MENJAGA hutan desa, tidak cukup dengan hanya berkoar—atau mengajak sesama mari menjaga hutan dan air; untuk hidup yang sedang berlangsung, agar kehidupan terus berlanjut.
Tapi juga mesti diimbangi praktik di lapangan tak hanya slogan atau ajakan. Begitulah kira-kira benang merah dari “Diskusi Terbuka, Panji Bicara Alam: Atas Nama Air dan Pertanian” dari serangkaian acara “Panji Edu Eco Village Festival 2025” di Monumen Bhuwana Kertha Desa Panji, Sukasada, Buleleng, Bali.
Acara itu diselenggarakan oleh mahasiswa Program Studi Pengelolaan Konvensi dan Acara Politeknik Pariwisata yang berkolaborasi dengan Pemerintahan Desa Panji, Sabtu, 14 Juni 2025.
“Karena apapun yang kita temukan di lapangan itu ternyata jauh sekali dari apa yang ada di spanduk-spanduk di tulisan-tulisan di slogan-slogan, itu jauh sekali sebenarnya, gitu. Bahkan ketika desa-desa diberikan hutan, hal pertama yang dilakukan oleh desa-desa itu adalah merusak hutannya, karena berharap akan ada lahan-lahan yang bisa dipakai untuk menanam buah-buahan segala macam,” kata Gede Kresna, penulis buku “Atas Nama Air” 2021 ketika memantik diskusi dalam acara itu.
Kemudian ia juga menilai upaya-upaya pembangunan yang dilakukan di Bali Utara tidak berada pada garis yang sama antara masyarakat dengan semangat-semangat pemangku kebijakan seperti gubernur, bupati atau siapa pun itu dengan slogan-slogannya.

“Diskusi Terbuka, Panji Bicara Alam: Atas Nama Air dan Pertanian” serangkaian acara “Panji Edu Eco Village Festival 2025” di Monumen Bhuwana Kertha Desa Panji, Sukasada, Buleleng, Bali
Gede Kresna memandang, istilah Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang bagus itu, tapi tidak ada yang in line, tidak ada yang relevan sama sekali ketika dilihat dari realitas masyarakat khususnya di Buleleng.
“Bahkan kita mungkin tidak tahu bagaimana kondisi mata-mata air di desa-desa, penyangga air kita hari ini, gitu kan. Ya, lihat saja apa yang terjadi dengan mata-mata air yang ada di Desa Gitgit misalnya.”
Apa yang terjadi dengan mata-mata air yang ada di Wanagiri, betapa brutalnya, betapa vandalnya perlakuan orang-orang terhadap mata air yang dimiliki di sana.
Gede Kresna merasa sangat yakin dan paham soal itu karena empat tahun lalu, direkamnya melalui bukunya yang berjudul “Atas Nama Air: Kerja Sama 8 Desa Kawasan Perdesaan Denbukit” yang terbit tahun 2021 oleh Rumah Intaran.
Buku itu adalah hasil kewarasan antara delapan desa, antara lain : Desa Selat, Desa Tegallinggah, Panji Anom, Desa Panji, Desa Panji, Desa Sambangan, Desa Ambengan, Desa Wanagiri, dan Desa Baktiseraga, dalam menengahkan perkara rebut-ribut air di titik temu bernama : kerja sama, mencari solusi.
Dalam kerusakan lingkungan, terutama hutan dan mata air, Gede Kresna memandang, kerusakan lingkungan tidak lagi harus mengatasnamakan Tuhan sebagai nasib buruk datang dari langit. Tidak pula harus mengatasnamakan slogan-slogan yang terlalu melangit, tetapi mesti langsung pada masalah dan solusinya, mengatasnamakan; kabar Air hari ini di Bali.
“Ya, dulu waktu zaman-zaman kami sekolah di Singaraja kayaknya tidak ada tidak ada dalam ingatan kita Singaraja itu punya banjir enggak ada gitu kan,” kata Gede Kresna
Tapi sekarang gampang sekali banjir, dan tidak ada win-win solution yang fundamental terkait itu. Karena sampai hari ini tidak ada roadmap untuk menyelesaikan persoalan-persoalan air yang ada di Buleleng secara serius.
Lantas, Gede Kresna, sekaligus sebagai founder Pasar Intaran itu bertanya, “Apa sih yang bisa kita lakukan ke depan?”
Menanam Pohon, Desa Panji Mengembalikan Hutan Pada Tempatnya: Ramai Pohon-Pohon
Hutan menjadi modal petani paling besar untuk menjaga desa dari kekeringan. Tahun 2024 lalu, Bali terancam kriris air. Sehingga mitigasi dianggap sangat perlu untuk menyelamatkan Bali dari kekeringan.
Tanah yang subur adalah tanah yang cukup air. Dan keberadaan hutan di desa sangat penting untuk mendongkrak penyimpanan air dan kesehatan tanah oleh pepohonan.
Imbas dari menanam pohon, di Desa Panji, air bukan lagi persoalan, subak mereka terurus dengan baik karena air sudah dimitigasi dengan baik sejak tahun 2020. Mereka menanam pohon di hutan desa Panji setelah beberapa tahun lalu terkena penebangan liar (illegal logging).
Seperti apa yang dikatakan oleh Perbekel Desa Panji Mangku Made Ariawan ketika diskusi, sejak 2020 itu ia dan jajarannya telah melakukan aksi menamam pohon setiap hari jum’at bersama masyarakat atau relawan yang ikut terlibat hingga sekarang.
Adapun pohon-pohon yang ditanam seperti pohon intaran, beringin dan masih banyak lagi. “Itu untuk mitigasi kami. Dan hari ini, kami tidak sulit air, dan justru, subak kami berbagi air dengan beberapa subak lain di sekitaran desa kami.”
Hal itu imbas dari usahanya menjaga hutan desa melalui gerakan menanam pohon. Menanam pohon berarti mengajarkan masyarakat untuk cinta lingkungan dan peduli pada air sebagai hal paling dasar dalam kehidupan.
“Kalau saya, menunggu mapala (untuk ikut bergabung menanam pohon), jangan jauh-jauhlah ke Batur, mendaki bukit, eh, mendaki gunung, ya. Mungkin cukup (datang) ke sini, kami siapkan apa pohonnya. Mari kita tanami lagi,” kata Mangku, ketika memberikan pantikan saat diskusi berlangsung.
Di sana, ada banyak peserta yang hadir, ada dari delegasi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng, Dinas Pariwisita Kabupaten Buleleng, Dinas Pertanian Prvinsi Bali, Dinas PMD Dukcapil, Perumda Air Minum Tirta Hita Buleleng, Ketua PHRI dan Ketua DPRD Kabupaten Buleleng.
Kemudian ada juga dari Klian Adat Desa Panji, Mapala Undiksha, dan beberapa dosen dari kampus Undiksha dan Politeknik Pariwisata.
Dan Ketua Mapala Undiksha Ketut Resmi Ratniadi, yang datang bersama anggotanya, Putu Ayunda Sutriandani. Ketut Resmi segera menanggapi apa yang dilemparkan oleh Perbekel Desa Panji kepadanya.
Bahwa dalam menjaga hutan dan air, kesadaran untuk itu, bagaimana orang dengan sukarela menanam pohon dan tahu betul terkait masalah yang ada, adalah pekerjaan rumah (PR) bersama.
Karena ia melihat dari pengalamannya di kampus, para mahasiswa akhir-akhir ini kurang peduli pada lingkungan. Kesadaran terkait lingkungan, Ketut Resmi bersama rekan-rekannya di Mapala Undiksha sedang berupaya untuk menebar pemahaman terkait kesadaran pada lingkungan hari ini yang tercemar oleh sampah ataupun penebangan liar, pada sesama mahasiswa.
Karena dengan adanya kesadaran, mahasiswa itu bisa menjadi lebih peduli. Peduli dan peka akan masalah apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan di sekitaran kita.
“Contoh tentang kondisi mata air yang semakin rusak, salah satunya di Desa Les. Kondisi mata airnya yang di air terjun itu juga sudah debit airnya sudah semakin menurun, karena perusakan lingkungan seperti penebangan hutan dan lain sebagainya yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” kata Ketut Resmi.

“Diskusi Terbuka, Panji Bicara Alam: Atas Nama Air dan Pertanian” serangkaian acara “Panji Edu Eco Village Festival 2025” di Monumen Bhuwana Kertha Desa Panji, Sukasada, Buleleng, Bali
Sampai di situ, ia juga menjelaskan Mapala telah peduli soal-soal itu, tidak hanya naik gunung atau bukit. Tetapi juga menebar kesadaran melalui diskusi-diskusi kecil atau besar yang digelar mereka di kampus bersama sesama mahasiswa, adalah bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
Hasil dari diskusi-diskusi internal mereka, sebagai out put-nyamereka akan melakukan pembibitan pohon Majegau di bulan agustus tahun ini.
Majegau ini merupakan salah satu pohon khas Bali. Dan Mapala Undiksha akan melakukan pembibitan di kampus sebagai upaya—bahkan tidak hanya untuk solusi kerusakan mata air, tetapi juga sebagai salah satu solusi untuk memberi wawasan—bahwa Bali—punya pohon endemik yang juga perlu dilestarikan.
Setelah pembibitan itu dinyatakan berhasil, mereka akan membuat suatu program lanjutan untuk dikemanakan bibit-bibit nantinya. “Nah, komitmen kami tentunya kami tidak menjanjikan, tetapi kami akan berupaya,” kata Ketut Resmi.
Mapala selalu berupaya mendukung dan juga mencari sebuah solusi bagaimana mengajak orang-orang tanpa mesti menggurui, tetapi bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Di akhir acara diskusi, setelah semua peserta yang hadir mengutarakan keresahannya tentang hutan dan air atau kerusakan lingkungan itu—khususnya di Bali, ketua DPRD Kabupaten Buleleng Ketut Ngurah Arya, A.Md.Kom, menegaskan agar setiap yang rusak segera pulih: Kolaborasi adalah Kunci! [T]
Repoter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: