31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

Mansurni AbadibyMansurni Abadi
May 30, 2025
inEsai
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

Mansurni Abadi

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi, terutama Tragedi Trisakti yang baru saja kita peringati pada 12 Mei lalu, beserta tragedi-tragedi lain yang menyertainya. Pada masa itu, telah terjadi penghilangan paksa, pembantaian, penembakan, pemerkosaan, dan pembakaran—semuanya merupakan kekerasan struktural, manifestasi dari arogansi kekuasaan yang enggan tumbang.

Meskipun kebiadaban itu terekam jelas dalam sejarah dan menjadi trauma yang belum sembuh, penyelesaiannya justru bernasib serupa dengan tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya: terabaikan dan terus-menerus menjadi bualan kosong para penguasa. Lebih menyakitkan lagi, sebagian dari mereka yang kini berkuasa justru merupakan artefak hidup dari rezim yang dulu ditumbangkan.

Dalam situasi demikian, satu-satunya jalan yang masih bisa memberi harapan—di luar penyelesaian yang adil—adalah dengan terus merawat ingatan dan kemuakan terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan. Upaya ini telah kita saksikan dalam bentuk Aksi Kamisan, yang secara konsisten dihelat oleh para penyintas dan mereka yang bersolidaritas. Setiap Kamis, mereka berdiri di depan Istana, dan juga di ruang-ruang publik penting di berbagai daerah, untuk memastikan tragedi itu tidak membeku dalam kenangan, melainkan tetap hidup dalam ruang publik sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa.

Dalam konteks demokrasi, Aksi Kamisan merupakan bentuk nyata dari hak untuk berserikat, berekspresi, dan menyampaikan pendapat. Jika kita masih memaknai demokrasi sebagai kekuasaan rakyat, maka ketiga hak tersebut harus terus dijaga dan dijalankan. Apabila penguasa memiliki panggung megah untuk mengoperasikan penindasan secara sistemik dan epistemik melalui berbagai intrik, maka rakyat pun berhak memiliki panggung serupa untuk membongkar segala bentuk ketidakadilan—salah satunya melalui aksi massa.

Aksi massa, baik sebagai diksi maupun praktik, memang kerap tidak disukai oleh penguasa. Namun, aksi massa adalah manifestasi hak rakyat dalam lanskap demokrasi, dan ia akan terus hadir selama penguasa tidak bekerja berdasarkan nurani. Tan Malaka menyatakan bahwa aksi massa dapat berupa protes, boikot, dan mogok. Dalam perspektif anarkisme, aksi massa bahkan dapat mencakup sabotase, insureksi terorganisir, dan okupasi ruang. Bahkan, kekuasaan pun bisa menggunakan aksi massa, dengan menciptakan kerumunan untuk menciptakan polarisasi dan konflik.

Namun, ketika aksi massa bergulir di ruang publik, tidak semua orang bersikap mendukung. Perbedaan pendapat adalah hal lumrah dalam demokrasi, asalkan masih dalam koridor yang etis. Persoalan muncul ketika ketidaksetujuan terhadap aksi dibalut dengan upaya pembentukan opini negatif melalui stigmatisasi. Aksi massa kerap dicap sebagai ancaman keamanan, seolah-olah selalu berpotensi menciptakan kekacauan. Padahal, stigma ini kerap mengabaikan represivitas aparat terhadap massa aksi.

Ada pula stigma bahwa aksi digerakkan oleh pihak-pihak tertentu, dan bahwa peserta aksi bukan berasal dari masyarakat setempat. Stigma semacam ini mereduksi moral dan etika solidaritas, seolah-olah keberpihakan hanya sah jika berbasis kedekatan geografis. Dari sisi ekonomi, massa aksi sering dituduh sebagai bayaran, yang bergerak hanya demi konsumsi dan uang transportasi. Tuduhan ini merendahkan integritas mereka sebagai warga negara yang menyuarakan keresahan. Sementara dari sisi intelektualitas—yang menjadi pokok sorotan tulisan ini—aksi massa sering digambarkan sebagai kerumunan orang yang bodoh dan kurang membaca.

Stigmatisasi intelektual ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang menafikan kapasitas berpikir rakyat. Membaca atau tidak membaca seharusnya bukan ukuran utama dalam menentukan sah tidaknya seseorang untuk terlibat dalam aksi. Dalam sistem demokrasi, aksi adalah hak semua warga negara, terlebih ketika nilai, prinsip, dan ruang hidup mereka diganggu oleh penindasan. Tuduhan bahwa massa aksi tidak membaca sering kali datang dari arogansi intelektual yang merasa paling tahu, dan secara tersirat ingin memonopoli kebenaran.

Faktanya, tak sedikit aksi massa yang pro terhadap kekuasaan justru sangat jauh dari budaya literasi. Banyak di antara mereka bahkan tidak memahami substansi tuntutan yang mereka serukan. Kita bisa mengingat bagaimana massa aksi yang mendukung RUU TNI atau usulan perpanjangan masa jabatan presiden gagal menjelaskan argumen mereka ketika ditanya, bahkan lebih memilih menghindar.

Meski demikian, mereka pun tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Gerakan tandingan yang pro kekuasaan sering kali dibentuk secara instan, dengan prinsip “yang penting massa terkumpul”, tanpa konsolidasi mendalam. Oleh karena itu, kita sebagai sesama rakyat tidak boleh saling menghakimi.

Soal “membaca”, seharusnya tidak dimaknai semata-mata sebagai aktivitas membaca buku atau kajian ilmiah yang berat. Literasi dalam gerakan justru banyak terjadi melalui ruang-ruang penyadaran, seperti konsolidasi, diskusi, agitasi, dan perjumpaan yang membentuk pemahaman kolektif. Dalam dinamika aksi, hasil kajian kerap disampaikan dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kapasitas anggota, agar setiap individu paham akan apa yang sedang mereka perjuangkan.

Membaca secara tekstual memang membutuhkan waktu dan ruang yang ideal. Tetapi dalam konteks aksi massa, yang sering bergerak secara responsif terhadap momentum, membaca dapat dilakukan melalui berbagai metode yang interaktif dan komunikatif. Yang terpenting adalah dorongan untuk memahami dan bergerak, bukan sekadar kemampuan menyerap teks secara akademik.

Maka, menghakimi massa aksi atas dasar “kurang membaca” adalah bentuk kekerasan intelektual yang menutup kemungkinan solidaritas dan justru memperkuat dominasi epistemik dari kelas penguasa. [T]

Penulis: Mansurni Abadi
Editor:Adnyana Ole

Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa
Merayakan Moderasi di Tengah Dinamika Intoleransi
Langkah Sederhana Mengubah Kekotoran Politik
Tags: aksi massaLiterasiReformasi
Previous Post

PENJARA: Penyempurnaan Jiwa dan Raga

Next Post

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

Mansurni Abadi

Mansurni Abadi

Mantan pengurus divisi riset Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia 2021-2022 dan pengurus divisi riset Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malaysia 2021-2023, Saat ini berkerja sebagai relasi publik di NGO SMT di Malaysia

Next Post
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co