SETELAH 9 Pura yang menjadi objekperjalanan Tirtayatra Toska (SMA Negeri 2 Kuta Selatan) pada hari Suci Siwaratri, 27 Januari 2025, perjalanan terakhir sampai di Pura Luhur Uluwatu. Rombongan Toska meninggalkan Pura Luhur Uluwatu sekitar pk. 20.30 Wita dengan berfoto bersama di area Jaba Sisi bersamaan dengan penonton Kecak bergegas menuju mobil di tempat parkir. Sementara itu, rombongan Toska menyerbu tiga warung makan yang bergegas tutup. “Mimpi apa ya dagangnya semalam. Pembeli membludak sekejap menjelang tutup,” kata seorang dari Toska.
Rombongan Toska pun bersabar menunggu juru masak di warung makan yang telah ditinggal pembantunya. Sambil menunggu nasi goreng, soto, cap cay disiapkan sesuai pilihan menu, di antara mereka tidak lupa cekrek-cekrek kamera dari berbagai angle. Saya sebagai penanggung jawab kegiatan, mengingatkan mereka untuk berkomunikasi dengan orang tua di rumah masing-masing. Tidak lama kemudian, menu makanan pun tersaji di meja masing-masing. Untuk mempercepat proses, anak-anak Toska membantu membawakan makanan ke meja-meja melihat pedagang kewalahan melayani, tanpa minta potongan harga. Makan malam bersama jadi seru. “Selamat makan, jangan lupa berdoa dulu”, saya mengingatkan.
Begitulah keseruan Tirtayatra Toska se-Delod Ceking merayakan Hari Raya Siwa Ratri yang telah dikabarkan dalam tujuh ulasan sebelumnya. Ulasan terakhir tayang pada Banyu Pinaruh sehari setelah Saraswati. Pada Banyu Pinaruh Redite Paing Sinta, 9 Februari 2024, saya bersama I Made Suantara melanjutkan Tirtayarta ke Pura Goa Peteng di Banjar Cengiling Jimbaran. I Made Suantara adalah pengusaha lokal yang sebelumnya sempat bekerja di Kapal Pesiar Amerika selama beberapa tahun, sebelum berkeluarga. Setelah kawin, ia fokus mengembangkan usaha penginapan di desanya, Desa Adat Kutuh.
Perjalanan ke Pura Goa Peteng bersama I Made Suantara dihantui keraguan karena setelah bersiap akan berangkat, hujan turun lebat dengan angin mekuus. Rada menakutkan. Hampir sejam menunggu hujan angin reda dari rumah, dalam hati berdoa kami : Semoga direstui. Kesabaran kami menunggu berbuah manis. Hujan reda, langit di barat tampak memerah, tanda cerah menyertai perjalanan ke Pura Goa Peteng.
Sebenarnya, pada Tilem Kepitu, sehari setelah Siwa Ratri, 28 Januari 2025, kami berdua sudah sempat berencana tangkil ke Pura Goa Peteng dan sudah sampai di area Jaba Pura. Namun, kami diliputi keraguan lebih-lebih sudah sandikala dan hujan lebat angin mekuus pula. Kami mengurungkan tangkil saat Tilem Kapitu, dan baru pada saat Banyu Pinaruh, 9 Februari 2025 merasa mendapat restu. Ya, saat Banyu Pinaruh, tiba di Jaba Pura kami melihat payung dan sandal di depan gerbang Pura. Ada dua ekor anjing, merah kecoklatan dan putih yang menjaga serta mengiringi Jro Mangku Istri, Ni Ketut Sendi, melayani umat yang pedek tangkil.
“Sejak pagi tadi ada rombongan dari Sukawati Gianyar, lalu ada 4 orang dari Jimbaran. Mereka berencana akan tangkil lagi, lain waktu,” kata Jro Mangku Istri dalam Bahasa Bali yang suaminya sudah meninggal lebih dari 10 tahun silam. Itu artinya, saya berdua dari Desa Adat Kutuh adalah rombongan ketiga tangkil ke Pura Goa Peteng saat Banyu Pinaruh sore itu.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/tingkat.-goa-peteng2-576x1024.jpg)
Pura Goa Peteng | Foto: Dok Nyoman Tingkat
Jro Mangku Istri, Ni Ketut Sendi, ternyata krama Desa Adat Kutuh dan telah lama tinggal menetap di Cengiling. Mendengar Banjar Cengiling, tiba-tiba teringat dengan tokoh penyelamat lingkungan yang pernah mendapat penghargaan Kalpataru dari Presiden Soeharto zaman Orde Baru. I Ketut Karma (alm.) namanya. Keuletan dan ketokohannya menyelamatkan bukit dari kegersangan, membuatnya diganjar Penghargaan Kalpataru lambang penyelamatan bumi.
Untuk diketahui, wilayah Banjar Cengiling Desa Adat Jimbaran adalah tanah subur. Pertanian palawija adalah andalannya selain jeruk bukit yang terkenal sesaat kala pariwisata belum booming seperti sekarang. Itulah tampaknya menjadi penyebab, Cengiling dihuni oleh orang dari berbagai Desa Adat di Kuta Selatan. Ada dari Kutuh, Pecatu, Ungasan, dan Jimbaran.
Seiring dengan kemajuan pariwisata, Banjar Cengiling sejak 10 tahun terakhir sudah memiliki kuburan. Sebelumnya, krama Cengiling mengubur ke Desa Adat asalnya masing-masing, cukup jauh dan digotong. Sampai kini, masih ada di antara mereka ngingetang Desa Adat asal mereka untuk mengubur bila krama-nya meninggal. Sekarang, mereka dapat memanfaatkan ambulans. Di desa adat se-Delod Ceking ini tidak ada tradisi ngaben membakar mayat. Semua yang meninggal sesuai adat dan tradisi dikubur.
Kembali ke Pura Goa Peteng, kami berdua diingatkan oleh Jero Mangku Ni Ketut Sendi, bahwa sumber air tirta tempat melukat di Pura Goa Peteng terhubung dengan Pura Uluwatu dan Pura Goa Gong. Ketika kami memasuki pelataran Pura dengan Pohon beringin yang rimbun dan ranting-ranting yang menjulur ke tanah sangat magis kesannya. Jro Mangku didampingi dua anjing setia, yang bernama Bomba dan Rockie. Kesetiaan dua anjing ini mengingatkan saya dengan kisah Perjalanan Dang Hyang Dwijendra dari Pura Uluwatu menuju arah suara gong yang kelak disebut Goa Gong. Di Tengah jalan, tepatnya di Goa Peteng, dicegat oleh dua ular raksasa yang mohon penyupatan. Konon kedua ular raksasa berhasil di-supat untuk menuju swarga loka dan Dang Hyang Dwijendra dilapangkan jalan untuk melanjutkan perjalanannya ke Goa Gong.
Jro Mangku Istri Ni Ketut Sendi menuturkan, Pura Goa Peteng juga memiliki Taman Beji di bagian Selatan Goa. Ini sesuai dengan konsep Mandala Pura dengan ulu (utara) dan teben (selatan) yang sama-sama berada di kedalaman dan dikegelapan. Kami diantar malukat ke arah utara setelah ngaturang daksina pejati lalu bersembahyang. Selesai sembahyang kami menuruni anak tangga yang licin dengan tetesan air dari sela-sela stalaktit. Suasananya gelap, sesuai dengan namanya, Goa Peteng. Kami sampai di kolam paling ujung utara paling bawah dengan selamat berkat lampu HP yang terus menyala. Dipandu oleh Jro Mangku Istri Ni Ketut Sendi yang setia dengan tongkatnya diiringi dua anjingnya yang tampak gembira sampai ke tepi kolam. Setelah nunas Tirta di Kolam yang airnya bening hening itu, terlihat juga ikan, yang saat pemedek sebelumnya tangkil, ikan itu tidak tampak.
Sebagai anak nelayan amatir, saya menduga saat sampai di pinggir kolam Goa Peteng itu, air laut mulai pasang penangggal ping 12, (sekitar pukul 15.30) tepatnya tiga hari menjelang Purnama Kawulu (Pujawali Pura Gunung Payung). Saat mulai pasang, ikan di laut biasanya girang bercanda. Saya pikir demikian juga ikan yang menghuni kolam Goa Peteng yang konon terhubung dengan Uluwatu, Jangan-jangan, ramai-ramai tentang tebing Uluwatu yang menganga sejak dulu itu adalah jalan niskala menuju Goa Peteng. Siapa tahu itu rahasia alam sebagai bacaan spiritual yang wajib dijaga, dirawat, dan diapresiasi kemurnian dan kealamiannya.
Setelah Jro Mangku Istri Nunas Tirta di Kolam, kami naik beberapa anak tangga lalu berhenti untuk bersembahyang, kemudian prosesi malukat dipimpin Jro Mangku Istri, Ni Ketut Sendi. Walaupun basah pakaian di badan, terasa segar, tis, hening. Malukat di Goa Peteng pada posisi terendah di Mandala Pura seperti masuk ke ruang gelap untuk terapi Kesehatan. Syukurlah, Bali punya hari Suci Nyepi, gelap semalam. Syukur pula Bali punya Pura Goa Peteng tempat terapi alami tanpa perlu ke salon. Syukur pula Bali punya Pura Gelap di Besakih, di Mother Temple of Bali. Bali adalah buku abadi yang kaya nilai memerlukan orang-orang literat untuk membuka halaman demi halaman selanjutnya dimaknai dan dijadikan pegangan hidup membangun Bali berkearifan lokal. ’Think globally act locally’
Di antara halaman-halaman buku itu, ada di Gumi Delod Ceking dengan teks terbuka dan inspiratif penuh dinamika yang memerlukan pembaca yang wiweka jaya sadhu ! Walaupun ia teks terbuka, sebagaimana layaknya rumah orang Bali, perlu juga dilengkapi dengan aling-aling. Orang lain boleh melihat, tidak boleh memiliki apalagi memblokir dan memagari menjadi privat wong sunantara.
Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang, hubungan Pura Uluwatu, Goa Peteng, dan Goa Gong adalah hubungan linieritas. Linieritas itu divalidasai oleh Jro Mangku Istri Ni Ketut Sendi dengan mengatakan, sumber Air Tirta yang mengalir di dalam Pura Goa Peteng terhubung dengan Pura Uluwatu, sedangkan Beji Pura Goa Gong dikatakan di Pura Goa Peteng. Jaraknya cukup jauh, sekitar 7 km dengan medan yang susah kala ilu. Begitu juga jarak Goa Peteng dengan Pura Uluwatu sekitar 7 km.
Dengan demikian, Goa Peteng menjadi titik tengah jarak antara Pura Uluwatu dan Pura Goa Gong. Dahulu kala, perjalanan Dang Hyang Nirartha dapat dibayangkan aksesnya sangat sulit, tetapi sekarang aksesnya sudah lebih baik, walaupun berbatu tetapi sudah dapat dilewati kendaraan dengan badan jalan yang cukup lebar. Saya membayangkan akses ke Pura Goa Peteng segera dihotmik jika memerhatikan kanan-kirinya dipepet akomodasi pariwisata dengan villa mewah.
Hubungan linieritas ketiga Pura sejalur perjalanan suci Dang Hyang Nirtatha ini juga tampak dari prosesi ritual penanda pujawali. Ketiga Pura ini menggunakan patokan Pawukon sebagai dasar pelaksanaan Pujawali. Pujawali Pura Uluwatu jatuh pada Selasa Kliwon Medangsia (Anggar Kasih Medangsia), Pura Goa Peteng saat Redite Kliwon Medangkungan, dan Pura Goa Gong pada Soma Pon Sinta (Soma Ribek), sehari setelah Banyu Pinaruh. Dengan memerhatikan jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha, maka Pura Goa Peteng dan Goa Gong termasuk Pura Dang Kahyangan, setara dengan Pura Gunung Payung dan Pura Batu Pageh sedangkan Pura Uluwatu sebagai Pura Sad Kahyangan.
Menelusuri jejak Dang Hyang Nirartha di Gumi Delod Ceking zaman milenial adalah melihat kenyataan berubahnya topografi geografis wilayah. Bersamaan dengan itu, fasilitas pariwisata hadir seperti jamur pada musim hujan. Tanah-tanah di abing, ngampan, leke-leke makin kece, diminat kaum berduit entah dari mana. Dunia pariwisata di Gumi Delod Ceking (dan di mana saja) selalu rakus tanah bagaikan Cupak Tanah dalam drama Satria Kusuma dari Gumi Den Bukit.
Kehadiran pariwisata seperti madu dan racun. Ia menyediakan gula-gula pariwisata berlebih hingga banyak menimbulkan kelebihan gula dalam tubuh, bersamaan dengan itu kohesi dan koherensi persaudaraan makin renggang. Sengketa tanah makin marak dan tidak tanggung-tanggung mepet Kawasan Suci Pura yang biasa disebut tanah kekeran. Kini di Bali Selatan, nyaris tidak tersedia karang bengang, karang suung, tegeh buhu. Karang-karang itu kini menjadi arkhais dalam lema kamus Bali.
Begitulah perjalanan kami ke Pura Goa Peteng, saat Banyu Pinaruh 9 Februari 2025. Seperti juga Pura Goa Batu Pageh, Pura Goa Selonding, dan Pura Goa Gong sumber tirta-nya juga dari selagan stalaktit di dalam goa. Goa Peteng dengan Goa Batu Pageh hadir dengan keunikan kelelawar penghuni goa di samping kera sebagai mana umumnya Pura-Pura Jejak Perjalanan Darma yatra Dang Hyang Mahaguru, Dang Hyang Nirartha.
Tugas para pejalan kehidupan kini adalah memberi arti dan makna terhadap goa-goa bertuah itu. Sebagaimana layaknya, teks kehidupan, tugas umatnya suntuk membuka lembaran demi lembaran agar goa gue tercerahkan setelah memuja Sang Hyang Aji Saraswati. Selanjutnya mendapat anugrah ilmu pengetahuan saat Banyu Pinaruh. Anugrah Ilmu Pengetahuan terus menerus diasah dan ditajamkan saat Soma Ribek untuk memperoleh harta kekayaan saat Sabuh Mas. Jika itu semua sudah diperoleh, para pejalan kehidupan dituntut untuk selalu sadar dan sabar meneguhkan diri dengan benteng pertahanan sekuat Batu Pageh. Pagari diri masing-masing untuk selalu terhubung dengan-Nya.
Selamat Pagerwesi Purnama Sasih Kawulu. Rahayu. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT