SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan.
”Mang, rasanya enak sekali kalau siang ini makan siobak,” kata Ibu.
”Oke!” sahut saya.
Saya pun bergegas memenuhi permintaan sang ibu. Tujuan saya sudah jelas. Depot Siobak di Seririt, Buleleng, Bali. Siobak, adalah sebuah nama menu yang melegenda di telinga para pencinta kuliner Buleleng, juga Bali.
Warung makan itu berdiri bersahaja, bertetangga dengan sebuah Indomaret di Jalan Raya Seririt-Singaraja. Tak ada kemewahan di sana, hanya sebuah warung makan yang jujur dalam kesederhanaannya, seolah menyimpan rahasia rasa yang diwariskan turun-temurun.

Depot Siobak Seririt | Foto: Puja
Memasuki warung, aroma khas masakan langsung menyergap indera penciuman, membangkitkan selera. Sambutan hangat langsung saya terima dari sepasang suami istri, Yudianto (74) dan Heti (62), atau yang akrab disapa Tik.
Sembari tangan cekatan Tik menyiapkan pesanan saya dan pelanggan lain, matanya tak lepas dari talenan dan blakas Bali. Dengan fokus yang luar biasa, ia memastikan setiap irisan daging babi terpotong dengan sempurna. Sebuah dedikasi yang terlihat jelas dalam setiap gerakannya. Di usianya yang tak lagi muda, semangat melayani dan menjaga kualitas tetap membara.
Sensasi Rasa yang Tak Tertandingi
Bicara soal siobak, Depot Siobak Seririt memang memiliki kelas tersendiri. Dibuka sejak tahun 1980. Sudah 45 tahun lamanya warung ini berdiri kokoh, menjaga cita rasa autentik yang tak tergantikan. Setiap suapan membawa perpaduan antara manis, gurih, dan sedikit sentuhan pedas yang menggelitik. Daging babinya begitu empuk di lidah, disempurnakan dengan kulit yang renyah sempurna di setiap gigitan.
Kuah siobaknya? Ahh…, itu adalah mahakarya tersendiri. Berwarna cokelat pekat, kental, dan kaya rempah, memeluk setiap potongan daging dan menyatu sempurna. Siobak ini tak pernah disajikan sendiri, selalu ditemani kerupuk babi yang garing renyah, acar timun segar yang memberikan sentuhan asam, dan potongan cabai segar bagi mereka yang ingin sensasi lebih menantang. Sungguh, ini bukan sekadar makanan, melainkan pengalaman kuliner yang memanjakan seluruh indra.
Dengan harga yang cukup terjangkau, Rp 30 ribu per porsi, pelanggan bahkan diberi keleluasaan dengan selera masing-masing.
“Kalau saya jualan sesuai request pelanggan, misalnya siobak full daging. Kasihan kalau makanannya dibuang-buang, nggak dihabiskan,” ucap Heti dengan senyum ramahnya, menunjukkan perhatiannya pada kepuasan pelanggan dan kepedulian agar tak ada makanan yang tersia-sia.

Yudianto
Depot Siobak Seririt buka setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 20.00 WITA. Namun, persiapan di dapur sudah dimulai jauh lebih pagi. Dibantu oleh dua orang karyawannya, Heti dan Yudianto mulai meracik bumbu dan menyiapkan bahan sejak pukul 05.00 WITA.
Yang menarik, proses memasak di Depot Siobak ini masih sangat tradisional, menggunakan kayu bakar. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Heti berkisah, ia pernah mengalami trauma ketika kompor yang dulu digunakannya meledak di warung.
“Dari kejadian itu ada positifnya, jadi pakai kayu bakar juga dapat cita rasa makanan berbeda, karena ada rasa khas memasak menggunakan kayu bakar,” ungkap Heti sambil tersenyum, menyiratkan setiap musibah pun bisa membawa berkah. Memang, aroma dan rasa yang dihasilkan dari masakan kayu bakar memiliki kekhasan tersendiri.
Keluhan yang paling sering dialami selama 45 tahun berdagang adalah kenaikan harga daging babi yang tak kunjung turun setiap tahunnya. ”Biasanya beli daging di Pasar Seririt dengan anak. Kalau di langganan beli harganya Rp 110 ribu per kg, sedangkan yang nggak langganan biasanya Rp 120 ribu,” tutur Yudianto.
Kisah Perjalanan dan Warisan Khelok
Di balik kesuksesan Depot Siobak Seririt, tersimpan kisah panjang perjalanan hidup Yudianto. Sebelum mendirikan warung ini, ia merantau selama 15 tahun, berpindah-pindah tempat mulai dari Surabaya, Solo, dan terakhir di Klaten. Profesi yang dilakoninya pun beragam.

Pelanggan yang mengantre | Foto: Puja
“Saya kerjanya mulai kerja di Surabaya di pabrik sepatu, di Solo pabrik bensin, di Klaten pabrik minyak bakar yang buat pembakaran kapur, karena saat itu rumah pakai bahan kapur,” tutur Yudianto.
Namun, sebuah peristiwa kelam di tahun 1979 mengubah jalan hidupnya. Saat itu, di Klaten sedang marak isu penembak misterius (petrus) yang menebar ketakutan.
“Saat itu saya mau nagih uang di pabrik Parkarejo dan muncul kejadian itu, saya langsung pulang,” kenangnya dengan raut serius, mengingat kembali momen yang mengubah haluan hidupnya kembali ke kampung halaman.

Hidangan siobak yang menggiurkan | Foto: Puja
Depot Siobak ini bertahan hingga kini karena merupakan satu-satunya mata pencarian mereka, untuk makan sehari-hari. Yudianto adalah anak kelima dari sembilan bersaudara dari keluarga Khelok. Siobak ini bukan sekadar usaha, melainkan warisan nenek moyang yang terus ia jaga hingga saat ini.
”Kedua anak saya dan menantu saya berjualan siobak juga, dan sudah membuka gerai mandiri tidak satu gerai dengan saya,” tuturnya dengan bangga, menunjukkan bahwa tradisi kuliner ini telah berhasil diturunkan ke generasi berikutnya. Heti pun memiliki harapan besar agar makanan warisan keluarga ini bisa semakin tersebar luas dan menjadi ciri khas cita rasa siobak legendaris yang dikenal banyak orang.
Melihat warung sederhana itu, ingatan saya melayang pada kenangan ibu saya bersama almarhum bapak, saat mereka menikmati siobak di musim hujan.
”Tiap makan sesuap siobak ini, jadi ingat bapakmu yang dulu suka menyuapi ibu,” kenang ibu dengan senyum manis yang menyimpan rindu. [T]
Penulis: Komang Puja Savitri
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: