DI balik keindahan pariwisata Bali yang mendunia, tersimpan kegelisahan yang jarang terangkat ke permukaan. Bali krisis kader petani muda. Di banyak desa, sawah mulai kosong. Bukan karena gagal panen. Akan tetapi dikarenakan pertanian Bali semakin sedikit yang berminat mengolahnya. Anak-anak muda lebih tertarik bekerja di sektor hospitality, menjadi konten kreator, atau mengejar pekerjaan di kota besar dan bahkan luar negeri. Bertani kini dianggap pekerjaan yang “kuno”, kotor, dan tidak menjanjikan.
Bali saat ini tengah darurat kader petani muda. Generasi yang seharusnya mewarisi kearifan lokal dalam pengelolaan lahan dan subak justru menjauhi sektor pertanian. Jika ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Bali akan kehilangan identitas agrarisnya. Padahal, sektor ini adalah salah satu fondasi utama kebudayaan dan kehidupan masyarakat Bali sejak dahulu.
Namun, menyalahkan anak muda sepenuhnya tentu tidak adil. Dunia pertanian memang selama ini kurang “terekspos” secara menarik di hadapan mereka. Gaya hidup digital, kecepatan informasi, dan pencitraan visual membuat anak muda lebih dekat dengan hal-hal yang viral di media sosial. Sayangnya, pertanian jarang tampil sebagai sesuatu yang keren di platform-platform itu.
Kondisi ini menjadi ironi di pulau yang menggantungkan pangan dan identitas budayanya pada sektor pertanian. Regenerasi petani mengalami stagnasi. Padahal, dengan harga bahan pokok yang melambung dan krisis pangan global yang menghantui, sektor pertanian justru menjadi harapan masa depan. Maka dari itu, sudah saatnya pertanian tidak hanya dikerjakan di sawah, tetapi juga diperkenalkan dan dikampanyekan lewat media sosial. Anak muda Bali yang kreatif dan melek teknologi bisa menjadi pionir perubahan.
Inilah saatnya pertanian masuk ke media sosial. Petani muda perlu diangkat sebagai tokoh keren. Proses bertani—dari menyemai benih, merawat tanaman, hingga memanen—bisa menjadi konten yang menginspirasi. Kisah perjuangan dan inovasi di lahan, terutama pertanian organik, urban farming, atau teknologi smart farming, bisa menyentuh hati generasi muda jika dikemas dengan bahasa visual dan emosional yang tepat.
Salah satu contoh nyata adalah Edy Juliana, seorang alumni SMKN 1 Petang, yang kini sukses mengembangkan usaha pertanian di bawah naungan P4S Amerta Giri Lesungyang dibangunnya selepas sekolah. Pemuda kelahiran Tamblingan, Buleleng, 9 Juli 1999 ini sangat aktif mengampanyekan pertanian organik. Di era medsos ini, Edi tidak hanya bertani.
Dia juga aktif berbagi pengalaman lewat media sosial, menginspirasi anak muda lainnya bahwa bertani bisa modern, menguntungkan, dan bermartabat. Ia membuktikan bahwa menjadi petani tidak harus identik dengan hidup susah, tetapi bisa menjadi jalan hidup yang membanggakan. Bahkan Edi sudah mampu menggaet beberapa pemuda dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak guna memajukan pertanian.
Kisah-kisah seperti Edy Juliana patut dicontoh dan penting untuk diviralkan. Pertanian bisa dikemas menarik: membuat konten harian di ladang, tips budidaya, tutorial hidroponik, hingga vlog panen raya. Kegiatan ini bukan sekadar berbagi informasi, tapi juga bisa membuka peluang kolaborasi dengan UMKM, mendapatkan penghasilan dari endorse produk lokal, dan menciptakan pasar baru.
Kegiatan yang dilakukan Edi tidak hanya berkutat dengan tanah dan pupuk. Edi juga aktif sebagai kreator digital. Dia memanfaatkan media sosial untuk promosi, edukasi, dan memperluas jejaring pertanian organik dan pemasaran hasil pertanian. Ia berhasil membalik stigma bahwa bertani itu ketinggalan zaman. Justru dengan pendekatan digital dan manajemen modern, bertani bisa jadi profesi keren dan berkelanjutan.


Dok. Edi Juliana
Kini, Bali memerlukan banyak anak muda penggiat pertanian. Lahan pertanian yang selama ini masih ditanami oleh generasi tua, bisa jadi akan tinggal kenangan. Oleh karena itu, sekali lagi, inilah saatnya pertanian (Bali) masuk medsos.
Guna mencapai percepatan itu, dunia pendidikan dan pemerintah daerah perlu bergerak bersama. Sekolah kejuruan pertanian mesti didorong untuk memperkenalkan teknologi digital dalam praktiknya. Dinas Pertanian dan komunitas tani bisa membuat kompetisi konten pertanian atau membuka program magang digital di pertanian inovatif.
Bali memang pulau pariwisata. Tapi tanpa petani, tidak akan ada makanan di meja, tidak ada subak yang terjaga, dan tak akan lengkap identitas budaya Bali yang kita banggakan. Maka, membangkitkan semangat bertani di kalangan anak muda adalah tanggung jawab bersama.
Dan di zaman ini, semangat itu perlu dibangkitkan dari tempat yang paling sering mereka kunjungi setiap hari: media sosial. [T]
Penulis: I Wayan Yudana
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis I WAYAN YUDANA