BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi karena satu hal yang jauh lebih serius dan lebih genting, yaitu bahwa seorang mahasiswa dari kampus ternama di Bali, diduga membuat konten deepfake porno menggunakan wajah temannya sendiri. Bukan artis, bukan selebgram, tapi teman sendiri. Bahkan kabarnya, tanpa seizin si korban.
Dia membuat konten pornografi, yang tidak hanya mencoreng nama kampus, tapi juga membuka fakta pahit masyarakat digital kita. Deepfake, teknologi yang lahir dari pesatnya percepatan AI, kini bukan cuma dipakai untuk menciptakan ilusi wajah dia versi muda ala jutawan atau membuat Jokowi dan Prabowo saling endorse dalam video parodi. Tapi menjelma menjadi alat untuk memperkosa citra manusia, secara simbolik, secara brutal, dan secara digital.
Mari kita jangan segera menganggap ini sekadar kenakalan remaja. Kasus ini bukan sekadar iseng namun ini bentuk pemerkosaan. Bukan dengan alat kelamin, tapi dengan algoritma. Tidak menyentuh tubuh, tapi menghancurkan martabat.
Kita sedang menghadapi bentuk baru dari kekerasan seksual yang tak berlebam, tak berteriak, tapi membekas jauh lebih dalam. Dan sialnya, ini dilakukan oleh mereka yang katanya digadang sebagai “generasi emas Indonesia”, yaitu mereka yang tumbuh dengan YouTube, TikTok, dan template PowerPoint.
Teknologi sebagai Pisau Bermata Dua
Deepfake seharusnya jadi bukti betapa canggihnya otak manusia. Ia bisa dipakai untuk membuat video edukasi yang keren, membuat orang lumpuh mampu berbicara lagi lewat suara digitalnya, atau menciptakan seni sinematik baru. Tapi, sama seperti semua ciptaan manusia dari nuklir sampai pisau dapur, teknologi itu sifatnya netral. Barulah nilai moralitasnya terletak pada penggunanya.
Masalahnya, banyak dari kita ini terlalu sering terlena dengan kecanggihan, tapi malas menanamkan kebijaksanaan. Akibatnya, deepfake yang seharusnya bisa jadi alat edukatif malah jadi alat pemuas hasrat. Tubuh digital dijadikan objek visual untuk dikonsumsi, bukan lagi sebagai subjek bermartabat dan setara.
Memproduksi pornografi dengan wajah orang lain, lalu berlindung di balik dalih, “Ini buat konsumsi pribadi, kok.” Dalih yang sama brengseknya dengan orang yang bilang, “Saya cuma ngintip, nggak megang-megang kok.” Padahal, begitu file itu dibuat, maka ia sudah eksis, sudah hidup di semesta digital. Sangat bisa bocor dari cloud, dicuri dari drive, atau bahkan disebar karena iseng, marah, atau putus cinta. Jadi bukan cuma persoalan pribadi. Ini kejahatan, ini pemerkosaan simbolik, suatu bentuk baru dari kekerasan digital.
Kekerasan Simbolik di Era Digital
Pierre Bourdieu , seorang sosiolog Prancis, pernah bicara soal kekerasan simbolik, kekuasaan yang melukai tanpa melukai. Kekuasaan yang menyiksa tanpa menyentuh. Nah, deepfake porno adalah bentuk mutakhir dari kekerasan itu. Di sini, wajah perempuan direduksi jadi properti visual. Martabatnya dipaksa tunduk pada nafsu laki-laki digital yang merasa berhak atas wajah dan tubuh orang lain.
Seperti yang dinyatakan oleh seorang penulis dan aktivis feminis, Bailey Poland, kekerasan digital terhadap perempuan adalah bentuk kekerasan gender yang serius, bukan cuma iseng-iseng memainkan jari. Kita sedang hidup di era di mana wajah seseorang bisa diperkosa, lalu pelakunya bilang bahwa itu toh cuma editan.
Kita sedang hidup di zaman ketika klik di mouse bisa lebih berbahaya daripada todongan pisau. Tapi hukum kita masih belum tahu harus menyebutnya apa. Apakah ini pelecehan, penurunan martabat, pelanggaran ITE atau “hanya” pelanggaran privasi? Saat hukum masih gagap, kita sebagai masyarakat, mestinya tak boleh ikut gagap.
Apakah Kita Gagal Mendidik Generasi Digital?
Di sinilah kegagalan literasi kita. Bukan model digital ala-ala yang diajarkan lewat poster Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bilang “hati-hati klik tautan mencurigakan.” Tapi literasi etika, literasi moral, literasi menjadi manusia. Kita bisa saja sibuk mengajari anak coding, tapi terlewat lupa mengajari mereka empati. Rajin membuat workshop AI di kampus, tapi di dalamnya jarang sekali fokus membicarakan batas etis dan tanggung jawab moral dari penggunaan AI itu sendiri.
Sekolah dan kampus sepertinya harus segera siap membentuk warga digital yang bermartabat. Bisa mulai membuat Standard Operating Procedure (SOP )yang jelas saat kekerasan digital terjadi. Segera dibentuk unit tanggap darurat untuk korban. Dan semua itu harus diawali dengan menganggap ini sebagai masalah serius. Sebab dalam kekerasan digital semacam ini korban bisa trauma, malu, bisa depresi, bisa bunuh diri. Kalau itu belum cukup untuk kita marah, berarti kita memang sudah rusak sebagai masyarakat Indonesia yang konon sarat dengan nilai-nilai luhur.
Kasus ini membuka mata kita bahwa sepertinya kita butuh hukum yang bisa mengejar kecepatan kejahatan digital, tapi tetap berprinsip bahwa hukum tak boleh lebih biadab dari pelaku. Tak perlu dibakar hidup-hidup si pelakunya atau dihajar sampai patah tulang. Tapi pelaku tetap harus dihukum secara tegas dan jelas dengan proses hukum yang adil.
Sanksi sosial juga penting, tapi sistem hukum dan sistem pendidikan memiliki posisi krusial dalam jangka panjang. Mestinya literasi digital etis harus jadi pelajaran wajib. Bukan sekadar tahu cara pakai Google Drive, tapi juga tahu bahwa tubuh digital punya hak yang sama dengan tubuh fisik. Setiap klik harus ditimbang dengan empati dan setiap unggahan harus disertai tanggung jawab.
Meski demikian, usaha-usaha diatas hanya akan menjadi bentuk usaha normatif dan bisa keteteran, jika pendidikan moral dan kesadaran etika berteknologi tidak ditanamkan pada masyarakat luas. Seperti dikatakan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya “Homo Deus” (2015), dia mengingatkan bahwa perkembangan teknologi yang sangat cepat memerlukan kesadaran etis untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat merugikan kebebasan dan hak asasi manusia.
Rapuhnya Batasan Moral Dunia Digital
Deepfake tidak bisa semata-mata lalu kita tuduh sebagai alat perusak, justru manusia yang menyalahgunakannya yang harus diurus dengan benar. Kasus mahasiswa di atas, yang memanipulasi foto rekannya menjadi konten pornografi palsu adalah contoh nyata bagaimana teknologi bisa disalahgunakan.
Akibat yang ditimbulkannya telah merusak dan menghancurkan kehidupan orang lain. Tindakan seperti ini menunjukkan betapa rapuhnya batasan moral kita di dunia digital, di mana hanya dengan beberapa klik, seseorang bisa menghancurkan reputasi, karier, dan harga diri orang lain.
Perlu ada langkah-langkah mencegah teknologi digunakan untuk mengeksploitasi dan menyakiti orang lain, dan mulai membangun kesadaran bersama tentang pentingnya etika digital yang tangguh. Teknologi yang canggih mau tak mau menuntut masyarakat untuk tidak hanya cerdas secara digital, tapi juga dewasa secara moral. Cukup satu klik, satu proses kerja chip bisa menghancurkan semuanya. Ke depan, tentu perlu sekali usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya kekerasan digital, dan pentingnya membangun etika teknologi sejak dini. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI