SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi, terutama Tragedi Trisakti yang baru saja kita peringati pada 12 Mei lalu, beserta tragedi-tragedi lain yang menyertainya. Pada masa itu, telah terjadi penghilangan paksa, pembantaian, penembakan, pemerkosaan, dan pembakaran—semuanya merupakan kekerasan struktural, manifestasi dari arogansi kekuasaan yang enggan tumbang.
Meskipun kebiadaban itu terekam jelas dalam sejarah dan menjadi trauma yang belum sembuh, penyelesaiannya justru bernasib serupa dengan tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya: terabaikan dan terus-menerus menjadi bualan kosong para penguasa. Lebih menyakitkan lagi, sebagian dari mereka yang kini berkuasa justru merupakan artefak hidup dari rezim yang dulu ditumbangkan.
Dalam situasi demikian, satu-satunya jalan yang masih bisa memberi harapan—di luar penyelesaian yang adil—adalah dengan terus merawat ingatan dan kemuakan terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan. Upaya ini telah kita saksikan dalam bentuk Aksi Kamisan, yang secara konsisten dihelat oleh para penyintas dan mereka yang bersolidaritas. Setiap Kamis, mereka berdiri di depan Istana, dan juga di ruang-ruang publik penting di berbagai daerah, untuk memastikan tragedi itu tidak membeku dalam kenangan, melainkan tetap hidup dalam ruang publik sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa.
Dalam konteks demokrasi, Aksi Kamisan merupakan bentuk nyata dari hak untuk berserikat, berekspresi, dan menyampaikan pendapat. Jika kita masih memaknai demokrasi sebagai kekuasaan rakyat, maka ketiga hak tersebut harus terus dijaga dan dijalankan. Apabila penguasa memiliki panggung megah untuk mengoperasikan penindasan secara sistemik dan epistemik melalui berbagai intrik, maka rakyat pun berhak memiliki panggung serupa untuk membongkar segala bentuk ketidakadilan—salah satunya melalui aksi massa.
Aksi massa, baik sebagai diksi maupun praktik, memang kerap tidak disukai oleh penguasa. Namun, aksi massa adalah manifestasi hak rakyat dalam lanskap demokrasi, dan ia akan terus hadir selama penguasa tidak bekerja berdasarkan nurani. Tan Malaka menyatakan bahwa aksi massa dapat berupa protes, boikot, dan mogok. Dalam perspektif anarkisme, aksi massa bahkan dapat mencakup sabotase, insureksi terorganisir, dan okupasi ruang. Bahkan, kekuasaan pun bisa menggunakan aksi massa, dengan menciptakan kerumunan untuk menciptakan polarisasi dan konflik.
Namun, ketika aksi massa bergulir di ruang publik, tidak semua orang bersikap mendukung. Perbedaan pendapat adalah hal lumrah dalam demokrasi, asalkan masih dalam koridor yang etis. Persoalan muncul ketika ketidaksetujuan terhadap aksi dibalut dengan upaya pembentukan opini negatif melalui stigmatisasi. Aksi massa kerap dicap sebagai ancaman keamanan, seolah-olah selalu berpotensi menciptakan kekacauan. Padahal, stigma ini kerap mengabaikan represivitas aparat terhadap massa aksi.
Ada pula stigma bahwa aksi digerakkan oleh pihak-pihak tertentu, dan bahwa peserta aksi bukan berasal dari masyarakat setempat. Stigma semacam ini mereduksi moral dan etika solidaritas, seolah-olah keberpihakan hanya sah jika berbasis kedekatan geografis. Dari sisi ekonomi, massa aksi sering dituduh sebagai bayaran, yang bergerak hanya demi konsumsi dan uang transportasi. Tuduhan ini merendahkan integritas mereka sebagai warga negara yang menyuarakan keresahan. Sementara dari sisi intelektualitas—yang menjadi pokok sorotan tulisan ini—aksi massa sering digambarkan sebagai kerumunan orang yang bodoh dan kurang membaca.
Stigmatisasi intelektual ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang menafikan kapasitas berpikir rakyat. Membaca atau tidak membaca seharusnya bukan ukuran utama dalam menentukan sah tidaknya seseorang untuk terlibat dalam aksi. Dalam sistem demokrasi, aksi adalah hak semua warga negara, terlebih ketika nilai, prinsip, dan ruang hidup mereka diganggu oleh penindasan. Tuduhan bahwa massa aksi tidak membaca sering kali datang dari arogansi intelektual yang merasa paling tahu, dan secara tersirat ingin memonopoli kebenaran.
Faktanya, tak sedikit aksi massa yang pro terhadap kekuasaan justru sangat jauh dari budaya literasi. Banyak di antara mereka bahkan tidak memahami substansi tuntutan yang mereka serukan. Kita bisa mengingat bagaimana massa aksi yang mendukung RUU TNI atau usulan perpanjangan masa jabatan presiden gagal menjelaskan argumen mereka ketika ditanya, bahkan lebih memilih menghindar.
Meski demikian, mereka pun tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Gerakan tandingan yang pro kekuasaan sering kali dibentuk secara instan, dengan prinsip “yang penting massa terkumpul”, tanpa konsolidasi mendalam. Oleh karena itu, kita sebagai sesama rakyat tidak boleh saling menghakimi.
Soal “membaca”, seharusnya tidak dimaknai semata-mata sebagai aktivitas membaca buku atau kajian ilmiah yang berat. Literasi dalam gerakan justru banyak terjadi melalui ruang-ruang penyadaran, seperti konsolidasi, diskusi, agitasi, dan perjumpaan yang membentuk pemahaman kolektif. Dalam dinamika aksi, hasil kajian kerap disampaikan dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kapasitas anggota, agar setiap individu paham akan apa yang sedang mereka perjuangkan.
Membaca secara tekstual memang membutuhkan waktu dan ruang yang ideal. Tetapi dalam konteks aksi massa, yang sering bergerak secara responsif terhadap momentum, membaca dapat dilakukan melalui berbagai metode yang interaktif dan komunikatif. Yang terpenting adalah dorongan untuk memahami dan bergerak, bukan sekadar kemampuan menyerap teks secara akademik.
Maka, menghakimi massa aksi atas dasar “kurang membaca” adalah bentuk kekerasan intelektual yang menutup kemungkinan solidaritas dan justru memperkuat dominasi epistemik dari kelas penguasa. [T]
Penulis: Mansurni Abadi
Editor:Adnyana Ole