untuk berkumpul. Beda ketika di masjid, hal tersebut begitu saja terjadi. Tak terkecuali saya, saya merasakan sendiri bagaimana moment tersebut menjadi hal yang sangat tak terduga. Awalnya yang hanya memang memiliki keinginan pergi ke masjid untuk melakukan sholat, usai sholat ada saja tegur sapa atau perbincangan kecil yang terjadi tanpa direncanakan. Bahkan tak jarang lebih lama waktu mengobrol dengan teman di bandingkan dengan waktu sholat.
Akhirnya saya menyadari ada hal yang terbangun ketika berada di masjid, bahwa masjid di kampung saya tidak semata-mata hanya tempat untuk melakukan ibadah. Tapi ada hal lain di baliknya, bahkan tak jarang karena ke masjid saya bertemu dengan teman yang sudah lama sekali tidak bertemu. Atau bertemu teman yang tidak begitu akrab sebelumnya, tapi karena dengan nongkrong bersama seusai sholat akhirnya ada komunikasi yang perlahan dibangun.
Dan memang, waktu rehat saya selama 4-5 bulan hanya habis untuk berpergian ke masjid. Awalnya karena waktu itu bulan Ramadhan, dan ada perasaan malu terhadap diri saya sendiri ketika jarak rumah dengan masjid hanya seukuran lompatan belalang, begitu dekat.
Tak hanya itu, ada juga temuan-temuan saya yang lain selain bahwa masjid tidak sekedar menjadi tempat untuk beribadah. Ada pola hidup masyarakat yang dibangun secara perlahan dan tak kasat mata ketika berada di masjid dan melakukan tukar lintas disiplin di sana. Di masjid secara tidak langsung tukar kabar atau sekedar basa-basi terjadi, apalagi secara sadar orang-orang di kampung saya sangat mengetahui kegiatan selama di Denpasar.
Akhirnya basa-basi itupun selalu menjadi awal untuk membuka obrolan, sekedar menanyakan kabar dan apa saja kegiatan yang dilakukan hingga sangat jarang sekali bertemu. Dengan demikian kabar menjadi jembatan untuk mengobrol tentang hal-hal lainya. Ternyata apa yang biasa saya lakukan di Denpasar selama berada dalam lingkungan kesenian dan berkreatif terjadi juga di masjid ketika saya berada di kampung. Hal-hal yang sama terjadi adalah terjadinya obrolan lintas disiplin dari masing-masing orang yang saya temui, ada mahasiswa yang kebetulan pulang ke kampung karena keadaan pendemi.
Ada santri yang pulang dari pondok pesantren karena pendemi, ada pekerja yang pulang karena keadaan yang sama. Bahkan ada juga yang tak kemana-mana. Itu menjadi benang dengan warna yang berbeda-beda ketika bertemu dan mengobrol. Saya yang tentunya merasakan hal tersebut malah berpikir dan sering melompat kemudian melempar pikiran saya ke dimensi lain, bahwa hal-hal tukar pikiran ini tidak terjadi sama sekali ketika mereka berada pada pergaulan mereka masing-masing. Biasanya saya juga sering mengalami bahwa obrolan yang terjadi dalam siklus pergaulan di luar masjid hanya berpondasi pada satu hal saja. Misal yang senang bergaul di luar mereka hanya habis membicarakan keseruan dan kegiatan mereka selama di luar kampungnya, biasanya mereka mencari tempat untuk nongkrong di pinggir jalan sekitaran kampung. Dan mereka yang tidak senang bergaul keluar, tugasnya membicarakan mereka yang senang bermain keluar kemudian sambil sesekali membicarakan perdebatan-perdebatan lainya.
Biasanya mereka duduk di warung sekitaran kampung. Duduk sambil menunggu sapaan orang lain yang melintas di sekitar kampung. Saya mencoba memasuki ruang-ruang tersebut, saya mencoba bergaul dengan segala bentuk ruang di kampung. Memang begitu tegang, tapi sangatlah seru. Dan lagi-lagi saya tertegun ketika semua ruang-ruang yang terbagi tadi hanya bisa menjadi satu wadah ketika di masjid. Entah ini perasaan saya saja yang terlalu berlebihan melihat realitas seperti ini. Atau memang pada dasarnya begitulah cara membaca suatu pergaulan pada lingkungan. Bahwa ruang-ruang kecil yang terbagi tadi memang disusun secara alam bawah sadar untuk membentuk dan menyusun pola pikir seseorang yang kemudian menjadi dasar untuk dirinya sendiri ketika menghadapi realitas.
Katakanlah orang-orang yang menghabiskan waktunya di luar akan merasa menjadi asing di lingkunganya sendiri. Tapi, orang yang hanya menghabiskan waktu di kampung saja akan merasa asing oleh dunia luar. Itu saya dapatkan ketika saya banyak mengobrol dan mendengarkan bagaimana dari mereka menampakan diri mereka masing-masing. Tapi hal itu memang lumrah dan memang sah terjadi. Begitu tegang bukan? Ya memang begitulah adanya, sampai sekarang saya masih berpikir sebenarnya bagaimana cara yang benar dalam menjalani realitas. Sebab begitu tegang ketika berada pada dua lingkungan yang sama-sama penting untuk diri sendiri.
Tapi saya percaya, dengan menjaga kesadaran untuk mengisi dan membuka diri untuk dua lingkungan tersebut pasti akan seimbang antara menumbuhkan diri untuk berkembang dan bersosialiasi terhadap lingkungan tempat lahir. Agar tak berat sebelah. Terimakasih masjid, sebab selama beberapa bulan menghabiskan waktu untuk sekedar nongkrong disana saya sadar akan hal baru. Hal-hal berpikir seperti ini saya kira hanya bisa dilakukan saat saya berada dalam lingkungan teater saja, mengkritisi yang terjadi terhdap diri saya sendiri yang dipicu oleh situasi sekitar. Tetapi di ruang lain juga terjadi, ini yang saya katakan tadi bahwa ada sudut pendang yang menempel dan menjadi bekal dalam diri. Salam. [T]