“Tolong-tolong!!! Aku diburu! Diburu! Tolong aku!” teriakan seekor ulat ketakutan.
Terlihat seekor ulat menggeliat merayap di antara dedaunan mati yang berguguran dari pohon apel. Ulat itu histeris teriak-teriak di bawah pohon apel.
“Hei Ulat. Mengapa kamu ribut-ribut di sini? Mengganggu tidurku saja,” tegur Pohon Apel.
Terlihat pohon apel yang rindang dengan buah-buahnya yang mulai ada yang masak. Akarnya yang kokoh mencengkeram tanah subur coklat kehitaman. Daun-daun hijau melambai-lambai memanggil angin agar menjatuhkan beberapa daunnya yang telah ada yang mati dan digantikan oleh daun-daun baru yang tumbuh di ranting-rantingnya.
“Aku diburu. Tolong aku!” jawab Ulat menggigil ketakutan.
“Mana ada burung? Di sini belum ada burung yang hinggap di rantingku ini selama seminggu ini,” ucap Pohon Apel.
“Tadi ada burung. Temanku sudah ada jadi santapan burung pemburu itu,” jawab Ulat bersembunyi di balik daun-daun kering.
“Tidak ada burung. Burung-burung mendatangiku ketika buah-buahku ini sudah matang sempurna. Burung yang mendatangiku hanya suka makan buah,” ucap Pohon Apel.
“Ah, aku takut. Ketika aku keluar, sudah jadi santapan burung pemburu,” jawab Ulat ketakutan.
“Jika masih belum percaya, naik saja kamu ke tubuhku yang besar ini! Aku akan melindungimu. Kamu akan aman berada di tubuhku ini,” kata Pohon Apel meyakinkan Ulat.
Masih merasakan sedikit ragu, Ulat bergegas merayap menuju ke batang Pohon Apel itu. Ulat dengan daya kemampuannya mempercepat langkahnya. Ia merayap naik ke batang Pohon Apel.
“Itu kan! Kamu sampai dengan aman. Tak ada burung yang menyergapmu,” ucap Pohon Apel.
“Untung ada kamu. Aku tidak jadi santapan burung pemburu itu,” jawab Ulat melepaskan rasa takutnya.
“Dasar penakut. Sini naik ke dahanku!” pinta Pohon Apel.
Ulat merayap ke atas dahan Pohon Apel. Ia tidur telentang di atas dahan Pohon Apel.
“Tidurlah kamu, Ulat! Kamu aman berada di atas batang dahanku,” ucap Pohon Apel.
Ulat tidak mendengar ucapan Pohon Apel. Ia tertidur lelap karena lelah melarikan diri dari burung pemburu. Pohon Apel ikut tidur terlelap melepas lelah sepanjang hari mendengar teriakan Ulat yang ketakutan.
“Hari ini aku bisa hidup tenang tanpa diburu oleh burung-burung itu,” ucap Ulat.
“Enak istirahatmu, Ulat? Nyaman kan?” sapa Pohon Apel.
“Heeee, Apel. Terimakasih telah melindungiku,” jawab Ulat.
Ulat dan Pohon Apel ceria menyambut hari yang cerah.
“Eh Apel, aku lapar. Ada yang bisa aku makan? Aku suka makan daun-daun yang hijau muda,” kata Ulat memperhatikan daun-daun rindang Pohon Apel.
“Jangan! Jangan kamu makan daun-daunku yang masih muda-muda ini.”
“Kenapa tidak boleh,” tanya Ulat.
“Daun-daun yang ada dalam diriku adalah dapur kelangsungan hidupku,” jawab Pohon Apel.
“Apa yang harus aku makan? Aku belum berani keluar mencari makan. Aku masih takut diburu,” keluh Ulat seakan-akan menuntut Pohon Apel agar mendapatkan perlakuan yang istimewa.
“Makan aja buahku yang akan mulai matang ini. Tapi hati-hati, kamu bisa terbawa oleh burung pemakan buah. Mungkin bisa terbawa oleh kelelawar pada malam hari jika kamu terlalu lama di dalam buah-buahku ini,” kata Pohon Apel.
“Begitu ya! Baiklah, aku akan mencoba buah-buah ini,” jawab Ulat.
Ulat merayap mendekati buah apel yang sudah mulai masak. Ia mencicipi buah itu, “Woww, rasanya sungguh manis.” Ia menggerogoti buah apel yang merah-merah itu.
“Mengapa kamu tidak marah ketika buah-buahmu ini dimakan burung-burung maupun kelelawar?” tanya Ulat yang masih mengunyah buah apel merah itu.
“Mengapa harus marah? Justru merekalah yang membantuku,” jawab Pohon Apel.
“Membantu bagaimana? Bukannya buah-buah ini hasil jerih payahmu?” tanya Ulat yang masih bingung.
“Jika tidak ada burung pemakan buah dan kelelawar, keturunanku tidak akan tersebar ke daerah yang lain. Biji-bijiku akan terbawa oleh mereka sehingga keturunanku bisa tumbuh di daerah lainnya bahkan seluruh dunia.”
“Bagaimana buah-buah yang tidak terbawa oleh mereka?” tanya Ulat menyela perkataan Pohon Apel.
“Buah-buah yang tidak terbawa akan membusuk di tanah dan dimakan oleh cacing sehingga tanah tempatku tumbuh dan hidup bisa subur.”
“Sebentar dulu! Apa hubungan tanah subur dengan buah-buahmu yang melimpah ini?” tanya Ulat gelagapan kebingungan.
“Buah-buahku yang busuk ini dimakan cacing. Cacing itu kemudian membuang kotoran. Kotoran cacing itu membuat tanah-tanah ini tetap subur berwarna coklat kehitaman. Tanah-tanah subur ini banyak mengandung air sehat yang diperlukan untuk kelangsungan hidupku,” jawab Pohon Apel.
“Mengapa kamu perlu air yang sehat? Bukannya kamu sudah punya dapur sendiri di daun?” tanya Ulat.
Pohon Apel terlihat kesal karena terus-menerus ditanya oleh Ulat. “Ulat, aku akan menjelaskan semuanya agar kamu tidak bertanya lagi. Tapi, kamu tidak menyelaku lagi,” ucap Pohon Apel.
“Ya Apel. Aku akan mendengarkanmu sampai selesai,” jawab Ulat.
“Aku memang memiliki dapur di daun. Agar bisa memasak di dapur, aku membutuhkan air sehat dari tanah yang subur dan gas-gas kotor seperti yang dikeluarkan oleh para binatang dan yang lainnya. Kemudian semua bahan itu akan dimasak di daun-daunku yang hijau.”
Ulat sepertinya ingin bertanya lagi, tetapi dia ingat untuk mendengarkan penjelasan Pohon Apel sampai selesai.
“Setelah air sehat dan gas-gas itu sudah siap ada di dapur yaitu di daun, cahaya matahari membantuku memasak semua bahan yang sudah disediakan. Hasil dari proses memasak itu adalah makanan untuk menghidupi diriku sendiri dan tetap bisa tumbuh lebih besar dan kuat. Hasil buangan dari proses memasakku adalah gas-gas kehidupan yang dibutuhkan oleh binatang-binatang di bumi ini termasuk kamu Ulat. Sedangkan masakan yang berlebih, aku simpan dalam bentuk buah dan biji. Biji-bijiku yang berada di dalam daging buah akan tumbuh menjadi pohon apel generasi penerusku,” terang Pohon Apel.
“Oh begitu. Aku mengerti sekarang. Tapi daun-daunmu yang muda-muda ini sepertinya lebih enak daripada buah-buahmu yang merah ini,” ucap Ulat menggoda Pohon Apel.
“Jangan coba-coba kamu makan daun-daunku ini!” Pohon Apel memperingati Ulat.
“Bolehlah aku coba satu atau tiga helai daunmu ini! Daun-daunmu ini begitu banyak, apa gak boleh hanya minta tiga helai aja?” ucap Ulat cengengesan merayu.
Pohon Apel terdiam sejenak memikirkan permintaan Ulat. Ia berpikir bahwa kalau Ulat hanya mencoba satu sampai tiga helai daunnya, kinerja dapurnya tidak akan berpengaruh karena daun-daunnya melimpah di setiap rantingnya.
“Baiklah, Ulat! Kamu boleh mencoba daunku tidak lebih dari tiga helai,” ucap Pohon Apel memperbolehkan.
Ulat merayap keluar dari buah apel. Ia menuju ke helai daun yang masih hijau muda untuk mencoba kenikmatannya.
“Ini sungguh daun yang sangat nikmat. Belum pernah aku menikmati daun yang begitu nikmat seperti daunmu, Apel,” kata Ulat bahagia.
“Ingat janjimu! Jangan sampai rasa rakusmu menghancurkanku. Apalagi, kamu mengundang teman-temanmu,” ucap Pohon Apel memperingati.
“Ini satu helai daun belum habis kumakan. Mana mungkin aku rakus memakan semua daun-daunmu yang banyak ini,” ucap Ulat meyakinkan Pohon Apel.
“Baguslah jika kamu berpegang teguh dengan janjimu. Aku hanya mengingatkanmu jangan pernah membohongiku,” ucap Pohon Apel.
Ulat mengangguk mendengar perkataan Pohon Apel, “Aku tidak akan mengingkari janjiku.” Ia sudah menghabiskan satu helai daun hijau Pohon Apel. Ia melanjutkan merangkak ke daun yang kedua. Ia menikmati daun kedua itu dengan rasa bahagia yang tidak pernah terbayangkan. Daun helai kedua sudah habis, ia melanjutkan daun yang ketiga, “Ohh, daun ini membuatku tidak mau lepas darinya.”
“Ingat, ini sudah daun ketigamu. Kamu harus berhenti! Aku mau tidur istirahat,” ucap Pohon Apel.
“Ya, aku ingat. Aku juga mulai merasa kenyang,” jawab Ulat tetapi mulut tidak berhenti mengunyah.
Pohon Apel percaya kepada Ulat akan menepati janjinya. Ia memejamkan mata menikmati bunga-bunga mimpi tidurnya.
“Waduh, daun ketiga ini sudah habis kumakan. Tapi mulutku ini tidak mau berhenti. Apa aku makan satu daun ini lagi?” gumam Ulat.
Ulat memandangi daun-daun hijau Pohon Apel. Ia menghitung-hitung daun-daun itu di setiap dahan pohon, “Hampir ratusan lebih daun yang ada di setiap dahan ini.” Mulutnya terus tidak ingin berhenti mengunyah sedangkan pikiran Ulat berusaha menentang keinginan perut dan mulutnya. Ia baru menyadari bahwa tubuhnya akan berhenti menuntut makan daun hijau muda ketika tubuhnya sudah siap untuk berubah menjadi kepompong.
“Sepertinya kalau aku makan lagi satu sampai dua puluh helai daun ini tidak akan disadari oleh Pohon Apel. Mengambil sedikit dari ribuan daun-daun ini pasti tidak mempengaruhi kehidupan Pohon Apel,” pikir Ulat yang sudah menyerah dan mengikuti keinginan mulutnya.
Ulat tidak peduli lagi dengan janjinya. Ia merangkak ke daun hijau berikutnya. Ia menggerogoti dan mengunyah dedaunan hijau tanpa henti. Perutnya, terus-menerus menuntut untuk diisi dedaunan hijau. Perut yang semakin besar, ia terus mengunyah tanpa hentinya.
“Aduuuuuuuuuuh! Daun-daunku yang muda-muda ini telah banyak hilang. Ini pasti ulah Ulat yang ternyata serakah,” keluh marah Pohon Apel yang baru bangun dari tidurnya.
“Ulatttttttttt! Dimana kamu sembunyi? Tunjukkan dirimu! Akan kubiarkan kamu dimangsa burung,” teriak Pohon Apel menggetarkan tubuhnya agar Ulat jatuh dari tubuh pohonnya, tetapi hanya daun-daun tua menguning yang jatuh.
Pohon Apel tidak mendapatkan jawaban. Ia tidak merasakan dan mendengar suara Ulat di setiap dahannya.
“Ke mana perginya, Ulat? Aku tidak bisa merasakan geliat tubuhnya, Ulat,” gumam Pohon Apel marah.
Sebelum Pohon Apel terbangun, Ulat sudah kenyang dan tubuhnya gemuk, ”Perutku sudah tidak ingin makan lagi. Ini berarti tubuhku sudah waktunya berubah menjadi kepompong.”
Ulat menempelkan tubuhnya di batang ranting dengan kuat. Ia membungkus tubuhnya menjadi kepompong. Ia melupakan jati dirinya seekor ulat dan kini hanya mengingat dirinya dalam tidur panjang sebagai kepompong.
“Baiklah! Aku akan mengundang burung pemburu membuat sarang di tubuh ranting-rantingku ini. Jika si Ulat datang merasap dan menggeliat di daun-daunku, burung pemburu inilah akan memakannya,” ucap Pohon Apel menggerutu.
Kemarahan Pohon Apel sepanjang hari hanya sia-sia saja. Ia tidak tahu bahwa Ulat sudah menjadi kepompong yang akan menjadi kupu-kupu. Kupu-kupu cantik yang tidak mengingat masa lalunya bahwa ia dulu adalah seekor ulat. [T]
Penulis: Wayan Purne
Editor: Adnyana Ole