MENJEMPUT sebenarnya kegiatan yang tidak harus sampai ditulis di blog segala sich, memangnya menjemput pejabat tinggi atau tokoh terkemuka. Itu prasangka sosial saya mungkin sampai segitunya… Hehehe.
Yah, soalnya kegiatan jemput-menjemput itu sudah lumrah dan mudah kan? Apalagi di zaman sekarang begitu bertebaran komunitas jasa-jasa penjemput yang bisa digunakan mulai dari Gojek, travel, rental kendaraan, atau mobil sewaan pribadi demi untuk mempermudah layanan transportasi.
Tapi lain hal dengan menjemput pada tema tulisan ini, karena kisah menjemput yang akan saya tulis memiliki daya beda. Kegiatan menjemput yang ini hemat saya perlu untuk diabadikan dalam bentuk cerita pendek atau dalam bentuk foto anu hirup anu bisa leumpang jeung jalan-jalan, artinya foto yang hidup yang bisa jalan jalan… hehehe… (istilah lain kokolotan Baduy pada video) sebagai catatan dan dokumentasi sejarah.
Penjemputan kali ini penuh dengan perjuangan yang memompa detak jantung petugas kesehatan, termasuk sport jantung bagi sopir. Pokoknya ada perbedaan yang sangat mencolok yang lain dari para yang lain.
Jam 04.30 WIB sesaat setelah sholat subuh, saya sudah diberi informasi oleh my wife (mantan pacar) untuk pergi ke kampung Hantap Kecamatan Leuwidamar menjemput anak usia satu tahun, pasien bibir sumbing bernama Anih, anaknya kakak Aldi, warga kampung Serokokod, Baduy.
Instruksi tegasnya: “Pak, persiapkan kendaraannya yah, jam 9 kita berangkatnya!” Itu yang terekam di telinga penulis. Yah, apa boleh buat tugas kemanusiaan telah menantikanku, itu gumamku.
Kurang lebih jam 08.00 WIB bidan Eros Rosita sudah ready di depan rumah menunggu bang sopir pribadinya (baca: saya) yang sedikit agak-agak lelet, maklum lagi puasa… Hehehe.
Tidak banyak debat dan cakap lagi kami langsung meluncur menuju kampung yang dituju tempat Aldi dan Anih tinggal. Sekira 20 kilometer kami menuntaskan perjalanan di jalan raya yang berhotmik sehingga tak bermasalah, bahkan kami nyaman dan bahagia saja sambil menikmati indahnya alam.
Sampailah di pertigaan yang dijanjikan bahwa kami akan dijemput dan dipandu untuk menuju Saung Huma mereka yang menurut pengakuan Aldi di sekitar kampung Hantap. Ayah Jali nama penjemputnya.
Kami cukup sumringah, karena sebentar lagi sampai pada tujuan. Bidan Rika patner setia bidan Eros bilang: “Tuh kampung Hantap mah di atas, Bu!”
Saya sebagai sopir menyambut dengan ucapan Alhamdulillah, kita sudah sampai dong. Tapi… tapi, dan tapi si penjemput kok gak berhenti-henti juga di kampung Hantap, malahan makin ngacir bawa motornya…. “Wah.. wah ada yang gak beres nich,” ucap saya ke bidan.
Bidan bereaksi yang sama. Kami tertinggal karena pakai mobil dengan tantangan jalan yang rusak sangat dan berlubang, banyak kubangan air bebatuan dan licin karena bekas hujan besar.
Setelah agak lama kurang lebih sekitar 10 menitan, Jali si penjemput menunggu kita. Bu bidan langsung nanya sebenarnya di mana letak Saungnya? Dengan agak malu Jali nyebut, “Deukeut SD, Bu, terus belok kiri (Dekat SD terus belok kiri) dan langsung pergi tancap gas motor lagi.
Refleks saya bilang : “Atuh jauuhhh keneh SD Ondok mah 5 kilometeran deui!” (Atuh masih jauh SD Ondok sekitar 5 kilometran lagi) .
Kami kembali jalan lagi menuju SD yang disebut Jali. Saat sampai di SD Ondok (SD Jalupangmulya 1) kami berhenti, dikira di sekitar itu mereka tinggal. Kami cari si Jali …ech kagak ketemu… akhirnya kami melanjutkan perjalanan sambil hati dan pikiran mulai ragu.
Tambah perjalanan sekitar 1 KM Jali sudah menunggu lagi sambil belanja rokok di warung kecil. Saya turun dan menanyakan: “Di mana Jal Saung na? (di mana Jal saungnya?),” tanya saya.
Weleh-weleh sambil senyum ia berkata: “Masih jauh, Pak, di SD anu handap tea!” (Masih jauh, Pak, di SD yang di bawah itu),” jawab dia dengan tanpa wajah berdosa.
Saya bilang ke Bu Bidan: “Atuh SD itu mah SD Jalupangmulya 2 atau 3 perbatasan dengan Caringin!?”
Walau sudah mulai kesal dan khawatir karena jalannya jelek dan hancur, kami akhirnya mengikuti sang penjemput. Berarti sudah 14 KM kami menempuh jalan desa. Tak saya pikirkan terlalu dalam jarak tersebut karena melihat wajah Bu Bidan sudah gelisah tak menentu sambil sedikit ngomel-ngomel.
***
Di ujung pertigaan mau ke Kampung Caringin, Kecamatan Muncang, Jali kembali menunggu kami tepat di depan SD. Wah kami gembira karena mengira sudah sampai… eeechh ternyata belum juga sampai… mobil harus masuk lagi ke jalan kampung… Allahuakbar 3x… ternyata perjuangan belum selesai.
Astagfirullohaladziiiim Jaliiii…!!!! Atuh lain deukeut ieuuuu mah… lain kampung Hantap deuihh. (Bukan dekat ini mah bukan kampung Hantap lagi). Arek dibawa kamana kitu ieu ibu… allahuakbar 3x (mau dibawa kemana ibu ini allahuakbar 3x). Itulah kalimat yang terucap secara spontan dari Bu Bidan Eros.
Saya pun ikut sangat kaget… karena mobil dipaksa harus masuk ke jalan kampung yang sempit, rusak, bebatuan tajam dan licin. Kami mencoba ngobrol dulu dengan Jali karena takut mobil gak bisa naik dan pulang… dengan jaminan Kang Jali bahwa, “Mobil Bapak mah bisa nepi ka sisi Saung si Aldi da luhur ieuh ban na”. (Mobil Bapak mah bisa sampai pinggir saung si Aldi karena bannya tinggi ini).
Yaaachhh, akhirnya kami mengalah dan nekat bagaimana nanti saja. Ternyata benar, jalannya sangat membuat jantung berdebar kencang terasa mau copot, beberapa kali mobil muser, tergelincir dan terbanting … untung dech sang sopir sedikit kawakan (pengakuan yang tulus lho..hehehe).
Sampai di bukit, kami berhenti dulu menatap jalan yang mulai turun dan berkelok tajam. Bu Bidan pun melarang saya melanjutkan karena jalan curam sekali.
Saya cek situasi sampai ke bawah… eechhh Bang Jali sedang nunggu dengan santainya lalu ngomong, “Saeutik deui sampai pak…tuuuh di handap aya kampung Tumbul …tuh Saung na si Aldi (sebentar lagi sampai pak.. tuch di bawah ada kampung Tumbul… tuh Saung si Aldinya ada).” Ia sambil menunjuk ke sebuah rumah kecil.
Saya balik naik lagi untuk mengabari bidan. Saya bilang kita nekat saja kepalang tanggung, di sini juga mobil gak bisa parkir. Dengan wajah pucat pasi kedua bidan mengiyakan juga karena tidak ada alternatif pilihan.
Sambil harap-harap cemas mobil saya jalankan secara perlahan-lahan karena takut tergelincir. Bu bidan mulutnya komat-kamit membaca kalimat Allahuakbar … Allahuakbar tanpa henti-hentinya dengan sesesakali menggoak-goak (menjerit kaget).
Saya sebagai sopir wajib tidak terbawa arus kecemasan, sebab risikonya fatal bila konsentrasi terganggu. Keringat dingin tak terasa membasahi badan… dan akhirnya sampai ke pinggir Saung Humanya Aldi. Nafas kami merasa lega dengan ucapan Alhamdulillah kita sampai juga nich dan siap untuk menjemput dan membawa Nasih cs dibawa ke RS Adjidarmo Rangkasbitung.
Saat perjalanan balik dari saung Aldi, semua penumpang tetap dalam keadaan was-was dan sesekali pada menjerit dan beristighfar, terutama Bidan Eros yang masih merasa sawan pereket (kekagetan yang sangat). Namun perjalanan tidak lagi setegang ketika awal menjemput. Yach pak sopir sudah punya perhitungan yang lebih matang bagaimana cara membawa mobil dan kebetulan hari itu cuacanya tidak hujan, jadi jalan berangsur angsur kering. Kalau hujan… wah pasti mobil tidak bisa naik dech.
Dua jam di perjalanan yang sempit, rusak, licin dan berlubang dengan segala keringat dingin akhirnya sampai di jalan berhotmik kembali, dan langsung tancap gas menuju rumah sakit. Sekitar jam setengah tiga sore pasien sampai di tangan dokter spesialis dan dilaksanakan operasi. Alhamdulillah selamat juga. Pasien disuruh rawat inap 2 hari, akhirnya kami kembali pulang ke rumah dengan segala kepanikan dan kebahagian.
Perjalanan yang awalnya mengasyikan lalu berubah jadi meragukan, dan berubah lagi jadi menyebalkan, dan diakhiri dengan menegangkan syaraf, dan kembali membahagiakan. Itu pasien bibir sumbing ke delapan warga Baduy yang kami tangani.
Itu bukan fiksi ya… Itu kisah faktual yang bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Semoga coretan mini di atas bisa menginspirasi para pembaca. Amien. [T]
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA