ART • BALI, pameran seni rupa kontemporer tahunan berbasis di Bali, kembali diselenggarakan. Pada edisi keduanya di tahun 2019, Art Bali mengusung tajuk “Speculative Memories” (Ingatan-Ingatan Spekulatif). Pameran seni rupa kontemporer yang mempresentasikan karya-karya terpilih dari 32 seniman Indonesia dan mancanegara ini akan dibuka oleh Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta, pada Sabtu, 12 Oktober 2019. Acara dimulai pukul 17.00 dan terbuka bagi umum pukul 19.30 WITA di AB•BC Building, Bali Collection, Kawasan ITDC, Nusa Dua.
Berbeda dari Art Bali edisi pertama, ART•BALI 2019: “Speculative Memories” berlangsung selama 3 bulan, dari 13 Oktober 2019 hingga 13 Januari 2020. Art Bali 2019 berangkat dari gagasan mengenai penggalian narasi di garis waktu, khususnya dari aspek kesejarahan dalam berbagai pendekatan yang ditafsir dalam ‘ingatan-ingatan spekulatif’. Gagasan ini tidak lepas dari penyajian realita yang dikonstruksi oleh metode kognitif dan empiris. Di sisi lain, ingatan seringkali lahir dengan kenyataan yang berbeda, dicatat dan kemudian menjadi perwujudan dan pemahaman berbeda serta memungkinkan hadir kembali di satu ruang yang sama, tetapi juga seringkali melahirkan paradoks karena suatu ingatan tentang hal-hal tiba-tiba dapat menjadi sebuah kontradiksi.
Pada konferensi pers sore tadi, kurator menyatakan bahwa “Speculative Memories” mencoba memaknai dan mengelaborasi peristiwa di Indonesia maupun secara global. Titik beratnya adalah menggali apa yang terjadi pada konteks waktu serta hubungannya dengan narasi sejarah. Ini adalah upaya mengeksplorasi dan mencari cara berbeda untuk mereposisi atau mendeformasi narasi yang muncul di waktu lampau, hari ini, maupun hal yang prediktif di masa depan.
Dikuratori oleh Rifky Effendy dan Ignatia Nilu, pameran Art Bali kali ini menghadirkan karya-karya seni visual dalam pelbagai presentasi medium seperti lukisan, instalasi, dan karya-karya dengan media seni baru. Total karya adalah 49, terdiri dari 25 karya dua dimensi dan 5 karya tiga dimensi serta 19 karya merupakan instalasi/multimedia/video/dan media lainnya.
“Karya-karya di pameran ini melahirkan peristiwanya sendiri. Ia telah membentuk banyak realitas dengan berbagai peralihan kemungkinan. Ingatan atas waktu memiliki perspektif yang tidak melulu dinyatakan oleh kekuatan yang besar tetapi menampilkan potongan-potongan kecil yang belum sempat tergali bahkan belum ditemukan. Kita senantiasa membutuhkan upaya baru untuk memahami realitas yang terjadi hari-hari ini demi mewujudkan dan merayakan kemanusiaan.” ujar Ignatia Nilu.
“Memori bisa diterjemahkan sebagai ingatan. Ingatan ini muncul secara neurotik, tetapi hari-hari ini ingatan sudah bergeser, khususnya karena teknologi, ingatan kita tidak lagi ditentukan oleh apa yang bisa kita ingat tetapi apa yang ada di cloud. Teknologi adalah perpanjangan baru dari memori kita. Ingatan kita akan sejarah sangat ditentukan oleh bagaimana ia dituliskan di era modern terutama di era internet. Ini salah satu yang menyebabkan ingatan-ingatan atau catatan sejarah menjadi sangat arbitrer dan memunculkan neo-konservativisme baru,” tambahnya. Sebagian karya-karya yang dipamerkan juga menghadirkan gugatan atas memori kolektif.
“Para seniman menafsirkan dan menghadirkan wacana dalam karya-karyanya yang berkorelasi dengan persoalan-persoalan di sekitar. Wacana reliji dan toleransi sangat mendominasi karya-karya di Art Bali kali ini,” kata Rifky Effendy. Selain itu, seniman I Wayan Sujana ‘Suklu’ misalnya, merespon tema pameran dengan mengeksplorasi memori personalnya atas memori kultural agraris. Ia menggunakan bambu sebagai medium ungkap. “Karya saya masih dalam proses. Ini adalah suatu karya yang bersenyawa dengan konsep ruang, kosmologi dan situasi sehari-hari yang ada di Art Bali. 50% bentuk yang muncul akan dipengaruhi oleh bukan hanya memori saya, tetapi juga memori tumbuhan, hingga memori teman-teman yang saya temui ketika proses penciptaan.” Ujar Suklu pada press conference.
Sebagai penyelenggara Art Bali, Heri Pemad Manajemen, juga menaungi pameran seni Art Jog yang diselenggarakan di Yogyakarta; sebuah peristiwa seni yang telah berlangsung selama 12 tahun berturut-turut. Art Bali dirancang sebagai salah satu pameran seni berskala besar dan bertaraf internasional di Indonesia dengan tujuan untuk membangun dan mengembangkan ekosistem seni dan budaya di Bali pada khususnya.
“Art Bali juga ditujukan untuk menginspirasi dan menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap perkembangan karya artistik seniman dan meningkatkan minat masyarakat agar selalu mengunjungi peristiwa seni termasuk seni rupa kontemporer. Art Bali boleh dikata adalah salah satu pintu masuk, yang semoga bisa memicu lahirnya peristiwaperistiwa lain,” ujar Heri Pemad.
Selain sebagai edukasi publik, ia juga menambahkan bahwa Art Bali dimaksudkan untuk ikut mendorong pariwisata Bali. Oleh karena itu, pameran ini dilangsungkan selama tiga bulan. Pada pembukaan pameran nanti, ART • BALI 2019 juga berkolaborasi dengan Fashion Council Western Australia yang setiap tahunnya menggelar Perth Fashion Festival (PFF).
Salah satu agenda PFF adalah Asia Cultural Exchange yang mewadahi pertukaran budaya antara berbagai negara melalui fashion sebagai platform untuk mengkomunikasikan hubungan yang kuat antara kultur dan inovasi. Khusus pada pembukaan Art Bali tanggal 12 Oktober, Asia Cultural Exchange menampilkan fashion show dari dua brand Indonesia (Ali Charisma dan Quarzia) serta dua brand Australia (33 POETS dan REIGN THE LABEL). Selain fashion show, melalui tema “Fashion: a discussion about selfie in the art exhibition” mereka juga akan menampilkan sebuah performance dengan membawakan konsep tentang pengaruh selfie (swafoto) dan media sosial terhadap budaya modern.
“Program ini ingin memberi ruang kolaborasi kepada desainer Indonesia dan Australia. Selain itu diharapkan bisa ikut memacu kreativitas dan ekonomi di dua negara,” tutur Gwen The, wakil Indonesia di Fashion Council Western Australia. Pasca malam pembukaan, berlaku tiket masuk untuk pameran antara lain: 150K untuk WNA, 100K untuk WNI dan pemegang KITAS, serta 50K khusus hari Minggu untuk pemilik KTP Bali dan pelajar Bali. Cashback 50% bila menggunakan DANA Indonesia e-money.Exhibition Tour
Sejak awal penyelenggaraannya di tahun 2018, Art Bali mempunyai misi Bridging People and Art (menjembatani Seni dan Publik) yang salah satunya menyediakan wadah bagi para seniman dan penikmat seni untuk bertemu dan berinteraksi secara langsung melalui karya-karya seni yang dipamerkan. Dalam upaya memperkenalkan karya seni secara lebih luas, Art Bali menggelar program Exhibition Tour. Program edukasi ini ditujukan agar masyarakat dapat mengenal lebih dekat karya-karya seni sekaligus para seniman kreatornya.
Exhibition Tour diadakan pada tanggal-tanggal terjadwal selama penyelenggaraan Art Bali 2019. Program pertama diadakan pada 13 Oktober 2019, pukul 16.00 – 18.00 Wita. Para peserta program tur ini akan dipandu oleh kurator dan sejumlah seniman untuk menyelami dan memahami karya seni yang dipamerkan di Art Bali 2019. Program Exhibition Tour akan kembali digelar pada 27 Oktober, 10 November, dan 22 Desember 2019.
32 seniman yang terlibat dalam pameran ART • BALI 2019 “Speculative Memories” antara lain :
- Agung ‘Agugn’ Prabowo – Bali
- Arahmaiani – Yogyakarta
- Ari Bayuaji – Kanada/Bali
- Ashley Bickerton – AS/Bali
- Budi Agung Kuswara – Bali
- Davina Stephens – Selandia Baru/Bali
- Davy Linggar feat Tulus – Jakarta
- Deden Hendan Durahman – Bandung
- Elia Nurvista – Yogyakarta
- Faisal Habibi – Bandung
- Franziska Fennert – Jerman/ Yogyakarta
- I Gusti Ngurah Udianata (Rahman) – Bali
- I Made A Palguna – Bali
- I Wayan Sudarna Putra (Nano) – Bali
- I Wayan Sujana ‘Suklu’ – Bali
- Ida Bagus Putu Purwa – Yogyakarta
- Indieguerillas – Yogyakarta
- J Ariadhitya Pramuhendra – Bandung
- Jumaldi Alfi – Yogyakarta
- Kemalezedine – Bali
- Komunitas Patung Padas Batubelah -Bali
- Maharani Mancanagara – Bandung
- Mujahidin Nurrahman – Bandung
- Nurrachmat Widyasena (Ito) – Bandung
- Putu Marmar Herayukti – Bali
- Putu Sutawijaya – Yogyakarta
- Setu Legi (Hestu A Nugroho) – Yogyakarta
- Takashi Kuribayashi –Jepang/Yogyakarta
- Tisna Sanjaya – Bandung
- Wimo Ambala Bayang – Yogyakarta
- Yaya Sung – Jakarta
- Yunizar – Yogyakarta
- Pembukaan : Sabtu, 12 Oktober 2019 mulai pukul 17.00 WITA, terbuka untuk umum pukul 19.30 WITA, (GRATIS tiket masuk)
- Jadwal Pameran: 13 Oktober 2019 – 13 Januari 2020, Pukul 11.00-21.00 WITA
- Harga Tiket Masuk :WNA Rp 150.000, WNI Rp 100.000
- Khusus hari Minggu diskon 50% untuk pemegang KTP Bali dan pelajar Bali menjadi Rp 50.000
- Diskon 50% bila menggunakan DANA Indonesia e-money.
- Jadwal EXHIBITION TOUR :13 Oktober 2019 ; 27 Oktober 2019 ; 10 November 2019 ; 22 Desember 2019 Pukul 16.00 – 18.00 Wita
Sejumlah Profil dalam Art Bali 2019
HERI PEMAD
Heri Pemad lahir di Sukoharjo, pada tanggal 12 april 1976. Mengenyam pendidikan terakhir di ISI Yogyakarta 1996-2000, Jurusan Seni Murni, Program Studi Seni Lukis. Semenjak kuliah sudah aktif berpameran di dalam dan luar negeri sampai dengan tahun 2005. Sempat berpameran tunggal pada tahun 2001 di Gelaran Budaya, Yogyakarta. Mendapatkan penghargaan Cat Air Terbaik tahun 1997 di Kampus ISI Yogyakarta. Kemudian, penghargaan dari Nokia Art Award Asia Pacific pada tahun 1999. Mulai tertarik menjadi panitia pameran seni rupa semenjak masih menjadi mahasiswa pada tahun 1998. Kemudian serius merintis menyelenggarakan pameran seni rupa sejak tahun 2001.
Mulai menyatakan sebagai Art Management sejak tahun 2003, kemudian mendirikan Art Management pada tahun 2004. Pernah diundang untuk mempresentasikan kerja art management di BBKL, Vanduz, Liechtenstein, Eropa pada tahun 2008. Aktif menghadiri pameran seni rupa di luar negeri CIGE Beijing, Shanghai Biennal, Triennal Guangchou, Shanghai Artfair, Biennal Sydney, Melbourne Artfair, Singapore Biennal, Singapore Artfair, ArtHK, Art Paris, Menjadi Co-organizer menangani Proyek Seni Bandara Angkasa Pura II Terminal 3 Ultimed, dan lain-lain.
RIFKY EFFENDY
Rifky Effendy (Goro) lahir di Jakarta, Desember 1968. Menempuh studi di Jurusan Seni, FSRD – ITB. Project kuratorial terkininya antara lain Co-Curator Paviliun Indonesia untuk 55th Venice Biennale, 2013. Ia juga menjadi CoCurator dan Direktur Artistik untuk The 3rd Jakarta Contemporary Ceramics Biennale 2014, dan Direktur Artistik The 4th JCCB. Co-Curator ART BALI 2018 “Beyond The Myths”, Kurator pameran: “Balinese Masters” di ABBC. Pada akhir 2017, bersama teman-temannya menginsiasi dan menyelenggarakan Bandung Art Month dari 2018 hingga kini. Ia juga mengelola art space Orbital Dago di Bandung sejak 2017.
IGNATIA NILU
Lahir di Salatiga di tahun 1988. Mengenyam Pendidikan akhir di Universitas Veteran Pembangunan Nasional Yogyakarta dengan program studi Ilmu Sosial dan Politik pada Jurusan Hubungan Internasional Yogyakarta. Aktif menulis untuk media dan essai ilmiah maupun non ilmiah untuk musik, seni media dan seni kontemporer semenjak 2010. Aktif dalam aktivitas pengelolaan seni, kerja kuratorial untuk proyek nasional dan internasional. Tergabung dalam tim kurator ARTJOG semenjak tahun 2015 dan ART BALI semenjak 2018 lalu hingga tahun ini. Beberapa proyek internasionalnya seperti “The sweet & sour sugar story“ sebuah proyek retrospeksi dan penggalian ulang sejarah kolonial melalui jejak gula di negara-negara selatan dunia. Ia juga meneliti serta memamerkan ulang pameran kolonial “koloniale tentonstelling” pameran dunia di Semarang yang terjadi pada 1914. Dan Transformaking, sebuah pameran rintisan untuk seni media, makers dan hackers yang dikerjakannya bersama Habibie Center pada 2015. Iabeberapa kali mengikuti program residensi kurator di luar negeri. Program residensi terakhirnya adalah Coding Da Vinci, Cultural Hackathon yang diselenggarakan oleh Goethe Institute, di Munich, Bavaria, Jerman yang berfokus pada Open Data dan Open Access for Cultural Data, April 2019 lalu.
I WAYAN SUJANA ‘SUKLU’
I Wayan Sujana ‘Suklu’, lahir pada 6 Februari 1967. Alumnus Magister Seni Rupa ITB ini tengah menempuh program doktor di ISI Denpasar. Mendirikan dan mengelola BatuBelah Art Space, Klungkung, Bali. Berpameran tunggal di berbagai tempat antara lain: One East Artspace, Singapore (2011), The Aryasenni Gallery, Singapore (2006) Galerie Esp’Art CCF Bandung (2010), di sejumlah galeri di Jakarta dan Bali termasuk Artsphere Gallery (2007), Gaya Fusion Art Space (2008), Komaneka Fine Art Gallery (2016). Kurator pameran Bali Megarupa 2019, TOT #2 Indonesia 2018, pameran “New Candidate” Lukisan kaca di Gaya Fusion Sayan Ubud (2011), Apa Ini Apa Itu 2009.
Berpameran bersama di Okinawa Prefectural University of Arts, Japan (2019, 2018), Luxe Art Museum dan The Amerika Club Singapore (2018), Culity Gallery, Perth, Australia (2013), Sangrila Islands, Hongkong (2013), Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2019, 2017, 2013), Balinese Master ABBC Building Nusa Dua, Bali, (2019), Galeri 13, Kuala Lumpur, Malaysia (2011), Verona, Italy dan Coln, Jerman (2007), Jeju, Korea Selatan (2005), Bangladesh XI Biennale (2004), Canberra Australia (1998), dan sebagainya.
Meraih sejumlah penghargaan antara lain : pemenang LIBAF Senggigi Lombok 2013, The Best 10 Indonesian Asian Art Award 2003, Finalis of Indonesia Asean Art Award (2003), CP Open Biennale 2003, Finalist Philip Morris Art Award 1997 dan 1998. Kini ia juga menjadi pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar. [T] [***]