BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra, khususnya dalam konteks sastra warna lokal Bali. Hal ini terungkap dalam bedah buku tersebut di Ruang Soekarno, Kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana (Unud), Jalan Pulau Nias, Denpasar, Kamis, 5 Juni 2025.
Tampil sebagai pembedah, Dr. I Made Sujaya, S.S., M.Hum., dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah (PBID), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali. Bedah buku yang diselenggarakan UPT Perpustakaan Unud bekerja sama dengan Prodi S2/S3 Kajian Budaya, FIB Unud itu dipandu Dr. I Gusti Ayu Andani Pertiwi, S.S., M.Si. Sedikitnya 60 mahasiswa Prodi S1 Sastra Jepang, S2/S3 Kajian Budaya, dan S2/S3 Ilmu Linguistik ikut meramaikan acara.

Dr. I Made Sujaya, S.S., M.Hum saat membedah buku Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt.
Menurut Sujaya, kajian tentang Jepang atau kejepangan dalam sastra Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Kajian tentang Jepang dalam sastra Indonesia pernah dilakukan sejumlah peneliti sastra Indonesia, antara lain Koh Young Un (2006) yang meneliti citra Jepang dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer, serta Sunu Wasono (2007) yang meneliti citra Jepang dalam novel-novel pascakemerdekaan.
Masih ada lagi kajian-kajian tentang sastra Indonesia masa pendudukan Jepang seperti dilakukan H.B. Jassin dan peneliti sastra Indonesia lainnya.
“Dalam konteks sastra warna lokal Bali, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali, kajian tentang Jepang atau kejepangan, terbilang baru. Kajian yang dilakukan Pak Darma Putra membuka perspektif baru sehingga memungkinkan dilakukan kajian sejenis untuk sastra warna lokal Bali,” kata Sujaya yang juga doktor sastra lulusan S3 Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra, Unud.
Kebaruan dalam kajian ini terutama ditunjukkan dengan munculnya bentuk sastra Jepang, yakni haiku dalam sastra Bali modern. Sastrawan Bali mengadopsi bentuk haiku untuk menyampaikan ekspresi literernya. Hal ini mencerminkan sikap terbuka sastrawan Bali dalam menerima pengaruh luar. Haiku berbahasa Bali ini tak pelak menjadi wujud identitas lintas budaya dalam konteks sastra Bali.

Suasana bedah buku
Citra Jepang dalam teks sastrawan lokal Bali cenderung positif. Berbeda dengan teks sastra Indonesia yang ditulis pengarang Indonesia lainnya, gambaran tentang Jepang cenderung negatif. Sujaya menduga hal itu dikarenakan teks sastrawan Bali umumnya dalam konteks pengaruh kepariwisataan, hanya sedikit dalam konteks penjajahan.
“Mungkin juga karena pengalaman terhadap kekerasan dalam masa pendudukan Jepang tidak sekuat apa yang dialami penduduk dari Jawa atau daerah lain di Indonesia. Tentu ini perlu didalami lagi dalam penelitian,” katanya.
Namun, kata Sujaya, kajian Darma Putra memfokuskan perhatian pada teks sastrawan Bali. Menurutnya, dalam konteks lintas budaya, perlu juga melihat bagaimana Bali digambarkan dalam sastra Jepang.

Sujaya menegaskan kajian Darma Putra menempatkan sastra sebagai sumber pengetahuan yang sejajar dengan bidang-bidang ilmu lain. Sastra bukan sekadar karya imajinatif yang kerap dipandang lebih rendah dari teks nonsastra. Melalui sastra, orang tidak bisa melakukan refleksi atas realitas sosial, tetapi juga sastra merupakan wahana yang dipilih untuk turut memahami dan merespons realitas, termasuk dalam mengkonstruksi identitas personal maupun kolektif.
“Sastra menjadi wahana interkulturalisme, melakukan penghayatan lintas budaya, dan menguatkan literasi keberagaman,” tandas Dekan FBS UPMI Bali ini.
Darma Putra berterima kasih atas ulasan yang diberikan Sujaya yang dinilainya tajam. “Saya menulis beberapa buku, belum ada yang dibedah. Bahkan buku saya yang menerima penghargaan sastra dari Kemendikbudristek, Heterogenitas Sastra di Bali tidak pernah dibedah,” kata Darma Putra.
Darma Putra menjelaskan penelitiannya tentang jejak Jepang atau kejepangan dalam sastra di Bali berangkat dari tematik atau unsur-unsur kejepangan merupakan fenomena yang unik dalam dunia sastra karya pengarang Bali.

Foto bersama pembedah, penulis buku dan peserta
“Sejauh yang bisa diamati, tidak ada jejak serupa dari atau tentang negara/bangsa lain, termasuk dari negara penjajah Belanda. Tematik kebelandaan tidak tampak hadir sebagai gugus tema dalam karya-karya sastra pengarang Bali. Berbeda dengan tematik Jepang. Sebagai peneliti sastra, tentu fenomena ini sayang untuk dilewatkan,” kata Darma Putra. Terlebih lagi, imbuh Darma Putra, ada pengaruh bentuk sastra Jepang, yakni haiku dalam sastra Bali modern. Hal ini menunjukkan, meski penjajahan Jepang relatif singkat, tapi pengaruhnya dalam sastra sangat terasa, yang masuk ke Bali karena kekuatan budaya Jepang. [T]
Reporter/Penulis: Bud/Rilis
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: