MENDENGAR rerahinan suci Tumpek Wayang, maka ada beberapa hal yang sangat kentara sebagai ciri-cirinya. Seram, sapuh leger, tenget dan suci. Hal ini karena Tumpek Wayang merupakan hari suci yang memang berkaitan dengan hal-hal seperti itu. Berkaitan dengan sesuatu yang magis, karena memang hari itu dipercaya penuh dengan magis, karena hari itu bertepatan dengan hari suci Kajeng Kliwon (pertemuan siwa dhurga), dimana unsur-unsur Panca Maha Bhuta sangat mempengaruhi kehidupan manusia.
Sapuh leger juga sangat erat kaitannya dengan Tumpek Wayang, karena hari suci ini bertepatan dengan puncak hari pawukon wayang, yang dinyatakan bahwa mereka-mereka yang lahir di wuku ini sangat diharapkan memohon tirta penglukatan Mpu Samirana, yaitu berupa penglukatan wayang sudamala (yang dikenal dengan sapuh leger).
Hari ini juga disebut hari yang suci dan tenget, terbukti dengan pemasangan seselat di setiap perumahan dengan bersaranakan pandan meduwi, gunggung bali dan gunggung bukit serta pamor sebagai penolak bala. Tidak diperbolehkan caah cawuh berbicara dan lain sebagainya.
Ini merupakan bukti bahwa Tumpek Wayang memang sangat sarat makna dan penuh dengan energi magic religius.
Kalau kita melihat teks Lontar Sundarigama maka kita dapat keterangan lebih jelas tentang pentingnya hari suci ini yang merupakan penyatuan Siwa Dhurga sehingga sangat penting untuk dihayati. Isinya sebagai berikut “Saniscare keliyon Tumpek wayang, ngaran pujawalin betara Isuara, pengastawania, ring sarwe tetabuhan, gong, gambang, gender, gente, gendongan, saluwiring imian-nimian, muang ringgit, mekadi peretimanire, widi-widanania, suci peras ajuman perangkat iwaknia. Itik putih, sedah woh, canang rake, pasucian”.
Artinya, saniscara kliwon wayang (Sabtu Kliwon wuku wayang), sebagai hari pemujaan kepada Bhatara Iswara, sebagai hari pemujaan untuk memohonkan semua gambelan, gong, gambang, gender, genta, kulkul, dan semua jenis bunyi-bunyian dan juga wayang dan arca pemujaan. Sarananya suci, peras ajuman selengkapnya dengan daging bebek putih, sedah who (base kinangan), canang raka dan pesucian).
Pada keterangan isi dari lontar ini sesungguhnya hari suci Tumpek Wayang adalah pemujaan kepada Bhatara Iswara, untuk memohon kebaikan atas segala jenis kesenian tabuh dan wayang. Hal ini karena tetabuhan adalah suara yang membuah semua ritual menjadi lebih bermakna dengan jenis suaranya dan wayang sebagai kesenian tambahan untuk meningkatkan pemahaman agama pada umat. Jadi tetabuhan dan wayang adalah titik pemujaan yang kemudian menjadi bentuk yoga (penyatuan) untuk memperoleh anugerah kebaikan. Sebab, kehidupan kita sangatlah penuh dengan tetabuhan atau suara yang bisa senang, bahagia, sedih dan lara.
Hari Suci Tumpek kalau kita telisik jatuhnya atau lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran yaitu “Saniscara” (Akhir Sapta Wara) dan “Kliwon” (akhir dari Panca Wara). Setiap pertemuan Saniscara dan Kliwon disebutlah “Tumpek”. Ketika jatuhnya pada wuku wayang disebutlah Tumpek Wayang. Demikian pula tumpek lainnya diberikan nama sesuai dengan wuku jatuhnya tumpek itu.
Secara garis besarnya, tumpek ada 6, yang jatuhnya setiap 1 bulan sekali, yakni Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Krulut, Tumpek Uye, Tumpek Wayang. Keenam tumpek inilah sebagai bagian dari dasar terlaksananya atau aplikasinya konsep sad kertih, untuk menjadikan bali metaksu sesungguhnya.
Jadi dengan melaksanakan tumpek sebagai hari suci dengan segala persembahannya dan dengan pemujaan kepada para dewa, maka sesungguhnya kita sedang membangun dan merayakan puncak dari Yoga Siwa dan Dhurga untuk memberikan kejagathitan dan pembebasan sekaligus kemakmuran alam.
Mengingat Tumpek Wayang sebagai harinya Dewa Kala, maka menarik untuk dibaca teks lontar tattwa kala ini.
“Umatur Sang Durga: ”Singgih Bhaþàra, paran maka mrtane ranak Bhaþàrì?” Lah hana maka tadahane kita, yan hana wang turu tùt sore mwang salah masa atangi wus surup ing aditya, mwang rare nagis ring wêngi kapatakut dening bapa babunya hana ujare, nah nah amah ne amah. Mwah yan hana wang amaca kidung, kakawin, tutur mottama ring tengah dalan, iku maka måtane sira. Yan hana wang anyangkepeng seka ring margi, aja sira anadah tan yogya. Kunang yan hana wang wruha ring pangastutyane kita wênang Úiwa aweha kasidyan ta, sapamintanya yogya tùtên den ta lawan sawadwan ta kabeh, apan ika wang sanak jati. Sira maka aran kamànuûa jàti. Ki mànuûa jati juga wênang arok lawan Bhùta Kala Durga. Bhùta Kala Durga wênang arok lawan Dewa Bhaþàra Hyang, karaning tunggal ika kabeh, sira mànuûa, sira Dewa, sira Bhùta. Bhùta ya, dewa ya, mànusa ya.
Yang artinya : Berkatalah Sang Durga: ”Hormat Bhatàrì, apa yang menjadi makanan anak Bhatàrì”. Nah ini sebagai makananmu yaitu: kalau ada orang yang tidur sampai sore dan tidak pada waktunya yaitu setelah matahari terbenam, dan anak kecil menangis pada waktu malam ditakuti-takuti oleh ayah-ibunya dengan kata-kata, nah nah amah ne amah (Ya makan, ni makan). Dan lagi kalau ada orang membaca kidung, kekawin, tutur yang uttama di tengah di tengah jalan, itu yang menjadi makananmu. Kalau ada orang yang mengadakan pertemuan untuk perkumpulannya di jalan, itu juga boleh kamu memakannya. Dan lagi kalau ada orang yang mengetahui prihal pemujaan kepadamu, wajarlah bila kamu memberikannya anugerah, segala permintaannya patut engkau berikan bersama rakyatmu semuannya, sebab itu saudaramu yang sesungguhnya. Ia yang disebut manusia yang sejati. mànusia Jati dapat berbuar dengan Dewa, Bhatàra, Hyang, karena itu semua adalah satu, ia adalah manusia, ia adalah dewa, ia adalah Bhùta. Bhùta adalah ia, dewa adalah ia, manusia adalah ia.
Pesan dalam lontar ini terkait dengan magisnya tumpek wayang adalah hari dimana berpantang atau mebrata untuk mendapatkan anugerah adalah kewajiban yang sangat penting dilakukan. Beberapa pantangan sebagai pesan agar tidak dimakan (dijatuhkan) oleh Bhuta Kala adalah beberapa pantangan diatas.
Lalu bagaimana dengan teknis atau rangkainnya? Mari kita kembali ke lontar Sundarigama berikut:
“Wayang Redite wage, patemunire sang sinte, lawan sang wayang, ngaran ware cemer, tan wenang sujanme, apeningan alelenge, …….nimitania ikang wang, yogia paselate dening apuh, amenerin ulun ati,, muang sasuwuk, ruaning pandanumah-umah paturon, enjingnia, ikang sasuwuk pupullakene, winadahan sidi, buangan ring dengen, lurane pasegehen. Sesapan mangutang lare-wigene”.
Artinya secara bebas adalah pada wuku wayang nemu hari Minggu wage, adalah pertemuan sinta dengan wayang adalah wara yang kotor, tidak baik bagi warga yang melakukan pesucian atau pelelukatan……… tetapi kewajiban manusia adalah memberikan batas pada diri dengan pamor, disuratkan di hulu hati (tanda tambah) juga melakukan sesuwuk (sawen dengan pandang dan sarwa medui), di dalam rumah, besoknya kumpulkan semua sesuwuk, lalu ditempatkan sidi, buanglah di depan rumah dengan dilengkapi segehan, dengan doa membuang segala penyakit dan berbagai jenis halangan yang mengganggu.
Selanjutnya kita perlu melihat Tumpek Wayang sebagai hari ritual pembersihan. Sebab, diyakini mereka yang lahir pada wuku wayang disebut mengalami goncangan energi sehingga membuat penderitaan. Ruwatan atau di Bali dikenal dengan istilah bebayuhan adalah suatu prosesi upacara yang berkaitan dengan hari kelahiran atau weton atau otonan seseorang.
Secara umum, ruwatan memiliki fungsi untuk membersihkan diri atau penyucian diri seseorang secara lahir dan batin dari pengaruh-pengaruh negatif hari kelahirannya. Warga Agama Hindu di Bali memiliki beberapa jenis ruwatan, satu di antaranya adalah Sapuh Leger. Ruwatan ini dilakukan untuk seseorang yang kelahirannya jatuh pada Wuku Wayang (yaitu hari Minggu wayang sampai pada Sabtu wuku wayang).
Pelaksanaan ruwatan Sapuh Leger, terdapat pada wiracarita atau Satwa yaitu kisah Bhatara Kala yang akan memakan Sang Hyang Kumara. Singkat cerita, Bhatara Kala akan memakan adiknya, Sang Hyang Kumara. Sehingga Sang Hyang Kumara harus bersembunyi dari kejaran Bhatara Kala. Sampai suatu ketika ia berada di pertunjukan wayang, dan bersembunyi di keropak (kotak tempat penyimpanan wayang) sang dalang. Bhatara Kala tiba di tempat tersebut. Karena kelaparan, ia memakan sesajen sang dalang yang belum dihaturkan.
Sang dalang menegur Bhatara Kala, dan Bhatara Kala mengaku salah atas kelakuannya itu. Bhatara Kala kemudian memberikan anugerah sang dalang berupa kekuatan magis untuk membersihkan makhluk hidup dari segala kekotoran. Dari kisah inilah, bahwa setiap anak yang lahir di Wuku Wayang harus mendapatkan ruwatan Sapuh Leger.
Sapuh Leger secara etimologi bahasa berasal dari dua kata, sapuh dan leger. Sapuh berarti membersihkan, sedangkan leger atau reged berarti kotor. Sehingga Sapuh Leger memiliki arti membersihkan kekotoran yang ada dalam diri manusia. Makna ruwatan Sapuh Leger ini membersihkan diri dari segala kekotoran akibat kelahiran di wuku wayang, sehingga bagi yang lahir pada wuku ini, sangat diwajibkan memohon pengeruwatan sapuh leger. Namun jika belum bisa melakukan itu, bisa saja memohon terlebih dahulu tirta dalang, sebagai bentuk dari petanggeh atau penundaan, sampai pada bisa melakukan upacara ini. Orang yang lahir pada wuku ini juga disebut dengan orang yang peka dengan energi negative (melik) maka sangat perlu petebusan melik agar energinya seimbang.
Jadi Tumpek Wayang adalah hari dimana sebagai hari puncak pertemuan panca wara dan sapta wara sebagai hari yang suci untuk memohon anugerah akibat adanya pertemuan siwa dan dhurga untuk memohon kesejahteraan hidup. Pengejawantahan ini adalah dengan upacara pada segala bentuk ornament kesenian dan juga memohon naugerah penyucian dengan cara melakukan penglukatan bagi mereka yang lahir pada wuku wayang. Dengan melakukan ini maka anugerah kehidupan akan semakin indah, untuk keseharian yang indah dan damai dalam menjalani kehidupan. Selamat melaksanakan rahina suci Tumpek Wayang. [T]