BALI Era Baru yang dijadikan epigon visi pasangan Gubernur Bali dan wakilnya Wayan Koster-Cok Ace (2018-2023) dan Wayan Koster-Giri Prasta (2025-2030) tampaknya akan berlanjut. Keberlanjutan itu akan memudahkan bagi kedua pasangan itu mengekskusi program-programnya yang sudah dikerjakan pada periode pertama tetapi belum selesai, misalnya Pusat Kebudayaan Bali di Gunaksa Klungkung. Pusat Kebudayaan Bali diproyeksikan menjadi kebanggaan masa depan Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia. Hal itu menjadi ikon baru pariwisata Bali melengkapi ikon-ikon yang sudah ada, seperti Sanur, Nusa Dua, dan Nusa Penida.
Jika dicermati secara historis, perjalanan monumental pariwisata Bali memang dimulai dari Denpasar dengan Pantai Sanur lalu Kuta, Nusa Dua, Ubud, dan Nusa Penida. Di antara objek wisata itu, Nusa Penida paling belakang berkembang karena terpisah laut. Bahkan secara bawah sadar masyarakat Nusa Penida, nyaris tak menyebut diri sebagai bagian dari Bali. Buktinya, ucapan masyarakat yang keluar dari Nusa Penida, jika akan menyeberang ke Denpasar, atau daerah lain di Bali, mereka menyebut diri akan pergi ke Bali, atau ke daratan. Model penyebutan ini, mirip Sunda dan Jawa. Orang-orang Sunda tak menyebut diri bagian dari Jawa. Hal ini tampaknya menjadi ladang kajian yang menarik secara sosioantropologis.
Esai ini mengulas tiga destinasi wisata yang strategis sebagai penanda Bali Era Baru, Sanur sebagai efisentrum dengan Nusa Dua yang elitis dan Nusa Penida yang perawan.
Sejarah panjang Sanur sebagai daerah pariwisata tidak terlepas dari berdirinya Hotel Bali Beach (HBB) yang diresmikan 1 November 1966 oleh Menteri Utama Ekonomi dan Keuangan RI (1966-1973) Sri Sultan Hamengku Buwono IX, setelah melalui proses pembangunan sejak 1963 kala Presiden Soekarno.
HBB dibangun di atas tanah seluas 42 Ha dengan biaya dari hasil pampasan perang Jepang dan tercatat sebagai hotel berlantai 10 dan berbintang 5 pertama di Bali. Hotel ini berdiri sebelum adanya aturan tinggi bangunan di Bali maksimal setinggi pohon kelapa (setara 15 meter) dengan 3 lantai. Aturan itu ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 13/Perbang.1614/II/a/1971 tanggal 22 November 1971 tentang ketentuan tinggi bangunan di Bali yang tidak boleh melebihi 15 meter.
Oleh karena memiliki sejarah panjang dalam bidang pariwisata, masuk akal bila Sanur melahirkan pasangan pionir Pariwisata Bali, Ida Bagus Kompiang dan Anak Agung Mirah Astuti sebagaimana ditulis Prof. Darma Putra, M.Litt., Ph.D. (dapat ditonton di kanal youtobe dalam video dokumenter).
Di Video itu digambarkan pasangan suami-istri Ida Bagus Kompiang dan Anak Agung Mirah Astuti menjadikan Sanur sebagai destinasi pariwisata Bali pertama dengan membangun Segara Beach Hotel (1956), 10 tahun sebelum HBB berdiri. Kala itu, Sanur sepi senyap, bahkan sering dijuluki gumi leak. Namun, pasangan ini bergeming dengan ikon Sanur sebagai gumi leak. Mereka fokus mengembangkan pariwisata Sanur sampai membawa misi kesenian ke mancanegara sebagai bagian dari diplomasi budaya. Inisiatif ini selaras dengan ikon pariwisata budaya yang dikembangkan Bali.
Ketokohan pasangan suami istri ini di bidang Pariwisata berlanjut hingga mendirikan PHRI dengan spirit veteran pejuang seraya memberdayakan seniman pentas menemani tetamu hotel makan malam (dinner). Dari tangan dingin kedua pasangan inilah, ide kolaborasi seniman dengan wisatawan secara mutualistik, hidup-menghidupi. Kelak, kedua tokoh ini berhasil menjadi pendeta, sebagai pelayan umat Hindu dengan nama Ida Pedanda Gede Ngurah Karang dan Ida Pedanda Istri Karang. Itu jabatan tertinggi dalam pelayanan kepada umat Hindu.
Sebagai episentrum Pariwisata Bali, Sanur memiliki pengalaman panjang di bidang pariwisata termasuk memperkenalkan seni budaya Bali kepada para wisatawan mancanegara. Dengan pengalaman itu, destinasi yang kemudian berkembang seperti Nusa Dua Kuta (Kuta mekar menjadi 3 kecamatan pada 2002) dan Ubud perlu berguru ke Sanur. Sebagai tempat berguru, tepatlah Sanur disebut Pantai Matahari Terbit, yang dalam Bahasa Inggris disebut Sun ‘matahari’ dan Nur ‘cahaya’.
Sungguh tepat benar Sanur disebut Pantai Matahari Terbit karena Sanur adalah pusat perguruan didukung oleh gria-gria dengan pendetanya yang rutin nyurya sewana setiap pagi. Doa banyak pendeta di Sanur diyakini memberikan sinar terang cahaya sesuai dengan nama Pantai Matahari Terbit.
Sementara itu, Kuta menjadi pusat tontonan Sunset terindah dengan paduan ombak dan pasir putihnya. Bahkan Ebiet G Ade melahirkan lagu Nyanyian Rindu dan Iwan Fals menulis syair lagu Mata Dewa terispirasi dari Senja Pantai Kuta. Tidak terhitung puisi dan cerpen, esai lahir dengan latar atau bertema tentang Kuta.
Sejarah Kuta sebagai daerah tujuan wisata, mirip dengan Sanur. Pada 1960-an, Kuta adalah daerah nelayan dengan jukung-jukung tradisional di antara pohon pandan. Orang-orang Kuta mengisahkan banyak penyu bertelor di antara pohon pandan sampai 1970-an. Kehadiran wisatawan menjelang 1970-an ke Kuta menikmati suasana alam pedesaan. Mereka menginap di rumah-rumah penduduk.
Putu Setia mencatat bisnis penginapan di Kuta dirintis oleh Made Mandara dengan mendirikan Mandara Cottage. Kelak, Made Mandara juga dikenal sebagai tokoh Pendidikan yang mendirikan Yayasan Desa Kuta membawahi TK Indra Prasta, SMP Sunari Loka Kuta, dan SMA Kuta Pura. Sudah banyak tokoh lahir dari Lembaga Pendidikan ini, Drs. I Ketut Sudikerta, mantan Wakil Gubernur Bali dan mantan Wakil Bupati Badung adalah salah satu alumni SMP Sunari Loka Kuta. Drs. I Ketut Widia Astika,mantan Kadisdikpora Badung juga alumni SMP Sunari Loka Kuta.
Kuta dengan Nusa Dua adalah etalase pariwisata Bali karena begitu wisatawan turun dari Bandara Ngurah Rai, Kuta menjadi hallo effect bagi wisatawan. Kesan pertama dapat menjadi daya pikat yang mengikat, seperti guru yang membuka pelajaran dengan apersepsi yang memikat dan ispiratif. Maka kehadiran guru setiap pembelajaran dinantikan para siswa. Demikian pula halnya pariwisata dicitrakan dengan hallo effect yang humanis dan diterjemahkan dengan kalungan bunga dan tarian bali. Bak menyambut Dewa turun dari Kahyangan karena kehadiran wisatawan sebagai tamu, direpresentasikan sebagai Wisnu membawa kemakmuran yang menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kini Kuta dengan Nusa Dua sebenarnya sudah jenuh dengan fasilitas hotel dan penginapan yang menjamur bak cendawan di musim hujan. Penduduk urban kian tak terkendali dan kian hiterogen dengan budaya yang dibawa dari daerahnya masing-masing kadang-kadang mengabaikan prinsif, “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.
Akibatnya, ancaman keamanan dan ketertiban perlu diantisipasi bersama, lingkungan menjadi kumuh, sampah di mana-mana, tempat pembuangan sampah juga bermasalah sedangkan produksi sampah kian bertambah. Selain itu, jalanan macet, polusi tak terkendali, air bersih tidak memadai bahkan PDAM mati berhari-hari juga sering jadi keluhan. Lalu, ancaman banjir mengepung pada musim hujan dan kerusakan lingkungan makin parah. Fenomena ini paradoks dengan filosofi Tri Hita Karana yang selalu digemakan.
Hal berbeda terjadi di kawasan elit dan villa yang airnya selalu lancar tanpa keluhan. Bahkan pada saat-saat hajatan berskala Internasional, pesta penyambutan berlangsung wah. Namun seusai pesta, sampah-sampah berserak. Seakan menjadi sebuah tradisi, setiap hajatan dimulai selalu dengan serimonial kemeriahan dan berakhir dengan sampah melimpah. Paradoks ini perlu dicarikan solusi secara komprehensif berkelanjutan.
Pengalaman Kuta dengan Nusa Dua menghadapi berbagai tantangan yang sulit dalam mengelola potensi pariwisata, hendaknya menjadi cermin bagi Nusa Penida yang baru berkembang secara masip lebih-lebih akses melalui Pelabuhan Sanur makin memanjakan pengunjung. Perkembangan Nusa Penida belakangan dengan dukungan SDM yang makin baik setidaknya dengan berdirinya SMA dan SMK di Kawasan itu memberikan dampak positip bagi kemajuan pariwisata di Kawasan itu.
Perkembangan pariwisata di Nusa Penida yang makin maju seiring dengan fasilitas yang makin memadai seperti penginapan, vila, jasa transportasi, pasar modern, kuliner dapat memanjakan wisatawan dan berpeluang bisa kembali datang ke Nusa Penida. Syartatnya, semangat Sapta Pesona mesti menjadi rujukan bila ingin Nusa Penida makin berkembang sebagai destinasi pariwisata kelas dunia. Juga dengan nilai-nilai Sapta Pesona: aman, tertib, bersih,sejuk, indah, ramah, dan kenangan.
Untuk membatinkan nilai-nilai Sapta Pesona ini tidaklah mudah. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Perlu pembiasaan untuk membangun habitus dari lingkungan keluarga di hilir karena merekalah yang pada akhirnya memberikan kesan kepada wisatawan. Dengan kalimat lain, Pendidikan keluarga menjadi mahapenting dalam membatinkan Sapta Pesona. Hal ini selaras dengan kebijakan tentang Program Wajib Belajar 13 tahun dari Kemedikdasmen, Prof. Dr. Abdul Mu’ti.
Begitulah kawasan wisata mesti dikembangkan sejalan dengan Pendidikan yang direncanakan secara komprehensif. Sebab, dari dunia pendidikanlah SDM Pariwisata dilahirkan. Sinergitas antara Pendidikan dan Pariwisata harus disegerakan agar seiring dan sejalan. Kesejalanan itu memungkinkan segitiga emas pariwisata Bali era Baru dapat diwujudkan secara berkesinambungan dan berkeseimbangan sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali dalam mengembangkan segitiga emas Pariwisata Bali Era Baru. Sanur tetap ramai, Nusa Dua makin mendunia, dan Nusa Penida makin memikat. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT