SETIAP akhir bulan April dan awal bulan Mei (tahun 2000 – 2024) bagi warga etnis Baduy memiliki agenda khusus yang relatif tetap dan istimewa. Di jeda minggu tersebut Komunitas Adat Baduy akan selalu melaksanakan kewajiban atau “rukun adat” bernama Seba sebagai bukti konkret penerapan dari salah satu 9 tugas pokok kesukuan Baduy pada point “ Ngasuh Ratu Nyayak Menak “. Karena berakhirnya bulan Kawalu Tutug pada akhir bulan April, maka tahun 2025 pun acara ritual Seba akan dilaksanakan pada minggu pertama yaitu tanggal tanggal 1-4 Mei 2025.
Seba sebagai salah satu rangkaian ritual kegiatan keagamaan yang benar-benar diagungkan (dipusti-pusti) setelah mereka melaksanakan tiga bulan berpuasa ( Kawalu ) dibulan Kasa, Karo dan Katiga penanggalan kalender adat mereka yang diakhiri Kegiatan Ritual Ngalaksa,sebagai kegiatan penutup tahun adalah hal sakral yang super wajib untuk dilaksanakan oleh mereka, karena isinya adalah menyampaikan amanat-amanat secara langsung ke “Ratu” dan pemerintahan khusunya yang menjadi tanggungjawab adat, keluhan adat.
Hal lainnya adalah menegaskan dan memberi nasihat mana yang harus dipertegas, mana yang harus dibereskan, dan mana yang harus dilaksanakan oleh pemimpin atau pemerintah agar keseimbangan alam dan lingkungan ini tetap terjaga, aman, tenteram, dan damai; karena manusia itu biasanya dan pintarnya merusak alam yang ujungnya menimbulkan bencana alam.
Berbagai ulasan, tanggapan serta penjelasan atau narasi tentang ‘Seba Baduy’ pun akhirnya menjadi trendi dan sangat beragam baik yang disajikan di media cetak maupun media elektronik (internet). Hal itu menunjukan bahwa acara ‘Seba Baduy’ adalah suatu acara adat yang penting dan memungkinkan menjadi primadona pilihan berita yang cukup diminati oleh kalangan masyarakat baik para jurnalis,pemerhati komunitas adat, budayawan dan atau para peneliti komunitas adat.
Apalagi Seba ini sudah resmi dinyatakan sebagai aset unggulan budaya lokal dan menjadi Program Unggulan Destinasi Pariwisata. Bahkan di tahun 2023 dan 2024 sudah masuk bagian dari kerangka Event Budaya Nusantara Indonesia, sehingga manjadi alat pemantik atau penarik kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Sebagaimana dijelaskan oleh Kadis Pariwisata Kabupaten Lebak, bahwa 30.000 wisatawan diharapkan berkunjung ke Lebak sampai pada acara puncak Seba tahun 2023 yang digelar dari hari Jumat, Sabtu dan Minggu tanggal 28 – 30 April 2023 bertepatan dengan tanggal 7-9 bulan Safar penanggalan kalender adat mereka, juga bersamaan (tanggal reujeung) 7, 8, 9 Syawal 1444 Hijriah. Dan Seba tahun 2024 mampu menghadirkan 40.000 lebih wisatawan dari wilayah Jabodetabek.
***
Keragaman tanggapan dan ulasan serta narasi ‘Seba Baduy’ adalah merupakan pencerahan sekaligus penambahan dan pembuka wawasan bagi publik yang interes pada acara ritual tersebut. Saya sebagai bagian dari orang yang selalu setia mendampingi, mangawal, dan membantu pelaksanaan Seba dari tahun 2000 – 2023 merasa berkepentingan juga untuk ikut berkontribusi mencerahkan publik perihal seputar dan sekitar ‘Seba Baduy’ dalam rangka memperlengkapi informasi kekinian Seba agar terhindar dari ketimpangan, kerancuan dan pembiasan berita dari aslinya. Juga demi menghapus narasi atau pandangan yang kurang sedap tentang Seba yang masih sering diartikan sebagai suatu Penyerahan Upeti atau Pertanda Tunduknya suku Baduy pada pemerintah. Padahal Seba bukan itu, karena Seba memang bukan ritual seperti itu.
Dalam konteks Seba sebagai suatu kewajiban adat yang harus tetap dilaksanakan, maka setiap tahun di awal bulan Safar sebagai awal tahun kalender adat mereka pasti melaksanakannya. Terlepas apakah acara Seba itu meriah atau sepi (baca : banyak dan sedikitnya peserta Seba atau sederhana dan meriahnya sambutan balik Pemda). Diterima atau diabaikan pemimpin atau pemerintah, maka Seba akan tetap dilaksanakan walau hanya disaksikan sebatang kayu (Tunggul jeung dahan sapapan nu nyaksian) dan Seba hanya akan berakhir ketika suku Baduy sudah tiada atau punah.
Tetapi dalam konteks konten Seba, sejarah membuktikan terjadi perubahan atau pergeseran disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat Seba itu dilaksanakan. Sejarah juga membuktikan bahwa Seba di Baduy selalu berubah dan berganti selang sekitar tiap dua tahun sekali ada “Seba Alit atau Leutik” dan “Seba Ageung atau Gede “.
Setiap Seba juga terjadi perubahan tema atau misi atau usulan yang diemban pihak adat, dan itu tergantung situasi kenegaraan dan juga kebutuhan adat pada saat itu. Dari sisi pelayanan pemerintah pun setiap tahun selalu ada pergeseran dan perubahan men-service pesereta Seba (proses modifikasi ) itu juga dilihat dari kuantitas peserta dan interes sang pemimpin serta situasi kondisi politik saat itu. ‘Seba Baduy’ selalu mengikuti zaman (ngindung ka waktu ngabapak ka zaman) dan interesnya pemimpin yang saat itu menjabat.
‘Seba Baduy’ tidak pernah menawarkan dan meminta bentuk pelayanan khusus dari pemerintah dan tidak pernah protes apa pun tentang bentuk pelayanan atau respons pemerintah. Mereka selalu legowo, nerimo dan tepo seliro bagaimana pemerintah mendudukan dan atau memposisikan Seba, karena bagi mereka hal terpenting mereka bisa melaksanakan ritual Seba sebagai Rukun Adat.
Tentang adanya rekayasa acara tambahan di luar Seba sebelum dan atau sesudah Seba yang dianggap dapat menyemarakan dan mem-booming-kan Seba, mereka sepenuhnya menyerahkan pada sang penerima Seba. Seba yang pokok bagi mereka bahwa membacakan mantra Seba dan menyerahkan Laksa sebagai inti acara Seba tidak diubah. Itulah maka situasi dan kondisi yang saya narasikan di atas adalah menunjukan bahwa : “ Seba Baduy selalu mengalami dinamisasi dan pergeseran” (Asep Kurnia, 2025 ).
Benarkah bahwa terjadi dinamisasi dan pergeseran “Seba Baduy” atau tetap monoton? Bagi pemerhati Seba yang selalu setia tentunya bisa menjawab secara gamblang bahwa pergeseran dan perubahan pelaksanaan Seba itu selalu terjadi. Paling tidak kita bisa membaca dari tema atau misi yang diusung pada saat Seba, kemudian dari jumlah peserta, dan tak kalah penting dilihat dari ragam bawaan hasil bumi mereka; dari sajian agenda kegiatan Seba di setiap Pemda yang disinggahi Seba dan dari tingkat hingar-bingar atau kemeriahan para pengunjung yang ikut menghadiri ritual Seba.
Perubahan drastis jumlah peserta dan pelaksanaan Seba pada saat Covid-19, misalnya dari jumlah peserta 1500 orang lebih di tahun sebelumnya menjadi 30 orang, dan tidak ramai. Itu bukti otentik bahwa pelaksanaan Seba memang sangat dinamis atau dalam bahasa saya, Seba itu selalu mengalami elastisitas atau fleksibiltas dalam pelaksanaanya, tergantung sikon dan tuntutan juga tuntunan. Bahkan untuk ajang menaikan popularitas dan elektabilitas pemimpin dan calon pemimpin Seba pun bisa dijadikan tumpangsari bila kita mau.
***
Azas peluang terbuka dari Seba sudah nampak dibuka, tinggal tergantung tingkat interes dan kemahiran pemangku jabatan dalam menegosiasi atau melobi dan memusyawarahkan dengan pemangku adat serta tergantung bagaimana cara mengemas acaranya. Bahasa singkat saya, diramaikan okeh and tidak diramaikan juga okeh saja.
Jika membaca pernyataan dari Kadis Pariwisata Lebak di berbagai medsos yang mengestimasikan bahwa Seba 2023 akan dihadiri oleh sekitar 1500 peserta atau 10 kali lipat dari Seba 2022 dengan kutipan sebagai berikut :
“Perayaan Seba Baduy tahun ini akan dihadiri para duta besar negara sahabat agar banyak wisatawan mancanegara,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebak Imam Rismahayadin dalam keterangan tertulis di Lebak, liputan 6 ,Selasa (25/2/2023). Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lebak, Imam Rismahayadin mengatakan, sekitar 1.250 warga Baduy akan jadi peserta seba untuk bertemu pemerintah. “Info terkahir dari desa (Kanekes) 1.250 orang,” kata Imam kepada Kompas.com melalui pesan WhatsApp, Rabu (26/4/2023). Dalam gelaran empat hari tersebut banyak acara menarik yang digelar mulai dari gelar produk UMKM, lomba dan permainan tradisional, pameran foto, wayang golek dan pertunjukankesenian
Maka pernyataan dikutipan tersebut adalah bukti terkini bahwa kekinian Seba itu selalu mengalami dinamisasi. Apakah di Pemda Pandeglang, Serang dan Pemda tingkat provinsi akan melakukan hal yang serupa dengan Pemda Lebak, yach kita sebagai penonton mah tinggal wait and see saja ?
Sebagai penguat argumentasi, saya tulis ulang kutipan Pak Jaro Saija di Tempo.Co 26/04/2023 tentang tema Seba 2023 yang menyatakan :
“Dengan Seba Baduy itu tentu dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa juga nilai -nilai toleransi,di mana bangsa ini memiliki keberagaman suku, budaya, sosial dan agama,” .
Jadi, pergeseran dan perubahan content (ruh), tujuan serta fungsi ritual “Sba Baduy” dari tahun ke tahun tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Kini Seba tidak hanya sebatas membacakan rajah mantra dan menyerahkan Laksa, tetapi sudah digunakan sebagai ajang penyampaian informasi, aspirasi, harapan serta kebutuhan warga Baduy karena di sesi akhir disediakan ruang tanya jawab untuk kedua belah pihak. Seba telah mulai bergeser pula menjadi acara dan arena dialog, curhat, bahkan sesekali menjadi ajang kritikan, terlebih setelah etnis Baduy secara resmi dinyatakan sebagai Aset Unggulan Budaya Lokal dan masuk dalam program unggulan Destinasi Pariwisata Pemda Kabupaten Lebak. (Asep Kurnia, 2025).
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa inti dari Seba adalah melaksanakan tugas dan kewajiban “ngasuh ratu ngajayak menak” bukan “memilih ratu dan menak, namun di kekinian makna atau nilai Seba lebih diperhalus dengan peminjaman kata “ silaturahmi tahunan “ antara wiwitan dengan negara. Karena pelaksanaan semakin ramai dan peserta Seba dari tahun ke tahun makin bertambah banyak (membludak) dan nyaris selalu berada di angka 1500 peserta lebih.
Efek dari pergeseran konten Seba dari hanya sekadar ritual yang kemudian secara resmi dinyatakan sebagai Event Budaya Nasional telah dengan nyata mempengaruhi geliat perekonomian masyarakat Baduy secara khusus dan masyarakat Lebak secara umum pun pesat meningkat. Jumlah peserta yang selalu membludak tentunya memerlukan penanganan transportasi dan persiapan logistik yang tidak sederhana dan sedikit, penerimaan pun tidak bisa dilaksanakan secara sederhana dan semua itu memerlukan anggaran dan biaya yang tidak sedikit. Apalagi sekarang “Seba Baduy” itu sudah dijadikan jargon destinasi wisata, bahkan sudah dinobatkan sebagai aset sekaligus omset budaya unggulan.
Kini keramaian “Seba Baduy” sudah tidak bisa lagi dihindari dan selalu dinanti-nanti oleh publik, akhirnya sadar tidak sadar panitia terdorong untuk selalu mendesain acara “Seba Baduy” dengan kemasan yang lebih up to date. Kini ritual “Seba Baduy” oleh publik mulai diasumsikan atau dianggap sebagai “ Lebarannya Warga atau Suku Baduy”. [T]
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA