KALAU mau mendengar suara tiupan sangkakala, buatlah Gendewa marah, demikian orang-orang berkata. Namun, selama berteman dengannya, aku belum pernah mendengarnya bicara apalagi sampai marah-marah. Hanya suara desis-desis aneh yang keluar dari lubang mulut dan hidungnya.
Aku dan Gendewa lahir pada tahun yang sama, pada hari ketika alam semesta sedang buruk perangainya. Ombak tiba-tiba mengamuk, menghambur ke rumah-rumah lalu menyeretnya ke tengah laut. Banyak orang mati tanpa dikuburkan. Sedangkan pada waktu bersamaan, ibuku dan ibu Gendewa sedang mati-matian mengeluarkan kami dari rahim mereka masing-masing. Akan tetapi, setelah kami lahir, hanya Gendewa yang disangkut-pautkan dengan perangai alam semesta itu. Bukan apa-apa, saat itu memang tersiar kabar bahwa Gendewa adalah anak haram. Ibunya melakukan hubungan terlarang dengan seorang laki-laki bernama Imam Hasan yang bekerja di proyek tambang pasir. Orang-orang tahu, Imam Hasan adalah pemimpin proyek tambang pasir itu. Seringkali orang-orang mencuri kesempatan untuk menggebuk Imam Hasan saat mereka melakukan perlawanan menolak pengerukan pasir di dekat permukiman mereka. Meski demikian, Imam Hasan bukan orang bodoh. Ia menggunakan jabatannya dengan sewenang-wenang untuk balas menggebuk orang-orang itu. Pengerukan pasir yang semula dilakukan dengan takaran yang legal sekali dalam beberapa hari berubah menjadi dilakukan setiap hari. Itulah sebabnya bencana alam kerap terjadi dan memaksa orang-orang mengungsi.
Tak hanya itu, Imam Hasan juga gemar merendam anak-anak di pembuangan tinja dan mengencingi mereka. Ia juga mencampakkan Ibu Gendewa begitu saja.
Mungkin karena Gendewa tak lain adalah anak Imam Hasan, orang-orang jadi turut membencinya.
Kebenciaan itu semakin menjadi-jadi saat orang-orang melihat tumbuh kembang Gendewa yang tidak seperti bayi pada umumnya. Pada saat berusia satu bulan, tubuh Gendewa membengkak seperti bayi gajah yang berusia sebelas bulan. Pun, ketika ia memasuki usia remaja, tubuhnya semakin membengkak seperti tubuh sebelas gajah dewasa yang disatukan. Meski demikian banyak perempuan yang punya bayi tergerak untuk menyusuinya. Namun, dalam sekali teguk air susu perempuan-perempuan itu langsung terkuras habis, termasuk air susu ibuku yang akhirnya membuatnya berhenti menyusuiku.
Pada tiap tengah bulan sebelas, orang-orang sudah siap mengungsi. Tidak semua, memang. Ada juga yang tak mau mengungsi. Bukan karena mereka pemberani, melainkan karena mereka tidak punya sanak saudara untuk ditumpangi atau tidak punya uang untuk membayar lahan pengungsian. Sebagai gantinya mereka memaki-maki Gendewa sambil mengumpulkan potongan-potongan kayu atau bambu untuk melindungi rumah mereka dari amukan ombak.
Bapakku sendiri akan mengikat sampannya di samping rumah, kemudian membantu aku dan ibuku membawa barang-barang. Sebelum meninggalkan pesisir, sejenak ibuku akan menatap sampan itu, dan berkata kepada bapakku:
‘’Semoga sampan itu tetap di sana sampai bencana lewat, ya, Pak. Agar kita tidak membeli lagi.’’
Suatu waktu, pada situasi seperti itu, aku sengaja menghampiri Gendewa yang sedang berbaring di pasir pantai. Tubuh raksasanya teronggok bagai batu karang. Aku berjinjit naik ke pergelangan tangannya, kemudian memanjat tubuhnya, dan bergelantungan di batang hidungnya yang kembang-kempis. Dari atas tubuhnya seolah-olah aku bisa melihat luasnya dunia.
Aku melirik ke arah bola matanya yang besar seperti planet. Gendewa melepas pandangannya jauh ke laut yang keruh. Sorot matanya ikut keruh. Seperti biasa aku berbicara banyak hal kepadanya. Gendewa sama sekali tidak menanggapi. Ia hanya mengeluarkan suara berdesis. Akan tetapi, aku yakin, ia sungguh-sungguh mendengarkan apa yang kukatakan dan mengerti apa yang kubicarakan.
Namun, hari itu, Gendewa membuka mulutnya, mengeluarkan suara, dan menjawab pertanyaanku. Aku terkejut sehingga membuatku terperosot dari hidungnya.
‘’Itu tulang-tulang manusia,’’ ucapnya. Aku terduduk di atas pahanya.
Gendewa mengangkat tangannya dan menunjuk ke kiri. Ia berkata: ‘’Kuburan di sana terbawa arus. Mungkin salah satu tulang itu adalah tulang ibuku.’’
‘’Sungguh?’’ tanyaku tercengang. ‘’Bagaimana bisa laut yang bersih dalam sekejap jadi keruh dan ombak yang lembut dalam sekejap jadi ganas sampai-sampai kuburan juga ikut terbawa arus? Apakah kau heran seperti aku juga heran?’’
Gendewa diam. Hampir saja aku berpikir bahwa aku tak akan lagi mendengar suaranya, tiba-tiba tangan kanannya mencapit tubuhku kemudian diletakkan di pundaknya. ‘’Kau tahu Imam Hasan?’’ tanyanya. Pertanyaan yang membuatku sedikit kikuk.
Aku membalas: ‘’Iya. Tapi aku cuma tahu namanya. Aku tidak tahu orangnya.’’
‘’Iya, itu. Aku juga cuma tahu namanya, juga perbuatan sewenang-wenangnya yang kudengar dari cerita orang.’’ Gendewa mengembuskan napas berat, membuat pasir-pasir basah bertebaran. ‘’Imam Hasan ke sini karena mengetahui kondisi pesisir yang dangkal. Kemudian dia coba keruk.’’
Aku hendak mengatakan bahwa Imam Hasan adalah bapaknya, tapi cepat-cepat kuurungkan.
‘’Lalu apa hubungannya dengan laut yang keruh dan ombak yang ganas?’’
‘’Yang jelas tidak ada sangkut-pautnya dengan kelahiranku.’’
Aku diam. Sedikit kaget mendengar balasannya. Aku tidak berani bertanya apa-apa lagi. Aku hanya mendengarkannya bicara mengenai orangtuaku yang mau merawatnya dan menanggung makan dan minumnya. Dari pundak Gendewa, aku melihat orang-orang yang tidak mengungsi memungut batu-batu dan melempar batu-batu itu ke arah Gendewa. Mereka mencaci maki Gendewa. Aku tahu, mereka melakukannya tidak lain dan tidak bukan untuk membuat Gendewa marah. Kalau alam semesta mengamuk, amarah Gendewa dapat menahan ombak ganas yang akan menghancurkan rumah-rumah mereka.
‘’Perbuatan sewenang-wenang Imam Hasan telah membuat laut jadi lebih dalam sehingga kemampuannya menyerap energi gelombang jadi berkurang,’’ ucap Gendewa.
‘’Laut keruh karena energi gelombang itu juga?’’
‘’Tidak. Tidak. Itu, karena tidak ada lagi tumbuhan laut yang hidup di dalam sana.’’
‘’Dari mana kau tahu?’’
‘’Aku tidak tahu. Aku asal bicara, yang jelas aku tidak mau bicara mengenai hal yang sama seperti orang-orang.’’
Orang-orang terus menerus melempar batu dan mencaci maki Gendewa. Mereka seperti tidak memedulikanku. Orangtuaku yang sedari tadi tampaknya mencari-cariku, berteriak menyuruhku turun dari tubuh Gendewa.
‘’Ke mana kau akan mengungsi?’’
Aku menaikkan bahu. ‘’Entah. Kata Ibu, kawasan pengungsian yang lama sudah penuh. Jadi, bapak menyewa kawasan baru, ‘’ kataku. ‘’Cukup mahal,’’ lanjutku setengah berbisik di telinga Gendewa.
Setelah musim badai berlalu, aku dan orangtuaku kembali ke permukiman di pesisir itu. Kami melihat banyak rumah setengah hancur meski ada pula yang masih utuh. Sampan kami sudah lenyap. Bersama Bapak, aku langsung mencari Gendewa. Kami membawa banyak makanan untuknya. Seperti biasa, kami menemukan Gendewa sedang terlentang di pasir pantai. Selama di pengungsian kami banyak membicarakan Gendewa. Entah mengapa, aku merasa kagum padanya. Bapak dan ibuku juga kagum padanya.
‘’Setelah marah-marah kamu butuh makan yang banyak. Habiskan semua, ’’ kata bapakku sambil mengelus-elus pundak Gendewa.
Aku berjinjit dan memanjat tubuh Gendewa. Aku mendaki ke daun telinganya. Dari sana aku memandang hamparan laut. Tak jauh dari pantai, aku melihat orang-orang berkerumunan, menghadang sekelompok orang berseragam. Di antaranya aku melihat Imam Hasan. Sebetulnya, aku tahu siapa Imam Hasan. Aku pernah melihatnya merendam anak-anak di pembuangan tinja dan mengencingi mereka. Beberapa orang dari kerumunan yang menghadang itu, berlari ke arah Gendewa. Mereka memungut apa saja dan melemparkannya ke tubuh dan muka Gendewa. Mereka mencaci maki Gendewa dengan lebih kejam dari biasanya.
‘’Ayo, marahlah! Tolong, marahlah, Gendewa! Marah dan usir mereka semua, dasar anak haram jadah!’’ Seru orang-orang itu.
Gendewa bangkit, membuat tubuhku terpelanting. Bapak ikut terpelanting terkena tubuhku. Aku menyaksikan Gendewa berdiri, dari mulut dan hidungnya terdengar bunyi gemuruh. Gendewa sedang mengumpulkan amarahnya. Sungguh, aku tidak sabar menyaksikan kemarahan Gendewa, tidak sabar menunggu suara tiupan sangkakala. [T]
Penulis: Dian Havivia
Editor: Adnyana Ole