“Publish or perish”. Publikasikan atau binasa.Ungkapan ini mungkin sering kita dengar, terutama di kalangan akademisi atau para penulis. Namun, di era digital yang serba cepat dan dipenuhi dengan konten dalam bentuk visual, apakah prinsip ini masih relevan?
Jika dulu publikasi atau menulis menjadi penanda penting untuk eksistensi, apakah saat ini kita sedang menyaksikan kematian perlahan dari tradisi menulis? Dan yang lebih menarik lagi, jika teknologi seperti AI kini dapat menghasilkan tulisan dalam hitungan detik, apakah masih ada ruang bagi kemampuan menulis kita sebagai manusia?
Menulis Sebagai Alat Refleksi Manusia
Pada mulanya menulis bukan sekadar menghasilkan teks. Menulis adalah proses berpikir, proses yang memungkinkan kita mengolah ide dan merefleksikan diri. Socrates pernah mengatakan, “Tulisan adalah bentuk peringatan agar kita tidak melupakan apa yang telah dipikirkan.” Ini menunjukkan bahwa menulis lebih dari sekadar ekspresi verbal, namun lebih lagi ini adalah sarana untuk menjaga kesinambungan pemikiran kita.
Jika AI memang bisa menulis, dan bagus pula, namun sejatinya mesin cerdas tetap tidak dapat mengalami kegelisahan atau pencarian makna yang membentuk tulisan sejati. Hal ini memang terdengar seperti mengenang romantisme kajayaan tulis menulis.
Bagaimana pun, penulis percaya, di tengah dominasi visual di era digital ini, kemampuan menulis masih memiliki tempat penting. Meski tak dapat dipungkiri lagi bahwa generasi muda lebih tertarik pada video singkat dan format visual, menulis akan mengajarkan kita untuk berpikir kritis dan menyusun argumen secara sistematis.
Neil Postman, dalam bukunya Amusing Ourselves to Death (1985), mengingatkan kita tentang pentingnya media yang memungkinkan orang untuk berpikir dalam konteks yang lebih mendalam, bukan hanya mengkonsumsi informasi yang disajikan secara instan. Seperti kata Postman, kegiatan menulis sebagai bentuk komunikasi yang terstruktur, tetap relevan karena memberikan waktu dan ruang untuk pemikiran mendalam, sesuatu yang mungkin tidak selalu bisa dicapai dalam konsumsi media visual yang serba cepat.
Peluang atau Ancaman?
Jika kita mencoba untuk optimis, kemunculan AI dalam dunia menulis membawa tantangan dan sekaligus peluang. Marshall McLuhan, seorang filsuf komunikasi, pernah berkata, “The medium is the message.” Maksudnya adalah bahwa alat atau teknologi yang kita gunakan untuk berkomunikasi memiliki dampak besar pada cara kita berpikir. Meski teori ini dipandang kurang lengkap namun masih inspiratif di era sekarang. Dalam hal ini, kecerdasan buatan memang bisa menjadi alat untuk mempercepat proses menulis dan mempermudah pembuatan teks, tetapi itu bukanlah pengganti bagi keterampilan berpikir yang mendalam.
AI, seperti ChatGPT misalnya, memang dapat menghasilkan teks yang tampaknya “manusiawi”, namun ia tidak memiliki pengalaman atau kesadaran yang melekat pada setiap kata yang ditulis. AI bekerja berdasarkan pola dan data yang ada, sementara menulis sejati melibatkan emosi, pemikiran reflektif, dan pengalaman hidup yang unik. Ini adalah perbedaan mendalam yang membedakan karya manusia dengan karya mesin.
Albert Einstein menyatakan, “Imagination is more important than knowledge,” yang mengingatkan kita bahwa kreativitas, bukan hanya pengetahuan, adalah elemen penting dalam menciptakan karya yang bermakna. AI bisa menulis, tetapi ia tidak bisa menciptakan dunia baru dari imajinasi, berdasarkan fakta, data, dan pengetahuan yang ada.
Generasi Muda dan Keterampilan Menulis
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, generasi muda kini rasa-rasanya berada di persimpangan antara dunia. Satu sisi yang semakin digital dan di sisi lain dunia yang masih memegang teguh keterampilan menulis sebagai bagian dari identitas intelektual. Ketergantungan pada teknologi dan AI dapat memudarkan kemampuan berpikir mendalam dan menulis reflektif, tentu saja.
Seperti yang dikatakan Nicholas Carr dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010). Carr berargumen bahwa, “What the Net seems to be doing is chipping away my capacity for concentration and contemplation.” Ia menjelaskan bahwa paparan terus-menerus terhadap media digital, terutama yang cepat dan dangkal, mengurangi kemampuan otak untuk fokus dan berpikir mendalam.
Bagi generasi muda, menulis bukan hanya keterampilan praktis, tetapi juga sebuah sarana untuk mengasah pikiran dan menganalisis dunia sekitarnya. Jika kita membiarkan teknologi mengisi ruang ini tanpa adanya ketrampilan menulis yang mendalam, kita berisiko kehilangan kemampuan untuk berpikir secara merdeka. Di era AI dan banjir informasi, kemampuan berpikir merdeka menjadi sangat penting. Mengapa demikian, karena tidak semua informasi yang melimpah itu benar atau relevan untuk kita.
Algoritma dan kecerdasan buatan sering menyajikan konten berdasarkan preferensi kita, bukan kebenaran objektif, sehingga berisiko memperkuat bias. Tanpa analisis yang mandiri, kita mudah terjebak dalam arus opini, hoaks, dan ketergantungan pada sistem otomatis. Pemikiran independen akan memungkinkan kita menyaring untuk informasi, mengambil keputusan bijak, dan tetap bertanggung jawab atas pilihan kita. Sebuah sikap yang krusial di tengah kompleksitas zaman.
Tantangan dan Keberanian untuk Bertahan
AI bukanlah musuh. Dalam dunia penulisan Ai adalah alat yang bisa memperkaya khasanah kita. Dengan memanfaatkan teknologi ini, kita bisa mengatasi hambatan teknis seperti grammar dan struktur yang kurang sempurna, namun manusia jugalah yang harus tetap mengendalikan proses kreatif. Meski ada konsekuensinya, seperti yang dikatakan Marshall McLuhan, “We shape our tools, and thereafter our tools shape us.” Kita sebagai pengguna teknologi, tetaplah harus memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas tulisan dan bukan untuk menggantikannya.
Menulis, terutama di era digital ini, harus dilihat sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap dunia yang semakin cepat dan penuh dengan kebisingan. Menulis memungkinkan kita untuk melambat dan merenung, untuk mengingatkan kita pada esensi kemanusiaan kita yang tidak terikat oleh algoritma atau pola mesin. Ini adalah cara kita untuk bertahan dalam dunia yang terus berubah.
Setidaknya kita bisa tetap memegang kontrol seperti kata Viktor Frankl, dalam Man’s Search for Meaning (1946). Dia menulis, “When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves.” Setidaknya dengan menulis, kita bisa mengubah cara kita mengalami dunia dan, pada gilirannya, mengubah dunia itu sendiri.
Menulis dalam Perspektif Manusia dan Komputer
Menulis di era AI adalah tantangan besar yang harus diterima. Kemampuan menulis tetap relevan dan penting, bahkan di dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan. AI dapat mempercepat proses dan mengatasi masalah teknis, tetapi kreativitas, pemikiran mendalam, dan refleksi manusia tetap tidak dapat digantikan.
Menulis adalah, bagian dari identitas kita sebagai manusia, sebuah ruang untuk berpikir kritis, menggali ide pun imajinasi, dan membentuk dunia kita. Jadi, para pambaca yang budiman, dalam menghadapi perkembangan ini, tak pelak lagi kita harus tetap menjaga keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan, antara analisa cepat komputer dan kedalaman pikiran kita. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI