UMUMNYA mahasiswa kuliah di tempat yang sejuk. Kursi yang nyaman. Ruangan penuh wangi parfum. Duduk manis mendengarkan dosen bercerita. Tanpa gangguan.
Tapi ini beda. Bagaimana kalau mahasiswa harus belajar di tempat yang panas dengan aroma sampah? Ya, tak kenapa-kenapa!
Buktinya, Minggu, 12 Januari 2025, di Bank Sampah Galang Panji di Desa Panji, Buleleng, Bali, ada rombongan mahasiwa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Satya Dharma Singaraja. Mereka belajar, bertanya-tanya, berpikir, berdiskusi, di tempat yang panas dan bau sampah.
Lazimnya kuliah dalam ruangan, mahasiswa itu kuliah lapangan di bank. Bukan bank berisi uang, tapi bank yang banyak sampahnya.
Kunjungan mahasiswa STIE Satya Dharma Singaraja ke Bank Sampah Galang Panji | Foto: Dok. Bank Sampah Galang Panji
Sebanyak delapan mahasiswa, lima perempuan tiga laki-laki. Mereka mahasiswa semester tiga di Program Studi Manajemen. Didampingi seorang dosen muda, berpanas-panasan mereka belajar. Tentu belajar manajemen sesuai program studi mereka. Mereka belajar tentang organisasi bank sampah.
***
Dosen muda itu, seminggu lalu, menghubungi saya. Ia minta waktu agar bisa ajak mahasiswanya kuliah lapangan.
Saya sebagai “penjaga” Bank Sampah Galang Panji sempat menolak, dengan menyertakan dua alasan. Pertama Bank Sampah Galang Panji hanya buka hari Minggu. Tentu saya harap ia mengurungkan niatnya. Siapa yang mau kuliah hari libur.
Belum ada lima menit, ia telah membalas WA saya. “Tidak apa-apa, mahasiswa sudah setuju jika hari Minggu,” ujar dosen muda itu.
Saya cari alasan kedua. Tempat bank sampah kami kecil dan kotor, penuh sampah. Dengan tegas ia katakan, “Tenang kami hanya bersedikit orang!”
Dengan perasaan tidak tenang, saya pun tak punya alasan lagi untuk berkeberatan. Bersyukur kegiatan di tempat kerja juga sudah berkurang. Jadi kami bersepakat menerima mahasiswa dari kampus yang berada di Jalan Yudistira Singaraja itu dalam progam kuliah lapangan di Bank Sampah Galang Panji.
***
Pukul sembilan pagi, tepat sesuai surat yang dikirim mahasiswa itu datang. Berkendara sepeda motor mereka tiba dengan seragam rapi, lengkap dengan jas almamater khas perguruan tinggi.
Saya sedikit panik, belum siap, segera bergegas membersihkan meja. Juga menata sampah-sampah yang telah dibawa nasabah sebelumnya. agar ada ruang yang cukup untuk duduk.
Saya (penulis) bersama dosen muda Agung Restu (kiri) yang mengantar mahasiswanya berkunjung ke Bank Sampah Galang Panji | Foto: Dok. Bank Sampah Galang Panji
Agung Restu, nama dosen muda itu, usianya mungkin tiga puluhan tahun. Ia mulai memperkenalkan saya pada mahasiswanya. Perkenalannya mulai dari sejarah pertemuan kami pada tahun 2018. Kami sama-sama mengurusi pemilihan kepala daerah. Pun tugas itu sampai hari ini masih saya jalani.
Sementara Gung Restu, begitu saya memanggilnya, beralih profesi menjadi akademisi di kampus, di perguruan tinggi yang telah melauching diri sebagai Eco Campus di Singaraja. Ya, kampus STIE Satya Darma.
Pria yang baru saja melepas masa lajang di bulan September 2024 ini juga menjelaskan, musabab kenapa ia ingin mahasiswa hadir di bank sampah di Desa Panji. Ia ingin kiranya para mahasiswa bisa belajar langsung, mengamati dan mengalisa permasalahan di bank sampah.
Mereka melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara. Tentang bagaimana organisasi kecil bertumbuh dan bertahan sepuluh tahun lebih. Ini terkait pelajaran yang ia ampu. Implementasi Mata Kuliah Perilaku Organisasi.
***
Selesai perkenalan, mahasiswa diminta satu persatu bertanya. Ada yang malu-malu. Ada yang angkat tangan lebih dulu baru bertanya. Ada sambil mengintip catatan. Ada yang saling menoleh, nampak ragu-ragu.
Kunjungan mahasiswa STIE Satya Dharma Singaraja ke Bank Sampah Galang Panji | Foto: Dok. Bank Sampah Galang Panji
Mereka mulai dari pertanyaan sederhana. Kapan Bank Sampah Galang Panji terbentuk, hingga sampai pada pertanyaan yang saya sendiri tidak tahu pasti jawabannya. Kenapa membangun bank sampah? Apa tantangan yang dialami? Bagaimana menyadarkan warga? Seperti apa mengelola SDM (Sumber Daya Manusia) anak muda? Pertanyaan terakhir tentu merujuk pada teman-teman yang semua muda, yang membantu saya di bank sampah.
Ketika temannya bertanya, para perempuan serius mencatat, laki-laki berperan mengambil foto, pun ada yang merekam video dengan ponsel canggih mereka. Sesekali mereka mengobrol sendiri. Sembari melirik-lirik karya daur ulang sampah yang terpajang. Itu karya Rumah Plastik Mandiri dan Wajah Plastik Agus Janar.
Tatkala menerangkan jawaban acap kali saya harus terhenti. Pasalnya ada nasabah datang. Sebagian mahasiswa penuh sigap membantu. Menyapa nasabah. Menimbang sampah. Melihat-lihat jenis sampah yang ditabung. Menerka-nerka berapa nilainya.
Kala saya mencatat tabungan nasabah pada aplikasi berbasis website yang Galang Panji gunakan sejak 2021, seorang mahasiswi berujar, “Boleh saya menabung sampah di sini, Pak?”
Sontak saya gembira mendengarnya. Sebuah pertanda baik. Tentu saya membuka lebar. Bahwa siapa saja boleh menabung sampah di Galang Panji. Tidak ada syarat khusus. Yang penting punya sampah.
Temannya seorang wanita berjilbab menimpali bertanya. Seperti apa caranya membuat bank sampah di desa? Semakin senang hati saya. Dari pertanyaan itu, nampak urusan sampah masih memiliki tempat di hati anak muda.
Saya jelaskan singkat. Ia mengangguk pelan. Tentu tak mudah mendirikan bank sampah. Banyak bank sampah dibentuk di Buleleng. Berapa yang masih bertahan? Tak lebih dari hitungan jari tangan.
Waktu berlalu, hampir dua jam berdiskusi. Mahasiswa yang rata-rata asli Buleleng ini tak menunjukkan raut masam, meski keringat mulai datang perlahan. Entah karena senang, atau takut dengan dosen.
Sesi diskusi pun diakhiri. Dosen mewakili menyerahkan kenang-kenangan. Tumbler bertuliskan nama kampus. Saya hanya memberi ucapan terimakasih. Tak lupa sesi foto bersama di depan papan nama Bank Sampah Galang Panji. [T]
Penulis: Gading Ganesha
Editor: Adnyana Ole