MASALAH sampah kini menjadi tantangan serius bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat. Timbunan sampah yang tidak terkelola dengan baik menciptakan berbagai dampak negatif yang kompleks. Dampak tersebut dapat mencakup aspek sosial, kesehatan, pariwisata, hingga politik. Di banyak daerah, tumpukan sampah menjadi simbol kegagalan pengelolaan lingkungan. Sampah tidak hanya mencemari udara, tanah, dan air. Akan tetapi dapat juga menimbulkan keresahan sosial. Keresahan tersebut akibat dari bau busuk yang menyengat, ancaman banjir akibat saluran tersumbat, hingga estetika lingkungan yang rusak. Semuanya menciptakan ketidaknyamanan yang meluas di tengah masyarakat.
Secara kesehatan, sampah yang dibiarkan menumpuk atau dibakar begitu saja akan menimbulkan berbagai penyakit dan mencemari lingkungan. Kondisi ini memperburuk kualitas hidup, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan sampah. Bagi anak-anak, ancaman ini menjadi semakin berbahaya karena daya tahan tubuh mereka yang lebih rentan terhadap infeksi.
Foto ilustrasi pembakaran sampah di kebun | Foto: Dok. SMKN 1 Petang
Dampak negatif juga terasa dalam sektor pariwisata, khususnya di daerah seperti Bali yang sangat bergantung kepada citra lingkungan yang bersih dan indah. Sampah yang berserakan di pantai, jalan, dan tempat wisata lainnya merusak pengalaman wisatawan dan mencoreng nama baik daerah tersebut. Pariwisata yang terganggu akibat sampah dapat berdampak pada penurunan pendapatan ekonomi masyarakat, mengingat sektor ini menjadi salah satu penopang utama perekonomian lokal.
Dari sisi politik, masalah sampah sering menjadi isu panas. Bahkan, isu tersebut sering pula menciptakan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan solusi yang efektif memicu kritik publik, unjuk rasa, dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin mereka. Tidak jarang, isu pengelolaan sampah digunakan sebagai senjata politik dalam berbagai kampanye, dengan janji-janji perbaikan yang sering kali tidak terealisasi.
Dalam situasi ini, peran satuan pendidikan menjadi sangat penting. Sekolah memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak perubahan dalam pengelolaan sampah. Melalui satuan pendidikan, dapat dilakukan praktik langsung pengelolaan sampah dan bahkan kolaborasi dengan masyarakat.
Namun kenyataannya, banyak sekolah justru menjadi produsen sampah yang signifikan, terutama sampah plastik. Kantin sekolah misalnya, sering menjadi sumber utama plastik sekali pakai. Penggunaan plastik sebagai pembungkus makanan dan minuman mempercepat timbunan sampah di sekolah-sekolah. Kondisi ini menjadi sangat ironis bahwa lembaga yang seharusnya menjadi teladan dalam pengelolaan sampah, justru berkontribusi pada masalah tersebut. Hal ini menunjukkan perlunya introspeksi mendalam dan perbaikan sistematis agar sekolah benar-benar dapat berperan sebagai agen perubahan.
Sekolah adalah tempat yang ideal untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan sampah. Melalui kurikulum yang berbasis lingkungan, siswa dapat diajarkan konsep-konsep dasar, seperti reduce, reuse, recycle sejak dini. Pendidikan lingkungan tidak hanya membantu siswa memahami pentingnya menjaga kebersihan. Akan tetapi juga, pendidikan lingkungan membentuk karakter peduli terhadap lingkungan. Selain itu, literasi lingkungan, seperti membaca dan menulis tentang isu sampah, dapat memperluas wawasan siswa mengenai dampak sampah dan cara mengelolanya.
Dalam pengelaolaan sampah, edukasi saja tidak cukup tanpa praktik nyata. Sekolah dapat menjadi contoh dalam pengelolaan sampah dengan menerapkan program-program inovatif, seperti bank sampah. Melalui bank sampah, siswa diajarkan untuk memilah sampah dan memahami bahwa sampah memiliki nilai ekonomi. Selain itu, kegiatan seperti membuat kompos dari sampah organik atau menciptakan eco-brick dari plastik yang tidak terpakai dapat menjadi bagian dari pembelajaran berbasis proyek. Pertanyaan yang merupakan tantangan terbesar di sekolah adalah bagaimana mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai.
Kebijakan untuk mengganti plastik dengan bahan yang lebih ramah lingkungan sering mendapat tantangan. Salah satu alasan utamanya adalah biaya. Produk alternatif seperti kemasan berbahan dasar kertas atau bahan organik sering kali lebih mahal dibanding plastik. Hal ini menjadi kendala, terutama bagi sekolah dengan anggaran terbatas. Selain itu, ketersediaan bahan ramah lingkungan juga belum merata dan sulit diakses di beberapa daerah. Resistensi dari pengguna, baik siswa maupun tenaga pendidik, juga menjadi faktor lain. Mereka cenderung memilih bahan yang praktis dan murah. Kebiasaan menggunakan plastik rupanya memang sulit diubah tanpa edukasi, niat dan dukungan penuh dari semua pihak. Semua itu perlu proses dan harus diterapkan secara konsisten agar sekolah benar-benar menjadi contoh yang baik.
Selain menjadi pusat pendidikan, halaman sekolah dapat dimanfaatkan sebagai kawasan multifungsi yang memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung. Kawasan hijau dapat diciptakan dengan menanam berbagai jenis tanaman yang tidak hanya memperindah lingkungan tetapi juga berfungsi sebagai penyerap polutan. Kawasan produksi, seperti kebun sekolah, dapat digunakan untuk menanam sayuran, buah, atau tanaman obat, yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh warga sekolah. Sementara itu, kawasan rekreasi dengan penataan yang apik, seperti taman bermain atau area relaksasi, akan menciptakan suasana belajar yang lebih nyaman dan menyenangkan.
Penambahan elemen edukatif dapat dilakukan melalui gerakan aksi nyata setiap saat. Selain itu perlu adanya pemasangan slogan “Hidup Bersih Tanpa Sampah” atau papan informasi atau poster tentang pentingnya menjaga kebersihan. Semua itu dapat memperkuat pesan kepada siswa dan pengunjung sekolah. Dengan demikian, halaman sekolah tidak hanya menjadi tempat yang indah, tetapi juga sarat manfaat dan mendukung terciptanya budaya hidup bersih. Selain itu, tentu diharapkan dapat mempersempit ruang bagi perilaku membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik.
Peran kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan adalah kunci sukses dari gerakan bebas sampah di setiap satuan pendidikan. Kewibawaan mereka seyogianya dapat dijadikan contoh yang baik bagi siswa. Ketika semua guru dan pegawai mampu menjadi teladan dalam menjaga kebersihan dan menerapkan budaya hidup tanpa sampah maka siswa mudah dapat diarahkan menuju ke budaya tersebut. Penegakan kesepakatan kelas atau kesepakatan sekolah perlu dilakukan secara tegak lurus dan kontinu. Sikap tegas para guru dalam menanamkan budaya literasi lingkungan yang bersih tentu lebih mudah ditaati oleh seluruh warga sekolah. Dengan keteladanan yang konsistensi dari para pendidik, siswa akan lebih mudah memahami dan menerapkan nilai-nilai kebersihan di lingkungan mereka.
Selain itu, peran komite sekolah juga menjadi amat krusial dalam menyukseskan gerakan bebas sampah di sekolah. Banyak sekolah tidak memiliki lingkungan yang cukup dalam pengelolaan sampah secara internal. Ketika sampah mesti dipindahkan ke TPA dan perlu biaya jasa atau retribusi angkutan, di sinilah diperlukan sinergi antara sekolah dan komite.
Seharusnya, peran sekolah tidak hanya terbatas di lingkungan internal. Sekolah dapat menjadi pusat edukasi bagi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Program seperti pelatihan atau workshop untuk orang tua siswa dan masyarakat sekitar dapat meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya mengelola sampah dengan baik. Selain itu, kerja sama dengan pemerintah dan komunitas lokal dapat memperkuat program pengurangan sampah yang lebih luas. Harapannya, siswa pun dapat menjadi agen perubahan di rumah dan lingkungannya, menyebarkan ilmu yang mereka pelajari di sekolah.
Pemanfaatan Barang Bekas sebagai Media Tanam | Foto: Dok. SMKN 1 Petang
Ketika sekolah berhasil menerapkan pengelolaan sampah yang baik, manfaatnya akan dirasakan oleh semua pihak. Lingkungan sekolah menjadi lebih bersih, sehat, dan nyaman. Kesadaran siswa akan pentingnya menjaga lingkungan juga meningkat. Pada akhirnya, semua akan berdampak pada perilaku masyarakat di sekitarnya. Selain itu, pengelolaan sampah yang baik dapat membuka peluang ekonomi baru, seperti pemanfaatan sampah menjadi produk bernilai.
Sekolah adalah tempat strategis untuk membangun kesadaran tentang pengelolaan sampah. Dengan mengintegrasikan edukasi, praktik langsung, dan kolaborasi dengan masyarakat, sekolah dapat menjadi garda terdepan dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Generasi muda yang dididik dengan nilai-nilai peduli lingkungan akan menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif bagi masa depan. [T]
Penulis: I Wayan Yudana
Editor: Adnyana Ole