MENJELANG Hari Raya Galungan, ada satu hari yang jatuh pada Senin Pon wuku Dungulan, disebut sebagai Panyajan. Secara harfiah, Panyajan dari kata jaja dapat dimaknai sebagai hari membuat jajan, aneka kudapan tradisional yang akan dijadikan persembahan.
Namun di balik makna harfiah itu, tersembunyi lapisan makna kias ketika panyajahan dimaknai dengan bersumber dari kata saja, yang berarti ‘sungguh-sungguh’.
Maka, Panyajan bukan sekadar momentum membuat jajan, melainkan ajakan untuk menseriuskan diri, niat dan batin sebagai bentuk persiapan rohani menuju puncak Galungan. Hari ini menjadi semacam penanda yang mengingatkan bahwa menyambut kemenangan dharma tak cukup dengan tangan yang sibuk, tetapi juga hati yang sungguh-sungguh serius dan reflektif.
***
Ketika saya masih kecil, setiap kali hari Panyajan mendekat, nenek akan menyuruh saya menumbuk ketan. Ketan putih yang harum itu akan menjadi bahan dasar jaja uli, salah satu jenis jajan bali yang paling sering hadir dalam sesajen. Prosesnya tidak sebentar: mengukus, menumbuk, membentuk, sampai mungkin membungkus.
Proses ini menumbuhkan sebuah refleksi bahwa sebuah jaja bukan sekadar kudapan. Jaja bisa jadi adalah doa yang dipadatkan menjadi bentuk dan rasa.
Kini, waktu telah berubah. Saya tidak lagi disuruh menumbuk ketan. Saya mengunjungi toko-toko kue modern, memilih kue modern dan jajanan pabrikan dalam plastik transparan. Lebih cepat, lebih bersih, lebih awet dan jujur saja akan lebih cepat habis dimakan ketika menjadi lungsuran, dibandingkan jaja uli, gina atau jaja satuh yang cenderung diabaikan, bahkan dianggap jadul.
Dikotomi antara jaja bali atau jajan pasar dengan jajan toko bukanlah fenomena baru. Ruang-ruang upacara hari ini sering memperlihatkan hal tersebut. Banten yang didominasi snack dan kue modern bermerk seharga puluhan ribu dalam plastik, tetap menyelipkan sebungkus jaja uli begina seharga 500-2000 rupiah sebagai penanda tradisi. Kehadiran satu bungkusan kecil itu dianggap sudah cukup untuk melambangkan seluruh warisan kuliner-spiritual dari masa lampau.
Belakangan, jaja bali pun sudah berinovasi dari segi rasa hingga tampilan agar lebih menarik. Sayangnya, ada pula produksi jaja bali yang “sekadar” jaja sebagai simbol tanpa bisa dikonsumsi. Siapa yang mau makan jaja gina dengan warna merah ngejréng yang orang awam akan berpraduga bila jajan ini diwarnai dengan kesumba?
Fenomena ini tidak semata soal praktis atau tidak, melainkan menyimpan refleksi tentang selera dan nilai yang berubah. Sebagian orang beranggapan jajan toko adalah representasi kebersihan, daya tahan, dan “status”.
Bagi sebagian lain, jaja bali adalah lambang keaslian, pakem, spiritualitas, dan keberlanjutan tradisi. Ketika banten menjadi arena percampuran keduanya, kita dihadapkan pada pertanyaan, apakah ini tanda akulturasi? Atau pelan-pelan akan menjadi penggantian?
Ketika Jajan yang Bicara
Kita memang tidak bisa memaksakan semua orang kembali ke dapur, menumbuk ketan atau membuat uli sendiri. Zaman bergerak cepat, waktu pun semakin mahal. Tetapi jelasnya bukan berarti kita harus rela kehilangan kepekaan atas makna simbolik jaja dalam banten. Jaja bali tidak hadir sekadar untuk disantap, melainkan sebagai representasi unsur alam dan kesatuan nilai.
Ketika membaca lontar berjudul Teges ing Sarwa Bebanten, saya menyimak bila jaja-jaja ini diberi interpretasinya tersendiri.
Saya kutipkan terjemahannya sebagai berikut. Jajan gina adalah simbol pengetahuan (guṇa?), satuh atau tempani adalah simbol perhitungan, wajik adalah simbol rasa dari sastra.
Dodol adalah simbol kesetiaan, jaja uli merah dan putih adalah simbol kebahagiaan yang cemerlang dan hubungan yang harmonis. Bantal adalah simbol ada dan tiada. Kira-kira itu adalah segelintir jajan tradisionalyang disebutkan dalam teks. Di luar itu, masih banyak lagi ragam jaja bali yang menemani setiap persembahan kita.
Ada baiknya, jajan-jajan seperti disebutkan dalam teks itu tidak dilupakan. Mereka penting untuk menjaga ingatan kolektif kita pada nilai tradisi dan sejarah. Lebih-lebih sejumlah sajen khusus mensyaratkan ada jaja bali yang mutlak hadir di dalamnya. Banten bendu piduka mewajibkan ada jaja bendu di dalamnya. Tak boleh diganti roti kasur. Roti kasur dalam kasus banten seperti ini berperan hanya sebagai pelengkap, bukan substitusi komponen pokok berupa jaja bendu. Demikian juga dalam upacara seperti usabha dodol. Jelaslah dodol adalah si pemeran utama.
Kembali menyimak penjelasan lontar tersebut, ini adalah pembenaran jika dalam banten rupanya jajan bukan sekadar makanan, bukan pula sekadar pengisi belaka. Ia adalah bahasa spiritual.
Ketika jaja uli mulai digantikan, bukan hanya rasa yang berubah, tetapi juga makna persembahan kita. Persembahan yang kita lakukan menjadi lebih efisien, namun pelan-pelan juga kehilangan sisi reflektifnya. Namun ini bukan soal menyalahkan perubahan. Sekarang kita mesti memahami tentang apa yang sedang bergeser. Tradisi tidak pernah benar-benar hilang dalam sekejap, tetapi sering menyusut menjadi simbol kecil, barulah pelan-pelan dilupakan.
Apakah salah menggunakan jajan toko dalam banten? Rasanya tidak. Tetapi menjadi reflektif atas pilihan itu sangat penting. Setiap jajan yang kita letakkan di atas dulang adalah pernyataan nilai. Mungkin saja kita dapat memberi makna baru atas jajan cheesecake? Misalnya dia mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang empuk dan tidak keras hati.
Lalu jajan sus adalah perwujudan diri yang tidak pamer isi, tetapi diam-diam menyimpan makna yang meleleh di lidah orang lain. Kemudian jajan tart adalah simbol yang mengingatkan kita bahwa hidup terdiri dari banyak lapisan dan terkadang penuh krim berlebihan.
Siapa tahu, dapat dimaknai begitu? Ini hanya pikiran random saya. Pikiran random saya lainnya adalah andaikata jajan-jajan ini sudah dikenal leluhur kita di masa lampau, saya yakin pasti ada teks lontar yang menguraikan pemaknaan jajan-jajan modern ini. Hal ini didasari sebuah keniscayaan jika lontar adalah kesaksian zaman. Lontar adalah pengawet memori masa lampau (bagi yang benar-benar berasal dari masa lampau).
Secara umum, kita kembalikan saja makna jajan sebagai: “Ini rasa syukur kami, Ya Tuhan!” Lalu pada akhirnya, bukan seberapa modern atau seberapa klasik jajan kita yang akan menilai kualitas banten itu, tetapi seberapa tulus dan sadar kita menatanya di dalam banten. Seperti itu kiranya jaja dapat bertransformasi makna menjadi saja.
***
Panyajan bukan semata hari membuat jajan, tetapi hari kita menumbuk dengan semangat, menabur cinta ke dalam adonan, mengolah kesejatian itu dengan sang diri sebagai tungkunya dan diam-diam bertanya pada diri sendiri, “Sudahkah kita sungguh-sungguh bersiap menjadi manusia yang layak bagi kemenangan dharma?”
Entah jaja uli dari olahan tangan keriput, atau brownies dalam plastik dari rak toko modern, keduanya akan selalu tergantung pada cara kita memaknainya. Terkadang, bukan bahan atau bentuknya yang paling penting, tetapi sejauh mana kita tulus menaruh rasa dan niat di dalamnya.
Setiap jajan di dalam banten adalah cermin kecil dari hati kita. Apakah hati itu masih sederhana, polos dan sabar seperti ketan yang ditumbuk? Atau sudah menjadi cepat, ringkas, bersaing dan prestisius seperti kue bermerk beken? Tak ada yang salah, selama kita masih bisa menunduk sebentar dan paham, “Untuk apa sebenarnya persembahan ini dibuat? Untuk siapa sebenarnya ia ditujukan?” [T]
Enjung Cengkir, 21-4-2025
Penulis: Abdi Jaya Prawira
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: