“Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
– Ki Hadjar Dewantara
Para pembaca yang budiman, kutipan di atas saya ambil, kali ini saya ingin mengenang kembali Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Setiap tahun pada 2 Mei, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional. Kita lihat sekolah-sekolah menyanyikan lagu wajib, para guru berseragam Korpri, dan para pejabat pendidikan berlomba, menyampaikan pidato normatif tentang pentingnya belajar. Tapi mari kita bertanya dengan jujur, apa sih, yang sebenarnya sedang kita rayakan?
Apakah kita sedang merayakan pendidikan yang mana akan membebaskan manusia dari kebodohan dan ketidakadilan? Ataukah kita sedang mengulang seremoni rutin, yang sebenarnya buat menutupi kenyataan pahit. Kenyataan pahit bahwa pendidikan Indonesia sedang tersesat jauh dari cita-cita para pendirinya? Kenyataan pahit bahwa ke depan anak bangsa ini tidak akan mampu mencapai ”keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”, karena pendidikan kita menuntun ke arah lain? Tersesat?
Indeks Manusia Kita Masih Tertinggal
Tentu keresahan di atas bukannya tanpa dasar. Nanti diomong pula saya, siapa yang tersesat? Kau yang tesesat! Repot ini nanti. Jadi, menurut laporan UNDP tahun 2023, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 116 dari 191 negara, dengan skor 0.706. Itu artinya kita masih masuk dalam kategori “tinggi tapi rendah di kelasnya.” Itulah kenapa cukup banyak SDM manusia Indonesia yang mampu bercita-cita untuk #KaburAjaDulu. Meninggalkan saudara-saudaranya yang tersisa, yang mlempem kualitas pendidikannya. Kita sudah bebas sejak 1945, tapi kenapa kualitas hidup rakyat kita masih kalah dari banyak negara yang dulu bahkan belajar dari kita?
Kita terlalu lama menjadikan pendidikan hanya sebagai syarat administratif, untuk naik kelas, cari sekolah yang lebih tinggi, dapat gelar, lalu lamar kerja. Padahal bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan bukan soal nilai atau ijazah, tapi soal memanusiakan manusia dan membangun bangsa secara sadar.
Saya pikir, sistem pendidikan yang kita miliki hari ini lebih mirip dengan pabrik, bukan taman belajar. Anak-anak dijejali materi, diuji, diperingkat, lalu dibentuk agar “berguna” bagi sistem. Tapi perlu saya ingatkan, sistem macam apa yang kita layani jika manusianya justru kehilangan arah dan kesadaran?
Mimpi yang Pernah Dimulai: Politik Etis dan Anak-Anak Bumi Putera
Sesungguhnya sejarah memberi kita ironi, bahwa pendidikan modern di Indonesia justru berkembang dari tekanan penjajahan. Lewat politik etis, pemerintah kolonial memberi peluang kecil bagi anak-anak bumiputera untuk bersekolah. Dari celah itulah lahir generasi pejuang; sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan beberapa lagi.
Mereka adalah hasil dari pendidikan yang membangkitkan kesadaran, bukan sekadar melatih kepatuhan. Mereka membaca buku-buku dunia, berdialektika, mempertanyakan status quo, dan sampai melahirkan mimpi tentang kemerdekaan bangsanya. Pada masa Politik Etis, salah satu organisasi pelajar yang terkenal di Belanda adalah Perhimpunan Indonesia, dulu dikenal sebagai Indische Vereeniging, yang berdiri tahun 1908. Selain untuk mempererat persaudaraan, tujuan yang berikutnya adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan meningkatkan kesadaran nasionalisme di kalangan pelajar. Terbayang betapa hebatnya pendidikan, bisa mencerahkan manusia yang terjajah saat itu. Di situ kita lihat bahwa pendidikan bukan sekadar jalan menuju karir, tapi jalan menuju kebebasan dan perlawanan.
Bagaimana dengan zaman kita sekarang? Sekolah sering kali membunuh daya pikir kritis. Anak-anak diajarkan bahwa jawaban sudah tersedia, tinggal dicocokkan dengan kunci. Mereka dilatih menjawab soal, bukan mempertanyakan dunia. Bolehlah kita merenung di hari Pendidikan Nasional ini, apa jadinya suatu bangsa yang generasi mudanya dibentuk untuk patuh tanpa daya pikir?
Sistem Pendidikan Melayani Kekuasaan, Bukan Kesadaran
Birokrasi pendidikan kita lebih sibuk mengurusi laporan, angka, dan proyek. Kurikulum pun berganti mengikuti pergantian menteri, bukan hasil riset atau evaluasi jujur. Makanya menteri baru sekarang ini agak malu ganti kurukulum, tapi ganti pendekatan aja. Deep learning katanya. Meski inovasi lebih sering lahir dari bawah, misal dari guru-guru kreatif di desa, komunitas literasi independen, atau platform digital, justru bukan dari lembaga-lembaga resmi yang punya anggaran besar.
Di sisi lain, politik mencengkeram pendidikan dalam–dalam. Guru dijadikan alat kampanye. Sekolah di berbagai level diarahkan untuk melayani pasar, bukan membentuk warga negara yang kritis. Pendidikan dirampas dari tangan masyarakat dan dikendalikan dari atas.
Dan di tengah carut marut itu semua, anak-anak kita menjadi korban. Pelan tapi pasti, mereka tidak sedang dibentuk menjadi manusia merdeka, tapi manusia mekanis. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, pernah mengatakan bahwa kualitas pendidikan yang ada sekarang ini masih melahirkan generasi dengan mentalitas terjajah (Media Indonesia, 2023). Ubaid menilai selama ini, sekolah di Indonesia masih banyak melahirkan mentalitas kaum terjajah, dan menjadi budak-budak korporasi yang sama sekali tidak punya jiwa merdeka. Gawat ini.
Sebenarnya memang kita bisa belajar banyak dari bangsa lain, misal dari Korea Selatan. Negara itu luluh lantak pasca perang, lebih miskin dari Indonesia tahun 1960-an. Tapi mereka punya satu keyakinan nasional, pendidikan adalah jalan keluar. Persis keyakinan dari Ki Hajar Dewantara dan founding fathers kita yang lain.
Korea Selatan, berinvestasi besar-besaran di pendidikan. Tidak sekadar membangun sekolah secara fisik, tapi terlebih menanamkan etos bahwa belajar itu perjuangan sosial. Mereka menciptakan meritokrasi yang menghargai usaha, bukan asal-usul. Jadi tidak bisa kalau asal anak pejabat, lalu jadi walikota, atau ketua partai, malah apalagi, ujug-ujug wakil presiden. Anda bayangkan jika itu ada, pasti menggelikan, kan?
Nah, kini, Korea menjadi negara dengan ekonomi kuat, teknologi maju, dan kualitas manusia yang tinggi. Tapi kita juga harus belajar juga dari sisi gelap mereka, bahwa sistem pendidikan yang terlalu menekan bisa menciptakan generasi stres dan kompetitif tanpa empati. Maka, yang perlu kita tiru bukan bentuk luarnya, apa yang nampak saja, tapi mentalitas bangsanya terhadap pendidikan.
Revolusi Pendidikan: Gerakan Budaya dan Kebangsaan
Sudah waktunya kita berhenti menambal sistem pendidikan kita dengan kebijakan teknis. Yang kita butuhkan adalah revolusi mental di pendidikan. Bukan jargonnya yang direvolusi besar-besaran, tapi suatu perubahan mendasar tentang, untuk apa kita mendidik.
Pendidikan harus kembali menjadi jalan untuk membebaskan manusia, bukan memproduksi tenaga kerja patuh. Kalau jalannya tidak menuju ke arah itu, jelas pendidikan kita tersesat. Bukan berarti pendidikan kita sesat, tapi jalannya tidak sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Pendidikan di Indonesia mestinya kembali pada cita-cita Ki Hadjar Dewantara, membebaskan, bukan mengekang. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi pemikir dan pembaharu yang berperan dalam menciptakan ekosistem belajar yang kritis dan inovatif. Siswa perlu ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan berproses agar pendidikan tidak sekadar menjadi ajang persiapan ujian, melainkan pengalaman intelektual yang membentuk karakter dan kemampuan berpikir.
Selain itu, sekolah harus terhubung dan relevan dengan realitas sosial dan dunia, bukan cuma berorientasi pada kurikulum yang kaku. Lebih dari itu, penting sekali bahwa pendidikan harus dipandang sebagai suatu gerakan budaya dan kebangsaan. Jadi bukan sekadar program pemerintah karena ada kementeriannya. Dengan demikian, pendidikan kita akan mampu membangun generasi yang berdaya dan berkontribusi bagi masa depan bangsa.
Pendidikan Harus Mengusik
Jika pendidikan tidak mengusik kenyamanan kita dalam menerima ketidakadilan, maka itu bukan pendidikan, itu pelatihan. Pelatihan nyaman menerima ketidakadilan berijazah namanya. Jika sekolah hanya mencetak banyak manusia yang bisa lulus ujian tapi tidak tahu ada masalah di sekitarnya, maka itu bukan pendidikan, itu produksi massal. Dan jika pada setiap 2 Mei kita hanya merayakan seremoni tanpa bertanya, “pendidikan kita sedang ke mana?”, maka kita sedang ikut melestarikan kesesatan itu sendiri.
Mari jadikan Hari Pendidikan Nasional ini bukan peringatan kosong dan rutinitas belaka, tapi momentum untuk memikirkan adanya perubahan yang mendasar. Karena bangsa yang merdeka, hanya mungkin dibangun oleh manusia-manusia yang merdeka pikirannya. Para pembaca yang budiman, Selamat Hari Pendidikan Indonesia. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI