— Catatan Harian Sugi Lanus, 21 Pebruari 2024
Ketika orang Bali memikirkan pikiran, khususnya orang yang “pikiran dan pertimbangannya pendek” atau “cepat marah tanpa pikiran panjang”, dalam bahasa Bali disebut sebagai “basang bawak” (perut pendek).
“Basangne bawak” atau “mabasang bawak” adalah stempel pada orang yang daya pikirnya pendek, pertimbangnya tidak panjang (kadang tanpa pertimbangan), cepat bertindak hanya berdasarkan emosi, dan ekspresi yang keluar adalah dari paling rendah ‘ngambul’, ‘marah’, sampai tahapan ‘ngamuk’.
Basang = pikiran. Demikian seakan-akan dipadankan antara keneh (pikiran) dan basang (perut). Ini menjadi jelas ketika dipadankan antara ungkapan “basang bawak” dan “sing ngelah keneh”.
Inilah pedoman orang Bali memikirkan pikiran:
“Pikiran tidak beda dengan perut.”
Jadi, jika kita mendalami lebih jauh lagi, bahwa orang Bali secara tradisional sudah mengakui bahwa ‘pikiran’ adalah sama dengan alat pencernaan.
Pikiran sebagai alat pencernaan bekerja untuk mencerna apa yang masuk. Jika sesuatu yang sehat masuk, maka diproses menjadi asupan yang menyehatkan. Jika yang masuk tidak sehat, atau racun, maka yang diproses akan meracuni.
Begitulah: Makanan sehat kita makan, maka sehat tubuh kita. Informasi sehat bermanfaat kita masukan ke pikiran, maka sehat pikiran kita. Racun dan residu atau sesuatu yang tidak mengandung manfaat kita masukkan ke pikiran, maka pikiran kita keracunan. Ide dan pikiran pesimis kita masukkan ke pikiran kita, maka pikiran kita mencerna dan keracunan.
Orang Bali menyimpulkan pikiran adalah basang (alat pencernaan).
Apakah kita bisa mengontrol alat pencernaan kita?
Alat pencernaan bekerja ketika kita tidur. Alat pencernaan bekerja sekalipun tidak kita perintah. Ia bekerja alamiah dan bekerja sesuai sifat alamiahnya: Mencerna apa saja yang masuk. Tanpa pandang bulu.
“Batu untal, batu mesu.” Batu kita telan, batu keluar. Dan, jika mengkonsumsi batu atau material yang tidak menyehatkan, maka yang bersangkutan akan mengalami derita konstipasi atau sembelit.
Sembelit pikiran pun dikenal dalam bahasa Bali: “Kabebelan”.
Seseorang yang terbebani dan kesulitan mencerna dan sampai mengalami struk karena terbeban mencerna berbagai persoalan yang dimasukkan ke pikiran, disebut “kabebelan”. Terlalu banyak ‘“memasukkan ilmu gaib yang tidak-tidak” alias “aywawera”, menjadikan pikiran kehilangan kewarasannya, alias “buduh-buduhan”, ini juga karena sembelit pikiran.
Lebih jauh, orang Bali memahami manusia punya dua alat pencernaan: Pencernaan untuk mencerna makanan disebut sebagai ‘basang’, dan pencernaan untuk mencerna informasi disebut sebagai ‘keneh’ (pikiran).
Keduanya bekerja secara alamiah. Keduanya bekerja sekalipun kita tidur. Sekalipun kita tidak sadar atau sedang melalukan aktivitas lain, kedua pencernaan ini bekerja masing-masing secara terus menerus, auto-pilot.
Pikiran adalah alat pencernaan. Sekalipun menduduki bagian penting tapi ini baru sebagian kecil dari kemanusiaan kita. Menurut orang Bali, pikiran bukan segala-galanya,.
Pikiran adalah alat pencernaan yang harus dikelola dan diamati kerjanya.
Kita bukan semata-mata alat pencernaan kita, tapi ada yang jauh lebih luas yang menyusun kemanusian kita.
Belajar dari ungkapan “basang bawak” (perut pendek) ini, orang Bali belajar bahwa ada hal lain yang perlu mendapat perhatian:
1. Ada perut yang sedang mencerna, ada kesadaran yang menyadari perut sedang mencerna.
2. Ada pikiran yang sedang mencerna dan bereaksi terhadap apa yang dicernanya, ada kesadaran yang menyadari jika pikiran sedang mencerna dan bekerja (bahkan bergolak) memproses dan bereraksi terhadap data, informasi, masukan, ide-ide, dstnya.
Perut mencerna, ada yang menyadari. Pikiran mencerna, ada yang menyadari.
Siapa/apa yang penyadari perut sedang mencerna? Siapa/apa yang menyadari pikiran yang sedang memproses?
Apakah keduanya kesadaran yang sama?
Yang menyadari ini dalam ungkapan kadyatmikan (kebatinan) di Bali dijuluki “Rare Angon”.
Dia yang menyaksikan proses yang terjadi di perut, di pikiran, di hati, dan semua proses sarira kita.
Perut kita, pikiran kita, keduanya proses alamiah.
Dalam kadhyatmikan di Bali, pusat bekerjanya sarira yang bekerja secara alamiah itu, baik perut dan pikiran, serta putaran darah manusia, adalah ‘padma-hredaya’ yang secara anatomi disebutkan di pusat jantung.
Jadi, menurut ajaran leluhur Bali: Pikiran bukanlah pusat kemanusiaan kita.
Ajaran luhur Bali mengajari untuk menyadari totalitas sarira kita.
Tidak menjadi ajaran pokok dalam tradisi Bali kita harus berkonsentrasi terfokus pengendalian pikiran. Yang ada adalah ‘mineh-minehang dewek’, ‘ngasan-asaning awak’, ‘mulat sarira’.
‘Negdegang dewek’. Meredakan diri dengan cara apa? Dengan menyadari dan sebatas nyaksikan bahwa perut sedang mencerna dan salah makan, ya resiko ditanggung sakit perut. Jangan menyalahkan orang. Dengan menyadari dan sebatas menyaksikan bahwa pikiran menncerna isu-isu negatif yang berkembang, atau informasi sesat, maka pikiran kita jadi galau dan tersinggung atau murka. Jika pikiran galau setelah memasukkan berita duka atau kekacauan, ya jangan menyalahkan orang. Harus disadari bahwa SISO, GIGO, RIRO — Shit in, shit out. Garbage in, garbage out. Rubbish in, rubbish out.
Ajaran Rare Angon mengarahkan kesadaran untuk sebatas menyadari semua proses alamiah itu. Tidak memberikan komentar-komentar di pikiran. Menyadari tanpa komentar, adalah Rare Angon.
Dalam Kepemangkuan Rare Angon, disebutkan secara mendalam, bahwa yang bisa memimpin doa adalah bukan pikiran, tapi kesadaran yang tidak terganggu pikiran. Menyadari pikiran kita apa adanya. Menyadari pencernaan kita yang demikian alami lapar, kenyang, kembali kosong, dan lapar lagi, adalah latihan dasar memasuki kesadaran yang lebih mendalam dalam kemanusiaan kita.
Menyadari terus menerus tanpa berkometar terhadap kerja pikiran yang kadang ragu, kadang menggebu dan penuh semangat atau penuh nafsu, kembali merasa hampa dan sia-sia, kadang mudah tersinggung dan kemudian tersenyum bungah ketika dipuji dan diapresiasi baik; ini adalah latihan terus-menerus yang harus dilakukan untuk memasuki dan memahami kemanusiaan kita tidak terbatas pikiran kita semata. Ada kesadaran mendalam di dalam diri kita yang tidak tersentuh emosi dan kegalauan yang muncul akibat pikiran mencerna hal-hal yang tidak sehat.
Ketika orang Bali mengatakan “basangne bawak”, itu artinya orang Bali secara terbuka mengatakan bahwa kita harus memantau pikiran kita sebagai pencernaan dan paham apa yang dimasukkan ke dalam perut akan bereaksi. Di tahap ini orang Bali paham, pikiran bisa dan harus dipantau. Dengan apa? Dengan menyadari terus menerus, tanpa mengimbuhi dengan komentar. Menyadari semuanya tanpa berkomentar atau membatin mengucapkan sesuatu. Ketika berkomentar, yang terjadi bukan menyadari, tapi yang terjadi adalah pikiran mengomentari pikiran lain.
Ketika kita bisa menyadari semua proses sarira secara alamiah, tanpa komentar, tanpa kata-kata atau tanpa mengucapkan sepatah kata di pikiran, inilah meditasi tahap pertama, Rare Angon. [T]
Penulis: Sugi Lanus
Editor: Adnyana Ole