DALAM beberapa tahun terakhir, saya tertarik mengamati fenomena penggunaan bahasa di media sosial. Dari hasil pengamatan saya, salah satu yang cukup mencolok adalah penggunaan kata giat sebagai pengganti kegiatan. Secara sintaksis, penggunaan ini menimbulkan pertanyaan karena giat merupakan adjektiva (kata sifat), sedangkan kegiatan adalah nomina (kata benda). Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan dalam pola bahasa sehari-hari, tetapi juga menunjukkan dinamika bahasa yang terus berkembang dalam konteks komunikasi digital.
Kegiatan berasal dari kata dasar giat yang berarti rajin, aktif, atau penuh semangat. Dalam bahasa Indonesia, giat merupakan adjektiva yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat atau perilaku seseorang, seperti dalam kalimat “Dia giat belajar”. Kata giat ketika diberi imbuhan ke-an, kata ini berubah menjadi kegiatan yang berarti aktivitas atau tindakan yang dilakukan seseorang. Dengan demikian, giat dan kegiatan memiliki fungsi gramatikal dan makna yang berbeda.
Fenomena yang mengemuka di media sosial, kata giat sering digunakan sebagai bentuk kontraksi dari kegiatan. Contohnya, kalimat seperti Ada giat bersih-bersih di taman hari ini kerap ditemukan menggantikan kalimat baku Ada kegiatan bersih-bersih di taman hari ini. Penggunaan ini bertujuan untuk mempersingkat pesan, mengingat keterbatasan ruang karakter di beberapa media sosial atau kenyamanan komunikasi cepat.
Meski terlihat praktis, penggunaan ini menimbulkan persoalan sintaksis. Dalam kaidah bahasa Indonesia, posisi nomina, seperti kegiatan, tidak dapat digantikan oleh adjektiva, seperti giat. Artinya, kalimat dengan struktur seperti ini menjadi tidak baku atau tidak sesuai dengan norma kebahasaan yang berlaku.
Kemungkinan yang mendorong fenomena ini adalah efisiensi komunikasi. Media sosial mendorong penggunaan bahasa yang singkat dan cepat. Kata giat yang lebih pendek dianggap lebih praktis dibandingkan kegiatan. Ini bisa juga terjadi karena pengaruh bahasa lisan dalam percakapan sehari-hari, kontraksi kata sering terjadi sebagai bentuk efisiensi. Hal ini kemudian terbawa ke dalam tulisan. Hal ini bisa juga sebagai sebuah kreativitas berbahasa di media sosial. Media sosial sering menjadi tempat eksperimen bahasa, aturan baku sering diabaikan demi gaya atau tren tertentu. Selain itu, yang patut dicurigai lagi adalah kurangnya pemahaman kaidah bahasa. Tidak semua pengguna media sosial memahami perbedaan gramatikal antara adjektiva dan nomina sehingga penggunaan kata sering kali didasarkan pada kebiasaan.
Penggunaan giat sebagai pengganti kegiatan menunjukkan fleksibilitas bahasa Indonesia, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang degradasi norma bahasa. Jika dibiarkan tanpa edukasi yang memadai, perubahan ini dapat memengaruhi kemampuan generasi mendatang untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baku.
Namun, penting untuk diingat bahwa bahasa adalah fenomena yang hidup dan dinamis. Perubahan seperti ini bukan hal baru dalam sejarah linguistik. Banyak kata yang awalnya dianggap “salah” akhirnya diterima sebagai bagian dari bahasa formal setelah melalui proses adaptasi dan penerimaan masyarakat luas.
Untuk menjaga keutuhan bahasa Indonesia, perlu ada upaya edukasi dan literasi bahasa, terutama di kalangan generasi muda. Media sosial juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyebaran informasi tentang penggunaan bahasa yang benar. Kampanye kreatif untuk memopulerkan penggunaan bahasa baku, misalnya melalui meme atau video pendek, dapat menjadi cara efektif untuk melawan tren penggunaan bahasa yang tidak sesuai kaidah.
Fenomena kontraksi kegiatan menjadi giat di media sosial mencerminkan adaptasi bahasa terhadap kebutuhan komunikasi modern. Walaupun praktis, penggunaannya menimbulkan tantangan dari segi kebakuan sintaksis. Penting bagi kita untuk terus menjaga keseimbangan antara fleksibilitas dan norma bahasa agar bahasa Indonesia tetap relevan sekaligus terjaga keutuhannya sebagai alat komunikasi yang efektif. [T]
BACA artikel lain tentang BAHASA atau artikel lain dari penulis MADE SUDIANA