“Seni bukanlah cermin bagi kenyataan, tapi palu untuk membentuknya.” — Bertolt Brecht
PARA pembaca yang budiman, kemarin anak saya, yang SMP, mencoba main-main membikin puisi dan naskah drama memakai bantuan AI. Sebagai bukan pelaku seni, saya pikir sungguh menyenangkan ketika anak saya jadi mendadak nyeni dalam hitungan menit tanpa saya repot ngajarin. Di luar sana, bahkan anak-anak muda pun piawai membuat ilustrasi grafis, bikin musik, sampai bikin poster dengan AI.
Tak pelak, dunia seni sekarang seolah berubah wajah. Bayangkan ada sebuah lukisan surealis, penuh warna, emosi, dan bahkan mungkin mengandung kedalaman simbolik. Tapi ketika kita menengok ke balik kanvas, ke prosesnya, tidak ada pelukis yang menggenggam kuas. Tidak ada studio, tidak ada clepretan tinta di lantai, tidak ada malam panjang yang penuh kegelisahan artistik. Hanya baris-baris perintah, alur algoritma, dan pemrosesan citra oleh entitas tak bernyawa yang disebut Artificial Intelligence.
Kini kita hidup di masa di mana karya-karya visual, puisi, musik, bahkan naskah drama bisa diciptakan oleh mesin. Tidak melalui inspirasi ilahi atau pengalaman hidup yang manis getir, tetapi melalui prompt yang diketik cepat: “lukisan bergaya Van Gogh tentang kerinduan.” Enter, klik. Jadi.
Karena saya memang bukan ahli di bidang seni dan filsafat, maka terlintas di benak saya suatu pertanyaan naif. Apakah seni yang dibuat oleh AI masih bisa disebut seni? Dan jika ya, siapa yang menjadi senimannya? Jika bukan, mengapa terlihat indah dan menggugah? Sebenarnya apa yang ingin saya sampaikan di sini lebih berupa sharing uneg-uneg, jadi bukan sebuah telaah akademis apalagi filosofis.
Kreativitas Masihkah Monopoli Manusia?
Selama berabad-abad, kreativitas dianggap sebagai anugerah ilahiah, hadiah bagi manusia untuk mampu menyelami keindahan, menggugat realitas, atau sekadar menumpahkan kecamuk gejolak batin. Namun kini, kecerdasan buatan telah memasuki ranah yang paling intim dalam eksistensi kemanusiaan, yaitu daya cipta. AI, seperti Midjourney, DALL·E, atau ChatGPT, dapat men-generate, menciptakan karya visual dan tekstual yang menggugah, memukau, dan kadang mengejutkan. Dan semuanya dilakukan dalam hitungan detik, tergantung pesanannya, tanpa “merasakan” apa pun.
Filsuf Immanuel Kant dalam Critique of Judgment menyebut bahwa seni sejati lahir dari niat bebas dan tujuan tanpa tujuan, sebuah aktivitas yang tidak berorientasi pada fungsi, tapi pada ekspresi. Apakah AI memiliki kehendak bebas? Tidak. Apakah ia memiliki niat bebas? Tidak juga. Tapi apakah hasilnya menyentuh kita, manusia, seperti karya seni sejati yang konvensional? Kadang, iya.
Ini membuat kita masuk ke wilayah abu-abu. Mungkin selama ini kita terlalu terobsesi pada proses penciptaan, dan lupa bahwa seni juga adalah tentang apa yang dihadirkan, bukan hanya bagaimana ia hadir. Hal ini tentu menggugat konsep yang kuat yang selama ini kita pegang teguh, untuk selalu percaya pada proses. Tapi bukankah melatih AI men-generate sesuai keinginan juga juga butuh suatu proses yang spesifik?
Antara Instrumen dan Kolaborator
Sepertinya, hal ini hanya mendaur masa di mana sebagian kalangan melihat AI seperti melihat kemunculan kamera pada awal abad ke-20. Kala itu, para pelukis klasik mencibir fotografi sebagai bukan seni, karena tak melibatkan tangan dan sapuan kuas. Tapi sejarah membalikkan anggapan itu. Justru fotografilah yang kemudian membuka cakrawala baru dalam estetika visual.
Mungkin AI hanyalah “kamera” baru bagi zaman kita sekarang ini. Jadi AI dianggap sebagai alat. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa AI bukan sekadar alat, tapi kolaborator yang aktif. AI mampu menyintesis ide, memadukan gaya, bereksperimen bebas melampaui batas imajinasi manusia, bukan karena ia jenius, tapi karena ia dibanjiri data dan kemungkinan.
Dalam konteks ini, manusialah yang menjadi sutradara konseptual. Kitalah yang menentukan arah, niat, emosi, dan konteks. Maka karya seni AI sebetulnya adalah hasil dari kehendak manusia, hanya saja diperluas oleh kekuatan mesin. Seperti yang dikatakan Martin Heidegger, teknologi bukan hanya alat, tapi juga cara mengungkap kebenaran. Dalam pandangannya, teknologi modern memiliki sifat yang lebih dari sekadar instrumen, teknologi membentuk cara manusia memahami dan berinteraksi dengan dunia. Heidegger menggunakan konsep Gestell (Enframing), yang berarti bahwa teknologi membingkai segala sesuatu, sebagai sumber daya yang siap dieksploitasi. Dan apa yang dikatakannya bisa kita pahami dalam hal ini.
Apakah “Menyuruh” Itu Seni?
Kritik paling umum terhadap seni AI adalah, “Ah, itu mah tinggal nyuruh. Tinggal ketik doang.” Jadi, apakah seni hanya soal tangan yang bekerja? Apakah tidak mungkin jika seni lahir dari ide yang kuat dan perintah yang tepat?
Logikanya begini, seorang koreografer tidak menari, seorang arsitek tidak membangun, dan seorang sutradara tidak memegang kamera. Tapi mereka semua adalah seniman, karena mereka mengarahkan dunia dan perwujudan seni yang akan tercipta. Dengan sudut pandang ini, pada hemat saya, menyuruh AI bisa menjadi bagian dari proses kreatif yang sah, selama ada kehendak artistik, refleksi, dan pengolahan makna yang terlibat.
Yang membuat AI menarik dan menggelisahkan, bukan karena ia bisa sekadar meniru manusia, tapi karena ia bisa melampaui batas manusiawi dalam hal jumlah referensi, kombinasi gaya, dan kecepatan eksplorasi. Tapi ada juga juga kelemahannya. AI tidak punya luka. Tidak punya cinta. Tidak punya kesadaran tentang kefanaan.
Oleh karena itu, justru kolaborasi antara manusia dan AI, bisa melahirkan sesuatu yang belum pernah ada, yaitu karya yang lahir dari intuisi manusia, tapi diperkuat oleh kekuatan sintesis superhuman. Kita sepertinya butuh istilah baru di sini. Ini bukan “seni manusia” atau “seni mesin”, tapi barangkali, Seni Sintesis. Suatu seni dari hasil perjumpaan antara niat dan nalar, antara emosi dan kalkulasi algoritma.
Menjadi Bebas atau Kehilangan Keistimewaan?
Pada akhirnya, kegelisahan tentang seni AI bukan hanya soal estetika. Ini kemungkinan kegelisahan yang sudah mengintai semenjak AI lahir, yaitu soal identitas manusia. Entah dalam pekerjaan, pendidikan, industri, AI dikhawatirkan akan mengancam eksistensi manusia.
Apakah kita masih istimewa jika mesin bisa mencipta? Apakah kita siap menerima bahwa proses kreatif bukan milik kita sendiri? Jean-Paul Sartre menyatakan dalam bukunya, Being and Nothingness, “Manusia dikutuk untuk bebas.” Tapi barangkali kini kita menghadapi paradoks baru. Manusia dibebastugaskan oleh mesin, tapi bukannya menjadi rileks, justru membuat kita merasa terancam.
Seni AI mungkin tidak menggantikan seni manusia, tapi ada masa di mana ia memaksa kita untuk mengubah cara kita melihat seni itu sendiri. Bukan lagi tentang siapa yang membuat, tapi apa yang diungkap. Bukan lagi soal ekspresi pribadi soal seni semata, tapi juga eksplorasi masyarakat tentang apa artinya menjadi manusia berseni di zaman pasca-manusia. Dan tentunya kegelisahan ini tak bisa mereda hanya dengan satu helaan napas panjang.
Jika para pembaca yang budiman merasa juga gelisah, mungkin lebih bijak jika tidak buru-buru menghakimi. Mari kita coba bukan hanya menilai hasilnya, tapi berani juga untuk mencoba satu langkah ke depan dengan mengajukan pertanyaan. Apa yang bisa kita ciptakan, jika kita bersedia berdialog dengan mesin? Karena mungkin, Bertolt Brecht jauh hari sudah paham, masa depan seni bukan tentang mesin yang menggantikan manusia, melainkan tentang manusia yang berani menciptakan sesuatu, yang bahkan lebih besar dari dirinya sendiri. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI