DI satu kampung yang dikelilingi gunung batu: Gunung Batu Kulbi di timur dan Gunung Batu Wandel di barat dan Gunung Yebal di selatan dan Gunung Batu Towal Panggle di utara; hiduplah keluarga Toweli dengan damai: laki-laki berburu dan perempuan pangkur sagu, dan mereka buat kebun bersama dan mereka cari ikan di kali, dan mereka pelihara babi, dan mereka cari alyan buat tukar maskawin.
Lalu satu saat di kampung itu, mereka mau bikin acara tukar maskawin. Kepala suku tugaskan setiap kelompok cari dan kumpulkan makanan; kelompok laki-laki dewasa berburu babi: mereka pasang jerat dan bawa anjing pergi berburu dan juga buat sagu peleh. Kelompok wanita dewasa potong pohon sagu dan pangkur sagu. Lalu mereka bungkus dengan daun dan tali taruh di sumur sagu supaya sagu tidak kering.
Kepada kelompok muda-mudi pergi cari ikan, kepala suku berpesan: Kalian boleh cari ikan di kali bagian bawah, tetapi ingat, tempat di mana ada batu putih besar bagian atas kali tidak boleh kalian pancing atau molo atau buang tuba.
Kelompok anak muda dipimpin oleh Toweli.
Toweli, anak yang suka molo ikan. Wembli—sahabat baiknya juga suka molo tetapi dia lebih suka memancing dan buang tuba.
Mereka pergi ke sungai yang besar, sungai yang di pinggirnya ada banyak pohon sagu yang dikelilingi gunung batu dan tempat babi hidup dan cari makan. Sungai yang airnya jernih; sungai yang semua jenis ikan ada: sobul, alelip, alegamb, tongglo, yobigamb, purli, ple, mound dan yombop, yaitu sungai koboung.
Bagian bawa sungai itu, ada batu besar yang melintang, air sungai masuk lewat lubang batu seperti pintu yang selalu terbuka. Air sungai itu bermuara di timur.
Mereka tiba di sungai itu. Kelompok cari ikan di bagi tiga. Kelompok yang molo dipimpin oleh Toweli. Kelompok pancing dipimpin oleh Wembli. Kelompok tuba dipimpin oleh Tabanae. Yang kelompok tuba cari ikan di kali bagian bawa. Yang molo kali bagian tengah dan yang bagian atas kelompok yang pancing.
Lalu mereka bawa alat dan bahan untuk cari ikan. Rombongan Toweli bawa kaca molo, sumpit dan bakul. Begitu juga dua kelompok lain, bawa alat dan bahan sesuai cara mereka cari ikan.
Mereka cari ikan hingga waktu sudah hampir sore. Mereka berkumpul kembali di tempat awal berkumpul. Mereka kumpul hasil tangkapan. Ada yang satu bakul penuh, ada yang setengah, ada yang sama sekali tidak ada. Yang sama sekali tidak ada, itu kelompok Wembli. Mereka pancing di tempat yang banyak ikan, tapi aneh, hari itu tak ada ikan yang mau makan umpan.
Wembli tak mau pergi dengan tangan kosong. Ia dengan teman-teman sekelompoknya kembali lagi ke tempat yang tadi walaupun hari sudah mulai sore. Mereka bawa tuba. Mereka menuba di tempat yang mereka pancing itu, tempat yang orang tak pernah menuba ikan dan tak pernah pancing.
Mereka panen banyak sekali ikan di situ. Mereka isi ikan di bakul-bakul sampai penuh; satu bakul mereka isi penuh ikan alegamb, tongglo dan tagel; dan satu bakul isi penuh ikan purli dan ikan ple dan ikan mound dan ikan yombop; satu bakul lagi mereka isi kas penuh dengan ikan alelip dan yobigamb. Selain ikan-ikan itu ada satu ikan paling besar, itu ikan sobul.
Toweli dan teman-teman juga semua orang kaget melihat Wembli dan teman-temannya bawa banyak ikan.
“Wembli, kalian dapat ikan banyak ini dari mana?” Toweli bertanya,
Wembli bilang, “Ah, sudah kau jangan tanya-tanya. Itu yoronlip!” Ia bilang: ini berkat, tak perlu tanya-tanya.
Lalu mereka bawa pulang ikan itu ke rumah, dan mereka membagikan kepada setiap keluarga dengan adil. Ada yang mereka asar dan taruh, sebagai persediaan buat acara .
Besoknya adalah hari pesta perkawinan adat. Orang-orang akan panah babi, yang lain akan kumpulkan makanan: hasil buruan, hasil kebun dan sagu. Dan mereka akan saling tukar makanan: dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan.
Malam ini, mereka—pihak mempelai laki-laki, buat tarian wale-wale karena besok mau panah babi; yang akan beri kepada orang tua perempuan. Laki-laki hias kepala dengan bulu burung cenderawasih; bulu burung cenderawasih di atas kepala bagai mentari pagi kas tunjuk muka di atas puncak gunung batu kulbi; mereka pegang jubi dan turun naik sepanjang tengah kampung; perempuan pakai daun sagu yang dianyam dan di ujungnya mereka pasang bulu burung kaka tua putih. Bulu kaka tua putih yang mereka pasang di ujung daun sagu seperti bunga ilalang yang ditiup angin, ia melambai ke kiri dan ke kanan. Mereka—para penari perempuan, ikut di belakang penari laki-laki.
Seorang mama bawa kayu bakar. Ia bikin api di depan rumah dan duduk amati tarian wale-wale dan dengar sao kal yang laki-laki nyanyikan sambil menganggukkan kepala dan buang kaki pelan ke depan. Itu mama, sesekali rahu telapak tangan di atas bara api buat kas hangat jari-jari tangannya yang keram dan dingin seperti mayat punya.
Orang sekampung, semua ikut tarian wale-wale. Tarian itu mengumpulkan banyak orang; Dari yang muda sampai tua. Saat mereka lagi asyik wale-wale terdengar guntur di langit yang seketika gelap. Halilintar menyambar nyambar pepohonan di sekitar pinggiran kampung—dua pohon pinang dapat sambar. Api menyala dari ujung daun sampai ujung bawah pohon. Satu pohon ketapang yang paling tinggi, juga dapat sambar petir. Dahan ketapang patah dan api dan asap muncul, daun dan ranting gugur. Kulit pohon hangus terbakar oleh lidah petir. Beberapa kali kilatan petir itu bikin terang kampung dan hujan mengguyur kampung. Situasi ini buat para penari wale-wale lepas perlengkapan tari- tarian. Mereka berlarian, seperti tikus dapat kejar kucing, mereka masuk ke rumah masing-masing.
Mereka pulang ke rumah masing-masing dan di dalam hati, mereka bertanya-tanya: mengapa di musim kemarau ini, datang hujan? Siapa yang kirim ini hujan?
Bapa kepala suku kenal jenis hujan ini. Dia bilang: ini hujan tak sebarang hujan, ini hujan akibat langgar larangan, hujan seperti ini ome alop punya marah. Salah satu anak dari mereka yang pergi cari ikan mengakui: “Kami tuba di kolam pemali!”
Mereka tuba ikan di tempat ome alop tinggal, dan banyak ikan yang mereka bawa buat acara, dan jumlah tangkapan yang paling banyak, mereka ambil dari tempat ome alop tinggal.
Hujan disertai angin mengguyur kampung itu selama tiga hari, tiga malam, dan air sungai naik dan meluap dan di beberapa tempat tanah longsor: salah satu titik tanah longsor itu terjadi di gunung batu yang ada di pinggir sungai. Tanah longsor itu bikin kayu-kayu besar sekitar pinggir sungai roboh, kas patah batu karang putih yang ada di pinggir sungai. Batu itu peleh aliran air sungai yang bikin air tidak mengalir dan air naik.
Lalu air naik tutup dusun sagu, tempat mama pangkur sagu, tempat babi hidup dan cari makan. Lalu air naik kas tenggelam kampung.
Tak ada cara yang bisa buat hujan berhenti, yang buat air mengalir lagi. Semua orang tinggalkan kampung. Mereka mengungsi ke tempat tinggi. Mereka naik ke Gunung Yebal, Gunung Batu Towal Panggle, Gunung Batu Wandel dan Gunung Batu Kulbi.
Peristiwa ini bikin orang-orang kelaparan: tak ada sagu dan tak ada pisang atau ubi buat mereka makan.
Kepala suku bilang: tak ada cara lain, selain kita minta bantuan kepada Tu. Hanya Tu yang bisa menolong keluarga Toweli dan orang sekampung.
Lalu bapa minta kesediaan salah satu anak. Ia yang nanti panjat pohon pinang yang tingginya mencapai tempat tinggal Tu di ujung pohon besi yang besar dan tinggi; pohon pinang itu sudah tua, yang bagian ujung atasnya sudah kecil, yang orang dewasa tak mungkin panjat. Pohon pinang itu jalan satu-satunya untuk bertemu Tu. Dia yang akan menolong mereka dari bencana.
Tak satu pun anak yang mau panjat. Mereka takut ketinggian. Apalagi pohon pinang itu sudah ta-tempel dengan lumut basah, tentu sangat licin. Selain itu, pohon pinang itu sudah tua dan akar-akarnya ada yang sudah lapuk. Bagian ujungnya sudah kecil yang jika ada beban berat pasti akan patah atau roboh.
Tak ada yang mau ambil risiko.
Di antara kerumunan anak, Toweli angkat tangan sambil teriak, “Bapa, saya mau panjat!”.
Bapa kepala suku, tak rela lepaskan anaknya. Tapi demi semua orang. Bapa buat Oumgoum kasih Toweli. Yang ia buat dari daun buah merah kering. Toweli gunakan oumgoum itu panjat pohon pinang yang ujungnya sampai di tempat tinggal Tu.
Toweli kenakan oumgoum pada kaki. Ia pegang batang pohon pinang. Ia panjat dengan lincah seperti ulat yang mau makan pucuk daun matoa.
Ia telah mencapai ujung pohon pinang. Ia melihat ke bawa: orang-orang seperti semut yang merayap di gunung. Ia tutup mata, tak mau lagi lihat ke bawa. Ia angkat muka dan buang mata ke kiri; matanya menangkap sesosok burung besar: Matanya semerah buah merah, cakar dan merah parunya sehitam buah matoa matang, sayapnya sepanjang dua kali rentangkan tangan manusia dewasa, kakinya sekuat dahan kayu besi, bulunya warna abu-abu berbintik hitam dan putih.
Ia pelototi Toweli. Ia menggoyang-goyangkan bulu dan lompat-lompat di tempat ia tinggal. Seakan ia bersiap menerkam mangsa. Lubang pori terbuka dan bulu badan berdiri dari tubuh Toweli, ia hampir lepas tangan dari pokok pohon pinang.
Toweli beranikan diri, kas arah pohon pinang ke tempat Tu tinggal. Ia mendarat pada ranting-ranting kayu yang disusun rapi dan ada daun-daun kering: daun sombei, daun andel, lumut kering. Ada beberapa jenis tulang binatang berserakan: tulang babi dan tulang kuskus dan tulang ular.
Lalu ia mendaratkan kaki pada tumpukan dahan kayu dan daun kering. Kaki Toweli seakan disarung Teralop. Kakinya gemetar, tempat ia injak pun ikut goyang.
“He, anak kecil, apa urusanmu naik ke sini?”
Tu tak suka diganggu: saat ia sedang tidur, saat ia sedang menerkam mangsa, saat ia makan.
Toweli dengan suara gemetar menyampaikan: Tu, kampung kami telah tenggelam, dapatkah kau menolong kami?
Tu diam. Lalu Tu beri isyarat: ia siap
membantu keluarga Toweli dan orang sekampung dari bencana hujan dan banjir. Tapi dengan persyaratan: Toweli dan keluarga menyediakan anak babi buat ia. Jika ia menyanggupi maka Tu akan mengantar Toweli pergi ke tempat ome alop tinggal. Dia ada tongkat sakti yang bisa buka lubang-lubang air. Tu juga punya yoblogamb untuk kas berhenti hujan.
Toweli kembali turun dan sampaikan permintaan Tu. Setiap kepala keluarga dari kampung itu akan sumbangkan anak babi satu-satu ekor. Anak babi yang sehat dan gemuk berdaging empuk.
Keluarga Toweli dan masyarakat sekampung menyediakan anak babi sebagai imbalan terima kasih dan juga buat Tu senang .
Tu menyusul Toweli. Terbang turun di tempat Toweli dan orang sekampung tinggal. Ia berikan yoblogamb kepada kepala suku. Ia bilang kepada kepala suku, “Yoblogamb ini, daunnya kau bakar di api dan buat banyak asap dan isinya kau mengunyah dan hambur di atas perut air!”
Lalu ia kas naik Toweli di atas badan dan mengepakkan sayap dan terbang pergi; hinggap di pepohonan dan dari satu pohon ke pohon lain dan terbang rendah di atas perut air yang sudah jadi pulau, ia cari kolam pemali berada. Ome alop tinggalnya di situ.
Ia menemukan tempat tinggal ome alop. Mereka sedang duduk bicara. Mereka bicara untuk buat bencana lagi. Mereka bilang, “Manusia tak pernah bersyukur dengan yang kita sudah beri!”
Mereka mau tutup lubang-lubang air mengalir dan lubang-lubang ikan keluar.
Tu kas turun Toweli dan ia berubah rupa menjadi ikan Sobul. Batas dari ketiak sampai kaki menyerupai ikan dan tangan dan kepala manusia. Ia masuk di air. Para ome alop selagi sibuk rapat. Ia ambil tongkat buat gulingkan batu yang peleh aliran air. Dan tongkat yang buat buka pintu-pintu ikan.
Toweli ambil tongkat dan segera berenang ke permukaan.
Di atas permukaan air, Toweli kembali berubah rupa seperti semula dan naik di atas badan Tu.
Tu antar Toweli ke bagian bawa sungai, tempat tanah longsor. Karena matahari sudah mau terbenam. Tu bilang kepada Toweli, “Kau harus sudah selesai buka lubang air dan lubang ikan sebelum gelap!”
Toweli kembali berubah rupa jadi ikan sobul. Ia menyelam di dasar air; ia kas pecah batu yang peleh lubang aliran air, air yang tadi tergenang mulai surut; dan ia buka lubang ikan. Dia buka lubang ikan Sobul, lubang ikan alegamb, lubang ikan ple. Karena ia keasyikan buka lubang ikan, dengan harapan jika buka lubang ikan sebanyak-banyaknya mereka akan selalu gampang cari ikan, Toweli lupa yang Tu pesan—matahari terbenam, bumi mulai gelap. Tu cemas, jangan-jangan Toweli tak bisa kembali pada wujud asli.
Tu menunggu dan keluarga pun menunggu. Sampai gelap pun Toweli tak kembali-kembali. Ome alop menangkap Toweli dan menahan dia.
Dia kini, selamanya sebagai ikan Sobul. Dia menjaga lubang air yang tetap mengalir. Dia akan kasih tanda di tempat-tempat yang ome alop tinggal. Dia akan buka lubang-lubang ikan pada saat manusia mau cari ikan. Dia yang akan menjaga sungai tetap menghasilkan banyak ikan dan melindungi manusia dari bencana: hujan, longsor dan banjir.
Goraka yang bapa bakar buat hujan berhenti, jumlah air berkurang dan surut. Toweli yang dengan tongkat saktinya telah membuka lubang air buat air semakin surut dan kembali jernih, kecuali di tempat-tempat lubang ikan, masih ada air yang tergenang.
Lalu keluarga Toweli dan orang sekampung sediakan punya anak babi yang Tu minta. Telah tersedia. Tu makan anak babi itu dengan lahap. Ia sudah kenyang dan punya kekuatan.
Tu telah makan dan kenyang. Ia terbang pulang ke atas ujung pohon besi, tempat ia tinggal.
Lalu sebagai penghormatan kepada Toweli, setiap awal tahun, orang akan buat tarian adat ome kiyebil untuk menyenangkan hatinya dan menyembuhkan seseorang yang sakit oleh gangguan ome alop.
Keluarga Toweli dan orang sekampung kembali hidup normal: teman-teman Toweli cari ikan di sungai dengan bebas, mama pangkur sagu dengan semangat, bapa berburu babi dan kuskus dengan gembira dan bersama-sama buat kebun.
Keterangan:
- Ome Alop: jin air
- Ter Alop: dokter adat
- Ome kiyebil: tarian adat penyembuhan
- Tu: Burung garuda
- Alyan: uang adat
- Yoblogamb: obat alam, yang daunnya menyerupai daun bawang merah atau daun ilalang yang sedikit tebal, isinya menyerupai jahe.
Semografi, 2025