30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

Bayu Wira HandyanbyBayu Wira Handyan
May 28, 2025
inUlas Film
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

Satu adegan dalam film All We Imagine as Light (Payal Kapadia, 2024)

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala tanpa henti, dan manusia bicara tanpa jeda—semuanya membuat kita terbiasa pada kebisingan yang menyamar sebagai kehidupan. Namun, ada suara lain yang tak terdengar. Bukan karena ia tak ada, tetapi karena ia terlalu pelan, terlalu lemah lembut, dan terlalu akrab dengan sunyi: suara perempuan, suara kelas pekerja, dan suara mereka yang hidupnya bukan drama besar tapi repetisi harian.

All We Imagine as Light (2024) karya Payal Kapadia adalah film yang menolak ikut serta dalam kebisingan itu. Ia memilih mendengarkan yang sunyi. Ia memilih diam sebagai bentuk perlawanan. Dan mungkin karena itu, film ini terasa sangat asing sekaligus sangat akrab—seperti melihat bayangan diri kita sendiri dalam pantulan jendela kereta malam.

Pada banyak film India, baik yang populer maupun arthouse, perempuan selalu ada tetapi jarang benar-benar hadir. Mereka disorot, dinarasikan, dirayakan, tetapi hampir selalu melalui kaca mata laki-laki. Payal Kapadia membalikkan itu semua. Ia tidak sekadar membuat film tentang perempuan, tetapi membuat film dari dalam tubuh perempuan: tubuh yang lelah, tubuh yang bekerja keras, tubuh yang penuh rindu, dan tubuh yang berisi mimpi.

Prabha (Kani Kusruti) dan Anu (Divya Prabha), dua tokoh utama dalam film ini, bukan perempuan heroik. Mereka bukan perempuan yang “berjuang” seperti yang dipotret oleh sinetron, iklan, atau film-film feminis buatan sutradara laki-laki. Mereka hanyalah perawat dari Kerala yang tinggal di sebuah kamar sempit di Mumbai, bekerja, pulang, lalu mengulang hidup yang sama. Tapi justru dalam banalitas itu, kita menyaksikan perlawanan yang lebih radikal—perlawanan untuk tetap menjadi manusia di tengah sistem yang mengubah segalanya menjadi angka, jadwal, dan target.

Satu adegan dalam film All We Imagine as Light (Payal Kapadia, 2024)

Mumbai dalam film ini bukan kota impian seperti dalam Bollywood, tapi juga bukan neraka. Ia adalah ruang yang asing dan dingin, tempat relasi manusia retak pelan-pelan. Kota besar itu tak punya ruang untuk keintiman, kecuali ketika waktu dicuri dari dalam dapur yang sempit, di jembatan penyeberangan, di dalam bus, di dalam kereta, atau di pantai terpencil tempat waktu bisa dipeluk tanpa menuntut apapun. Melalui All We Imagine as Light (2024), Payal Kapadia mengkritik Mumbai sebagai ruang eksklusi, bahwa urbanisasi neoliberal telah menggusur keintiman dan menjadikan kota sebagai ladang eksklusi gender dan kelas.

Kota dalam All We Imagine as Light (2024) adalah simbol dari kekuasaan yang bekerja tanpa kekerasan. Ia tidak memukul, tapi menyisihkan. Ia tidak mengusir, tapi membuat orang merasa tidak diinginkan. Ini sesuai dengan konsep kekuasaan foucauldian yang tidak lagi represif, tapi produktif—mengatur hidup lewat norma, waktu, dan arsitektur. Dalam film ini, kekuasaan hadir bukan sebagai polisi atau tentara, tapi sebagai jadwal kerja, kontrak sewa, dan pesan dari suami yang tak kunjung datang.

Payal Kapadia tidak menawarkan solusi besar. Ia justru menantang kita untuk menghargai yang kecil: keinginan untuk makan bersama atau hanya berdiam di dalam kamar sambil menunggu hari berganti. Ia menolak narasi emansipasi yang bising dan memilih merekam keheningan sebagai bentuk resistensi.

Sunyi dalam kamar yang terlalu sempit untuk menampung mimpi apalagi perdebatan, sunyi ketika membaca surat dari suami yang sudah lama tak terdengar suaranya, atau sunyi saat makan malam tanpa percakapan. Sunyi dalam film ini bukanlah kekosongan, tetapi bentuk lain dari eksistensi yang tak diterima bahasa mayoritas. Prabha dan Anu memang bisa bicara, tapi siapa yang benar-benar mendengarkan mereka?

Inilah yang kemudian membuat film ini dekat dengan pemikiran Gayatri Spivak, yang menulis bahwa dalam banyak sistem representasi, subaltern—mereka yang di luar wacana kekuasaan dominan—”tidak dapat berbicara.” Tapi kemudian Payal Kapadia membuktikan sebaliknya, mereka bisa berbicara, asalkan kita bersedia mendengar dalam diam. Lebih dalam, ia lantas tidak menempatkan perempuan sebagai pahlawan atau simbol, tapi sebagai kehadiran yang enggan dijelaskan.

Tentang Cahaya yang Mereka Bayangkan

Dalam All We Imagine as Light (2024), laki-laki muncul tetapi tidak menjadi pusat narasi. Mereka hadir sebagai figur yang ambigu. Suami yang tak pernah datang, pacar yang penuh keraguan, atau pasien yang sekadar lewat. Ini bukan bentuk penghapusan laki-laki, melainkan upaya Payal Kapadia merebut narasi dari dominasi male gaze.

All We Imagine as Light (Payal Kapadia, 2024)

Lewat narasi visualnya, Payal Kapadia secara sadar menghindari objektifikasi perempuan dan tidak memberi ruang pada dominasi maskulin. Kamera tidak mengintai atau memotret tubuh mereka sebagai sesuatu yang sensual. Kamera justru seolah berada di dalam ruangan bersama mereka, sering kali sejajar dengan tubuh, menghargai batas privasi dan ruang intim yang ada. Adegan demi adegan yang ditampilkan adalah upayanya untuk menyediakan panggung bagi perempuan yang sebelumnya hanya sebagai “yang dilihat” menjadi “yang melihat dan merasakan.”

Dengan menolak male gaze, Payal Kapadia sekaligus menolak bahasa visual sinema kolonial dan patriarkis yang selama ini menjajah cara kita melihat perempuan sebagai simbol, sebagai alat, atau sebagai hasrat. Perempuan dalam All We Imagine as Light (2024) hadir sebagai pengalaman yang tidak bisa direduksi jadi pemandangan.

Lebih lanjut Payal Kapadia juga memberikan ruang batin untuk tokoh-tokoh perempuannya. Surat yang dibaca Prabha dari suaminya yang lama tak ada kabarnya, ragu-ragu Anu tentang hubungan rahasianya, atau keheningan saat menatap laut—semuanya mengedepankan perasaan perempuan sebagai subjek penuh. Mereka bukan sekadar reaksi dari dunia luar, tapi memiliki dunia internal yang kompleks dan valid.

Di penghujung film, Prabha dan Anu menemai Parvaty (Chhaya Kadam) pulang ke desanya. Mereka melakukan perjalanan ke pantai. Bukan pantai yang ganas dengan ombaknya yang besar, tetapi pantai dengan laut yang menenangkan. Sebuah metafora untuk dunia alternatif, ruang imajinatif di luar kota dan sistem. Di sana, di pantai dengan ombaknya yang menenangkan, mereka saling menatap. Ketiganya berbicara tanpa kata dan menemukan kemungkinan baru untuk hidup yang tak harus dipaksakan sesuai norma. Dalam sudut pandang feminisme, ini adalah bentuk quiet agency di mana kekuatan lahir dari keheningan dan bukan dari konfrontasi.

Tidak ada klimaks di akhir film. Tidak ada pelukan dramatis atau keputusan besar yang heroik. Tidak ada pula kepastian untuk memuaskan penonton. Yang tersisa hanyalah tiga perempuan dan satu laki-laki di tepi laut, membayangkan cahaya yang berkelip di atas mereka. Tapi mungkin itulah yang paling kita butuhkan hari ini: ruang untuk membayangkan.

Satu adegan dalam film All We Imagine as Light (Payal Kapadia, 2024)

Di abad yang terobsesi pada kecepatan, kita diajarkan untuk bergerak cepat dan bergerak lebih cepat. Tapi, lewat All We Imagine as Light (2024) Payal Kapadia mengajarkan hal sebaliknya: berhenti sejenak, mendengarkan yang pelan, dan membayangkan dunia yang lebih lembut. Dalam dunia seperti itu mungkin perempuan tak harus selalu kuat. Mereka cukup jadi diri sendiri.

Maka All We Imagine as Light (2024) bukan hanya sekadar film, tapi sebuah bentuk dengar. Kita tidak melihat perempuan bicara, tapi kita dipaksa mendengar mereka dalam bentuk paling utuh: langkah-langkahnya, napasnya, ketidaktahuannya, bahkan rasa rindunya yang tak punya bentuk.

Di sini, kita kemudian sadar bahwa Payal Kapadia tidak membuat film tentang India. Ia membuat film tentang mereka yang tidak pernah disebut saat kita bicara tentang India.

Lalu, seperti yang dikatakan Gayatri Spivak, jika subaltern tidak bisa bicara dalam struktur yang ada, mungkin satu-satunya cara adalah menciptakan ruang baru di mana mereka tidak harus berbicara untuk didengar. Dan di situlah cahaya itu berada—not as something we see, but all we imagine as light. [T]

Penulis: Bayu Wira Handyan
Editor: Adnyana Ole

Parade Puisi Brutal dari Tierra del Fuego
Menelusuri Jejak Walter Spies Sembari Membangun Refleksi Pembangunan Bali
Harapan itu Bernama Jumbo!
Kritik Terhadap Materialisme Ilmiah yang Tersingkap dalam “The Most Beautiful Girl in the World “ (2025)
Tags: filmfilm Indiaresensi film
Previous Post

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

Next Post

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

Bayu Wira Handyan

Bayu Wira Handyan

Biasa-biasa saja

Next Post
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co