PERSAINGAN dalam industri pariwisata kian ketat. Bukan hanya di Tanah Air, namun juga di berbagai belahan dunia. Oleh karenanya, berbagai upaya dilakukan untuk menjual produk wisata; mulai dari promosi yang bombastis hingga iklan yang tipu-tipu.
Manipulasi dalam periklanan dan pemasaran memang bisa saja terjadi. Tentu saja melanggar etika bisnis. Bahkan dalam kasus tertentu dapat berujung pidana. Meski begitu praktik manipulasi terhadap suatu produk terus saja terjadi dengan beragam cara dan alasan.
Begitu pun dalam bisnis pariwisata. tidak jarang wisatawan yang terkecoh oleh tawaran iklan dan pemasaran produk wisata yang manipulatif. Wisatawan merugi. Tentu saja. Akan tetapi manipulasi yang lihai membuat wisatawan terbuai.
Alih-alih bertanggung jawab, pengusaha produk dan jasa wisata akan mengeluarkan dalih. Paling banter minta maaf. Jika ini kerap terjadi, citra pariwisata akan ternoda. Lantas apa saja praktik manipulatif yang bisa terjadi dalam industri pariwisata?.
Kelangkaan Hingga Bukti Sosial
Banyak teknik manipulasi yang dilakukan dalam pemasaran produk. Dikutip dari Young On Top (10/02/2025), kelangkaan produk (scarcity) sering dijadikan teknik manipulatif. Promosi wisata dengan menyebut “Hanya tinggal 3 kamar tersisa” atau promosi restoran dengan menu spesial yang diberi embel-embel “Penjualan hanya untuk dua hari” merupakan contoh manipulasi promosi dan pemasaran produk wisata.
Promosi yang manipulatif seperti ini akan efektif bagi wisatawan yang dihinggapi FOMO (Fear of Missing Out). Wisatawan merasa takut kehilangan momentum untuk membeli produk wisata itu. Meski boleh jadi masih banyak tersisa kamar hotel, dan penjualan menu spesial itu berlangsung setiap hari.
Bukti sosial ( social proof) mengundang rasa penasaran wisatawan terhadap produk maupun jasa wisata. Tehnik manipulasi seperti ini bisa saja terjadi. Menggunakan testimoni dari wisatawan maupun pesohor dengan pernyataan “Sudah dinikmati lebih dari satu juta wisatawan”. Testimoni itu bisa benar, bisa saja tidak. Namun teknik bukti sosial itu akan memberi kesan produk wisata yang populer dan terpercaya, sehingga membuat wisatawan semakin yakin membelinya.
Efek umpan produk wisata ( decoy effect) acapkali membuat wisatawan memiliki preferensi terhadap harga produk wisata yang lebih mahal, karena pilihan yang lain sepertinya berbeda jauh. Sebuah paket wisata dengan pilihan harga: 1 juta dengan 2 objek, 2 juta dengan 3 objek, dan 3 juta dengan tawaran 7 objek akan membuat wisatawan cenderung memilih paket wisata tertinggi 3 juta, karena tidak seimbang bila dibanding paket yang 2 juta.
Promosi manipulatif produk wisata bisa saja dilakukan dengan “kedekatan waktu palsu” (artificial urgency). “Diskon tiket masuk hanya berlaku hari ini”, bisa saja manipulasi promosi yang dilakukan pengelola taman rekreasi. Sebab, esok dan lusa mungkin saja masih ada diskon. Manipulasi promosi ini akan membuat wisatawan untuk segera berkunjung ke taman rekreasi itu.
Wisatawan mungkin pernah melihat promo murah kamar hotel. Akan tetapi ketika mau memesan ternyata sudah terjual, lantas ditawari kamar yang lebih mahal. Promosi manipulatif ini disebut Bait and Switch. Awalnya tertarik berwisata karena promosi produk yang murah, ujung-ujungnya harus membeli produk yang mahal.
Memainkan Emosi
Iklan, promosi, dan pemasaran produk wisata acapkali memainkan emosi wisatawan, sehingga seolah relate dengan kondisi dan keadaan. Sebuah objek wisata diiklankan sebagai tempat healing dan mampu memberikan kehidupan yang lebih sehat. Meski tidak ada bukti yang menunjukkan hubungan antara objek wisata dan kesehatan seseorang.
Takut kehilangan sesuatu dibandingkan mendapat keuntungan adalah sikap umum manusia. Hal ini mendorong promosi kuliner yang menyatakan “ Uang kembali 100% jika anda tidak puas”. Apakah benar-benar akan kembali uang wisatawan, jika tidak puas terhadap kuliner yang dinikmatinya? Tentu saja tidak; karena strategi promosi itu memang manipulasi dengan memainkan emosi wisatawan yang takut rugi (Loss Aversion).
Memainkan emosi wisatawan bisa saja dengan cara memainkan harga produk wisata (Price Anchoring). Disebutkan “Harga kamar sekarang cuma 400 ribu rupiah. Harga asli 600 ribu rupiah”. Tentu saja wisatawan tertarik dengan harga diskon yang murah. Padahal harga awalnya memang sudah dinaikkan terlebih dahulu.
Bisnis pariwisata memang banyak melibatkan emosi. Itu karena perjalanan wisata kadang melibatkan emosi wisatawan. Kamar yang murah dan nyaman, objek wisata yang aman dan sejuk, kuliner yang khas dan lezat, dan beragam perasaan yang dinginkan wisatawan saat berwisata. Itu semua akan menjadi sasaran promosi produk wisata yang manipulatif.
Persoalan etis kerap muncul dalam iklan, promosi, dan pemasaran produk wisata. Teknik manipulasi memang tidak selalu negatif, jika dilakukan secara etis. Namun, bisnis pariwisata yang sangat kompetitif kadang mengabaikan persoalan etis. Apalagi jika wisatawan tidak memiliki daya kritis dalam merencanakan perjalanan wisatanya. [T]
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU