TIDAK ada Petruk dalam Drama Gong Banyuning, Singaraja, yang bakal pentas di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025. Tentu saja. Yang dimaksud Petruk ini adalah nama karakter punakawan yang diadopsi dari nama punakawan pewayangan Jawa.
Yang menggunakan nama karakter Petruk biasanya adalah drama gong khas Bali selatan. Namun, dalam drama gong khas Buleleng—lebih khusus lagi drama gong Banyuning—nama Petruk tidak pernah ada. Sejak dulu, sejak drama gong ada di Bali utara, hingga sekarang, tak pernah ada karakter Petruk.
Drama gong lawas Banyuning, tepatnya rekonstruksi drama gong lawas Banyuning, akan dipentaskan di Stage Tetaring (Stage Ayodya) di Taman Budaya Provinsi Bali, 3 Juli 2025. Drama gong ini akan dimainkan oleh Sanggar Nong Nong Kling dengan merekonstruksi Drama Gong Puspa Anom Banyuning yang pernah terkenal di seantero Bali pada tahun 1970-an hingga 1980-an.
Sanggar Nong Nong Kling akan membawakan kisah Sampik Intai, sebuah kisah yang membuat Drama Gong Puspa Anom menjadi legenda hingga kini. Dalam kisah Sampik Ingtai memang tak ada banyak memainkan punakawan.
“Kami hanya memainkan satu punakawan yang mendampingi tokoh Sampik. Namanya, Cong Jit,” kata Nyoman Suardika alias Mang Epo yang bertindak selaku sutradara sekaligus pengelola Sanggar Nong Nong Kling.
Itu tentu berbeda dengan drama gong di Bali selatan. Di Gianyar, Bangli, atau Badung, drama gong memainkan setidaknya empat punakawan. Dua punakawan Raja Muda (protagonis) dan dua punakawan Raja Buduh (antagonis). Pasangan punakawan itu biasanya memiliki perbedaan fisik yang menonjol; satu gemuk, satu kurus. Yang gemuk biasanya pintar-pintar bodoh. Yang kurus, bodoh-bodoh pintar.
Mang Epo menjelaskan, drama gong Banyuning—terutama saat mementaskan Sampik Intai—tak dikenal adanya istilah Raja Muda dan Raja Buduh. Tokoh protagonisnya adalah Sampik yang didampingi satu punakawan, sementara tokoh antagonisnya, Subandar Macun, didampingi seorang patih, bukan punakawan. Patih ini tidak sepenuhnya melawak, tapi memang dipilih karakter yang bisa mengundang konyol dan lucu.
Drama gong Bali selatan biasanya memiliki dua patih. Satu patih protagonis yang disebut Patih Anom, dan satu patih antagonis yang disebut Patih Agung. Nah, Patih Agung, meski tampangnya serius dan serem, kerapkali juga ngelawak bersama punakawan di atas panggung.
Napas Tua Puspa Anom dalam Jiwa Muda Nong-Nong Kling
Nah, bagaimana kisah cinta klasik dari Tiongkok, Sampik Ingtai, itu dimainkan kembali oleh para seniman Buleleng di PKB 2025 nanti?
Sanggar Nong-Nong Kling dari Banyuning yang akan memainkan drama Sampik Intai itu bisa disebut sebagai reinkarnasi dari drama gong legendaris Puspa Anom. Para pemainnya memang tidak semuanya lawas, atau tak semunya pemain asli Drama Gong Puspa Anom. Tapi mereka bertekad menghidupkan kembali roh drama gong legenrais itu di PKB 2025 ini.

Para pemain drama gong dari Sanggar Nong Nong Kling usai pentas di Pesta Kesenian Bali | Foto: Dok. Mang Epo
Dan tekad itu tampaknya bisa dilakukan dengan mudah. Tentu karena para pemain-pemain muda di Sanggar Nong Nong Kling sebagian besar adalah anak-anak atau cucu dari Wayan Sujana alias Jedur.
Wayan Sujana Jedur, almarhum, adalah salah satu pentolan drama Puspa Anom Banyuning yang masih diingat oleh penggemarnya hingga kini. Sebagai pemeran Sampik, Sujana Jedur membawa drama gong Buleleng menjadi legenda hingga kini.
Mang Epo sendiri masih keluarga atau menantu dari Sujana Jedur. Sejumlah pemeran kunci di drama gong yang dimainkan Nong Nong Kling ini adalah anak dan cucu dari Sujana Jedur.
Namun, meski banyak pemain muda, pertunjukan ini tentu saja tak hanya mengandalkan generasi milenial. Sutradara Nyoman Suardikamenggandeng para senior dari era Puspa Anom untuk ikut ambil peran penting. Di antaranya, Nengah Wijana sebagai Babah Suntiang, Nyoman Putriasih sebagai Men Sampik, Luh Sasi sebagai ibu Ingtai, dan Ketut Weker sebagai pengiring Subandar Macul.
“Mereka bukan hanya tampil sebagai pelengkap, tetapi sebagai pemeran inti. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka yang telah berjasa dalam sejarah Puspa Anom,” ujar Mang Epo.
Spirit kolaboratif ini memang telah lama hidup di Sanggar Nong-Nong Kling. Regenerasi dijalankan bukan hanya sebagai keharusan, tetapi sebagai prinsip kerja. “Ada pemain-pemain yang sudah senior dan kami libatkan juga pemain junior untuk belajar. Ini menjadi ruang pembelajaran bagi generasi muda supaya mereka tahu,” tambahnya. Bahkan sejak dahulu, Mang Epo telah membiasakan melibatkan anak-anak kecil melalui permainan atau dolanan dalam proses kreatif, dengan tujuan pelestarian.
Kembali ke Pakem dan Dekorasi Spektakuler
Pemilihan judul Sampik Ingtai sendiri bukan tanpa alasan. Mang Epo ingin mengajak penonton modern untuk bernostalgia dengan cerita yang sudah begitu melekat di hati masyarakat Bali. Namun, nostalgia itu akan dibungkus dengan visual yang tak main-main.
“Kami akan hadirkan kuburan yang bisa membelah menjadi dua, keluar kupu-kupu, ada unsur-unsur mistis—semuanya akan ditampilkan lengkap. Properti kami buat secara serius agar mendukung cerita secara maksimal,” tuturnya.

Sebelah kiri Ketut Weker tokoh patih sebagai pengiring Subandar Macun | Foto: Dok. Mang Epo
Pertunjukan ini juga menjadi penegasan atas pakem drama gong Buleleng yang diwariskan oleh almarhum Wayan Sujana alias Jedur, mertua Mang Epo. Pakem ini menuntut konsistensi emosi. Adegan sedih harus murni kesedihan, tanpa diselingi lelucon. Adegan tegang harus dibangun dengan ketegangan utuh.
“Saya ingat, pemeran Subandar Macun dulu, saking kuatnya membawakan karakter antagonis, sampai di kehidupan sehari-hari pun dicap negatif oleh penonton. Dia beli makanan saja tidak dilayani. Itulah keberhasilan akting yang mengesankan,” kenang Mang Epo bangga.
Suardika juga memegang teguh pesan mendiang Jedur, untuk menjaga pakem drama gong Buleleng, termasuk penggunaan Bahasa Buleleng. Meskipun punakawan boleh menyesuaikan konteks dalam adegan lucu, bagian cerita utama harus tetap sesuai pakem Buleleng.
Kata Mang Epo, soal kesan kasar dalam bahasa, sebenarnya tergantung konteks penyampaian. Kalau sesama punakawan, kasar dalam konsep seni masih dibatasi.
“Kata-kata seperti ‘cai’ atau ‘nyai’ itu masih bisa ditoleransi, tapi kalau ‘nani’ tidak kami pakai,” terangnya.
Tantangan di Balik Panggung Kolaborasi
Meski persiapan berjalan matang, Mang Epo mengakui ada tiga tantangan utama. Pertama, menyeimbangkan jadwal latihan dengan kewajiban sekolah para pemain muda. Pendidikan tetap menjadi prioritas.
Kedua, membangkitkan kembali gairah dan memori para senior yang telah puluhan tahun vakum dari panggung drama. “Jadi saya sebagai sutradara harus menghidupkan kembali semangat dan ingatan mereka. Saya perlu menyambungkan kembali cerita dan karakter-karakter agar mereka bisa menjiwai perannya lagi,” jelasnya.

Pemeran Sampik dan Ingtai saat latihan persiapan tampil di PKB 2025 | Foto: Dok. Mang Epo
Tantangan ketiga adalah soal waktu. Kedisiplinan para pemain muda yang sudah siap sejak pukul 7 malam kadang harus menunggu para senior yang baru tiba satu jam kemudian. “Namanya orang tua, kadang tidak bisa datang tepat waktu karena kondisi. Tapi saya maklumi, itu hal yang wajar,” paparnya ikhlas.
Pertunjukan drama gong oleh Sanggar Nong-Nong Kling selalu dinantikan. Setiap kali tampil mewakili Kabupaten Buleleng, penonton selalu membludak. Sebab masyarakat tahu, drama gong Buleleng punya daya tarik tersendiri. Intonasi bahasanya yang khas dan cerita yang kuat menjadi magnet tersendiri.
“Judul Sampik Ingtai saja sudah mendunia. Ditambah dengan dekorasi yang kami siapkan secara serius. Sudah pasti ini akan jadi tontonan yang menarik,” pungkas Mang Epo.
Begitulah cara drama gong Buleleng menjaga nyalanya, masih dirindukan, masih diperjuangkan, dan terus dicintai lintas generasi. [T]
Penulis: Komang Puja Savitri
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: