28 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Wayang Wong Tejakula dan Kondisi Ekosistem Pendukungnya

JaswantobyJaswanto
December 31, 2024
inLiputan Khusus
Wayang Wong Tejakula dan Kondisi Ekosistem Pendukungnya

Wayang Wong Tejakula saat pentas di Pura Gede Sambangan, Tejakula | Foto: Mulawali Institute/Amri

DI jaba tengah (madya mandala)—semacam ruang bagian tengah—Pura Ratu Gede Sambangan, Tejakula, Buleleng, Bali, orang-orang berkumpul, berdesak-desakan, menanti sebuah pertunjukan. Ada yang berdiri; ada pula yang duduk nyaman di pinggir-pinggir arena pementasan.

Tangga menuju utama mandala—atau jeroan pura (bagian dalam pura yang suci)—menjelma tribune yang strategis untuk menonton. Di tempat penonton sebelah timur, segerombolan bule berkulit pucat dan berambut pirang ikut berebut tempat duduk. Suasana kian ramai, Pecalang ekstra menertibkan.

Sesaat setelah rombongan bule itu duduk panas-panasan, sekira pukul 4 sore kurang sedikit, delapan gender mulai ditabuh. Kendang dan gong menyusul kemudian.

Seorang lelaki paruh baya berambut panjang berkacamata hitam metalic memulai melanggamkan tembang—seperti merapal mantra-mantra purba. Suaranya menggema di antara ramai yang kian tak terkendali. Di sela jari tangan kiri lelaki paruh baya tersebut, terselip rokok yang tak kunjung ia isap.

Duduk di depan para penabuh gamelan pengiring, lelaki “nyentrik” itu kadang berteriak, bergumam seperti berdialog, dengan suara berat kadang ia juga merintih menyedihkan. Dialah Jro Dalang Sukadana yang berlaku sebagai sendon—orang yang melukiskan suasana, tempat, atau keadaan yang sifatnya mengharukan. Seusai menembang, Jro Dalang menenggak air dalam kendi yang teronggok di sampingnya.

Pertunjukan dimulai. Dua punakawan, Malen (Tualen) dan Wana (di Bali Selatan disebut Merdah), memasuki arena. Tualen yang bertubuh gemuk dan Wana yang kurus, dua-duanya berwajah jenaka, namun juga seperti dua orang tua bijak yang sekaligus konyol—gambaran punakawan yang umum digunakan dalam cerita pewayangan, sebagaimana Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam cerita pewayangan di Jawa.

Tualen dan Wana menari-nari kecil mengintari panggung pertunjukan yang dirubung penoton. Mereka berdialog, meski tak seorang pun mengerti apa yang dikatakan. Selain karena pelan, kalah dengan ramai di sekitarnya, bahasa yang digunakan juga tak mudah dipahami. Mereka menggunakan bahasa Kawi.

Tak lama setelah dua abdi kesatria Ayodhya itu menari-nari kecil dengan gestur konyol dan mengundang gelak, tiga kesatria memasuki arena pertunjukan. Tualen dan Wana menghaturkan sembah.

Ialah Rama dari Ayodhya, dengan simbol topeng berwarna hijau, mahkota, dan pernak-pernik mewah, menari dengan angun, berwibawa, dan tampak bijaksana. Sama halnya dengan Tualen dan Wana, Rama juga berbicara menggunakan bahasa manusia yang hidup di masa lalu yang jauh itu.

Di tempat penonton, sambil berdiri dan berdesakan, seorang ibu bertanya, setengah berbisik, kepada anaknya yang juga berdiri di dekatnya. “Dialah Rama. Kalau sudah besar, kamu mau belajar menarikannya?”

Sambil menyedot minuman rasa-rasa yang mengandung aspartam, si anak—yang mungkin baru berumur lima tahunan—tak menanggapinya. Barangkali si anak tak paham maksud ibunya. Mungkin pertanyaan itu masih gelap bagi anak seusianya. Atau si anak justru memiliki ketertarikan yang lain?

Babak demi babak berlangsung begitu saja. Jro Dalang kembali menembang. Gender, gong, dan kendang ditabuh, serempak mengiringi setiap tokoh Wayang Wong yang keluar-masuk satu per satu. Pada babak Sugriwa, Hanoman, dan pasukan keranya masuk, penonton bersorak sekaligus takjub melihat penari Hanoman melompat-lompat lincah.

Katalog Wayang Wong Tejakula koleksi Luh Menek | Foto: Mulawali Institute/Amri

Para bule berkulit pucat itu terbelalak, tersenyum, memotret dan merekamnya. Anak-anak, yang duduk dan berdiri berdesakan, menyebut nama-nama para tokoh Wayang Wong sambil sesekali menirukan gerak tari dan suara-suara yang terlontar dari lisan para pasukan kera.

Menjelang akhir cerita, pasukan Rama yang didominasi wangsa kera dan burung, adu tanding dengan bala tentara Rahwana dari kalangan raksasa. Simbol kebaikan dan keangkaramurkaan itu bentrok, penonton bersorak, anak-anak melontarkan teriakan-teriakan yang membuat arena laga itu menjadi seru dan meriah. Dan suara gamelan membuatnya semakin dramatis. Jaba tengah Pura Ratu Gede Sambangan menjelma arena laga para pendekar pilih tanding beradu kesaktian.

Meski tak ada adegan salto, terbang, atau gimik-gimik semacamnya, sebagaimana film-film kolosal Tanah Air, pertarungan antara simbol kebaikan dan kemungkaran itu tetap seru dan menegangkan. Dan begitulah lakon “Ripati Patih Sputa Daksa lan Pratapa Naksir” Wayang Wong Tejakula memungkasi pementasannya pada hari jadi Pura Ratu Gede Sambangan yang jatuh pada 26-29 Mei 2024.

“Pada saat panglebar (acara penutupan), pertunjukan wayang wong akan dilanjutkan dengan lakon Ripati Jambul Mali, Senopati Rahwana, yang akan melawan Hanoman,” ujar Ketut Sweta Swatara, seniman dan pelatih Wayang Wong Anak Tejakula, memberi informasi.

Ekosistem Wayang Wong Tejakula

Berkaca pada pementasan Wayang Wong Tejakula di Pura Ratu Gede Sambangan pada bulan Mei lalu, eksistensi kesenian tua ini sepertinya tidak begitu mengkhawatirkan dalam konteks ritual keagamaan. Antusiasme masyarakat Tejakula, dari yang tua sampai muda, begitu besar—dan seperti tak terbendung. Mereka tak sekadar melestarikannya, tapi mengimaninya.

Lihatlah, tempat ibadah yang bertengger di bukit terjal di Tejakula itu, penuh-sesak umat Hindu. Dan regenerasi seniman wayang wong (sakral—jeroan) yang berdasar pada keturunan juga merupakan benteng yang kokoh, setidaknya selama umat masih mempercayainya.

“Yang sakral aman-aman saja, selama umat Hindu Tejakula masih ada. Tapi kondisi yang profan (jabaan) ini memang perlu diperhatikan,” ujar Eta—panggilan akrab Ketut Sweta Swatara—saat diwawancarai di tempat kerjanya beberapa minggu sebelum pementasan wayang wong di Pura Ratu Gede Sambangan diselenggarakan.

Benar. Wayang Wong Tejakula memang perlu diperhatikan, entah yang sakral maupun yang profan, keduanya sama-sama penting. Memperhatikan kesenian wayang wong artinya menciptakan ekosistem yang sehat dari hulu sampai hilir. Lantas, bagaimana wajah ekosistem—dalam hal ini kreasi, manajemen produksi, distribusi, konsumsi, dan apresiasi—Wayang Wong Tejakula hari ini? Apakah sudah sesuai dengan harapan banyak pihak atau justru sebaliknya?

Katalog Wayang Wong Tejakula koleksi Luh Menek | Foto: Mulawali Institute/Amri

Seperti yang telah disampaikan Ketut Eta di atas, Wayang Wong Tejakula memang sudah berkembang menjadi hiburan khalayak (budaya massa) di luar pura (profan), tidak lagi hanya sebagai kesenian sakral yang dipentaskan di pura sebagai “pelengkap” ritual keagamaan saja, sebagaimana pada awalnya, dulu. Tetapi, meski telah membelah diri menjadi kesenian sakral dan profan, Wayang Wong Tejakula tetap menjadikan kakawin Ramayana sebagai acuan cerita.

Perkembangan Wayang Wong Tejakula sebagai budaya massa sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, kisaran tahun 1975, sebagaimana cerita Jro Mangku Dalang Made Sadnyana. Menurut Tokoh Wayang Wong Tejakula itu, pada tahun tersebut beberapa seniman Tejakula bersepakat mereproduksi wayang wong—meminjam istilah yang ia gunakan—duplikat atau orang Tejakula kerap menyebutnya “wayang wong jabaan”.

Ya, pada masa Orde Baru itu bahkan sosok Sardono W Kusumo dan pelukis legendaris Tejakula Nyoman Tusan membawa Wayang Wong Tejakula (kreasi baru) pentas di luar negeri. Belakangan, seniman Wayang Wong Tejakula mendirikan Sekaa Wayang Wong Guna Murti sebagai wadahnya.

Jadilah Wayang Wong Tejakula tak hanya pentas di pura—seperti di Pura Pemaksan, Pura Ratu Gede Sambangan, Pura Dangin Carik, Pura Puseh, Pura Bale Agung, dan Pura Dalem—saja, tapi juga di panggung-panggung pura di luar desa, hotel, festival, hut kota, dan acara-acara pemerintah lainnya, bahkan acara agung semacam Pesta Kesenian Bali (PKB), maupun Indonesia Bertutur yang berlangsung beberapa bulan lalu.  

Hal tersebut menunjukkan bahwa Wayang Wong Tejakula, sekali lagi, yang awalnya hanya sebagai ritus yang sakral, berkembang menjadi lebih dinamis dalam bentuk komodifikasi ritual di luar pura—dengan sentuhan kreasi baru tentu saja—dan kebutuhan-kebutuhan presentasi estetis dalam konteks seni pertunjukan, atau dalam kata lain: hiburan. Sehingga, pada titik ini, wayang wong dapat dinikmati berbagai kalangan, tak hanya umat Hindu Tejakula saja.

Transformasi kreasi tersebut tentu memengaruhi ekosistem Wayang Wong Tejakula. Kesenian yang awalnya terkesan eksklusif, bahkan cenderung konservatif itu, telah mencair dan mendapat banyak perhatian masyarakat luar Desa Tejakula. Wayang wong menjadi “populer”; lalu menjadi komoditas pariwisata sebagaimana Barong dan Rangda di Bali Selatan. Namun, sedikit masalah kemudian muncul.

Wayang Wong Tejakula saat pentas di Pura Gede Sambangan, Tejakula | Foto: Mulawali Institute/Amri

Menurut hasil penelitian Mulawali Institute bersama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Bali-NTB (2024), kondisi kreasi kesenian Wayang Wong Tejakula secara holistik mengerucut pada tiga persoalan utama, yaitu pengetahuan umum Wayang Wong Tejakula yang masih minim catatan, regenerasi sutradara dan aktor-aktor sentral yang tak berjalan mulus, pula pengetahuan khusus, seperti gerak tari wayang wong, tabuhan, kisah-kisah, atau semacamnya yang nyaris tak terdokumentasi.

“Sejauh ini belum ada catatan mengenai itu,” ujar Dalang Sadnyana. Peran sentral Jro Dalang Sadnyana sebagai satu-satunya, katakanlah, sutradara, penari, sekaligus penabuh, yang paham dan fasih dalam laku-pengetahuan Wayang Wong Tejakula merupakan permasalahan utama. Nyaris tak ada lagi sosok yang otoritatif dalam menjelaskan seluk-beluk Wayang Wong Tejakula kecuali Sadnyana. Ini cukup mengkhawatirkan sebenarnya. Meskipun belakangan Eta tampaknya dapat diharapkan.

Kemudian, minimnya seniman yang mampu menguasai peran-peran sentral dalam lakon cerita wayang wong juga menjadi permaslahan yang harus segera dicarikan solusinya. Sebagai contoh, ketika penari yang biasa menarikan Delem sedang berhalangan pentas, misalnya, dapat dipastikan Sekaa Wayang Wong Tejakula akan kesulitan memperoleh pengganti—yang memiliki kualitas setara meskipun memiliki banyak penari—atau justru tidak jadi pentas sama sekali.

“Pun sedikit masyarakat Tejakula, khususnya seniman-penari wayang wong, yang berminat belajar mendalami teks Ramayana atau bahasa Kawi, atau unsur konseptual wayang wong lainya. Sehingga, ini berdampak pada ketersedian SDM seniman, guru atau pelatih yang memiliki pengalaman sekaligus pengetahuan yang komprehensif—mendalam,” terang Jero Dalang Sadnyana.

Meski sudah ada sekaa (semacam komunitas/kelompok) yang menaungi kesenian yang diperkirakan muncul sejak abad XVI (1460-1550) pada zaman Kerajaan Gelgel (Klungkung) itu, tapi urusan manajemen produksi tetap saja tak berjalan mulus. Itu karena sekaa masih dikelola secara tradisional. Sehingga, struktur organisasi belum bekerja secara optimal. Dalam kegiatan produksi Wayang Wong Tejakula, entah dalam hal wacana pengetahuan maupun kreasi pertunjukan, masih kerap tersendat-sendat—alih-alih merancang dan menghasilkan program yang berkelanjutan.

Hal tersebut menimbulkan masalah baru, yakni distribusi pengetahuan dan pertunjukan menjadi sedikit terhambat. Apalagi tidak banyak sekolah atau lembaga pendidikan formal yang memasukkan Wayang Wong Tejakula dalam kurikulum muatan lokal, sehingga generasi muda tidak mendapatkan kesempatan untuk mempelajarinya secara lengkap, luas, dan lebih rinci. Program pelatihan yang ada sering kali tidak cukup memberikan pemahaman yang mendalam tentang aspek teknis dan filosofis dari wayang wong.

Belum lagi perubahan sosial dan budaya yang cepat seperti sekarang, termasuk urbanisasi dan globalisasi, yang membuat generasi belakangan lebih tertarik pada budaya populer dan modern—yang justru lahir dari tempat yang jauh—daripada kesenian tradisi yang justru tak jarang mendapat penilaian peyoratif. Jelas ini membuat penurunan minat dan keterlibatan dalam pelestarian wayang wong.

Wayang Wong Tejakula saat pentas di Pura Gede Sambangan, Tejakula | Foto: Mulawali Institute/Amri

Lalu, bagaimana dengan dukungan pemerintah atau lembaga kebudayaan lainnya? Seperti kisah lama yang diulang-ulang, jawabannya sudah dapat ditebak. Bantuan atau dukungan dalam pelestarian dan pengembangan wayang wong selama ini jelas sering kali kurang memadai. Ini termasuk kurangnya bantuan infrastruktur fisik, sarana-prasarana (tempat penyimpanan topeng (tapel), gamelan, kostum, dll), bantuan sosial, dana penelitian, dokumentasi, dan pelatihan, serta promosi untuk meningkatkan kesadaran, konsumsi, dan apresiasi.

Apresiasi pemerintah, biasanya, perlu diakui masih banyak yang bersifat sporadis, tidak sistemik dan berkelanjutan—dan parahnya masih banyak apresiasi yang gebyah uyah tanpa berdasar pada data, fakta, dan realita di lapangan; pun tanpa dasar pengetahuan atas kebutuhan yang diperlukan pelaku kesenian. Kebutuhannya tapel dan kostum wayang wong, yang datang justru seperangkat gong kebyar, misalnya.

Menjaga Nyala Wayang Wong Tejakula

Namun, dalam sejarah kita diberitahu bahwa tak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan. Terang pasti ada. Lihatlah sosok Ketut Sweta Swatara yang setia menjaga nyala Wayang Wong Tejakula dengan mendirikan Sekaa Wayang Wong Anak Tejakula bersama Camat Tejakula Gede Suyasa pada 2020 silam sebagai bentuk regenerasi sejak dini.

Sekaa yang oleh Suyasa dinamai Sispri-Link itu kini telah memiliki 40-an anggota, dari SD sampai SMP. Dan uniknya, setiap anak yang ikut latihan wayang wong di sekaa ini, harus membayar menggunakan sampah plastik, bukan uang.

“Itu ide Pak Camat,” ujar Eta sembari tersenyum setelah ia selesai melatih anak-anak. Camat Tejakula telah menggabungkan pelestarian kesenian dan lingkungan dalam satu piring sekaligus. Ia percaya bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan juga merupakan praktik kebudayaan.

Eta dan Suyasa, juga orang-orang yang mendukung apa yang mereka kerjakan, memberi napas baru bagi kesenian Wayang Wong Tejakula—barangkali menyambung napas perjuangan Sardono W Kusumo dan Nyoman Tusan dan seniman terdahulu.

Apa yang dilakukan Eta dan Pak Camat semacam pribahasa “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”. Satu sisi membantu melestarikan dan mencetak generasi baru wayang wong, di sisi lainnya mengajarkan betapa pentingnya menjaga dan merawat lingkungan.

Dari mereka kita belajar bahwa kesenian dapat dipertemukan dengan pemerhati lingkungan. Jika begitu, seharusnya agama pun demikian. Agama, dengan segala ajaran luhurnya, mestinya dapat menjaga lingkungan—sebagaimana kesenian di tangan Eta, Suyasa, dan orang-orang di sekitarnya.

Sekaa Wayang Wong Guna Murti Tejakula saat pentas di panggung Indonesia Bertutur 2024 | Foto: Mulawali Institute

Apa yang dilakukan Eta dan Suyasa diharapkan dapat konsisten dan berkelanjutan. Sebab, gerakan semacam ini tidak dapat diromantisasi—karena penuh jebakan dan kompleksitas. Sekaa Wayang Wong Anak Tejakula harus terus bernegosiasi dengan banyak hal, termasuk negara dan modal. Ia harus berhati-hati untuk tidak tercemar politik identitas yang terlanjur merasuk sampai ke ceruk-ceruk terdalam bangsa ini, dan harus bersusah-payah menjaga nyala dan menggugah partisipasi yang terlanjur tergerus mentalitas masyarakat yang transaksional, atau pertarungan kepentingan antarkelompok.

Sampai di sini, wayang wong di Tejakula, sekali lagi, sebagaimana keyakinan masyarakatnya, sepertinya tidak akan pernah “mati” selama masih berkaitan—dan menjadi sesuatu yang dianggap penting—dalam upacara yadnya (berhubungan dengan ketuhanan).

Kesenian ini akan selalu ada di tengah-tengah masyarakat Tejakula bagaimana pun kondisinya. Apalagi, pada 2015, kesenian yang pernah mendapat perhatian dari 56 negara yang tergabung dalam International Mask Arts And Culture Organization (IMACO) ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO.

Dan meski tak luput dari cerita yang gampang ditebak atau jadi dunia verbal yang itu-itu-lagi; jadi narasi yang kehilangan hening, yang mengakibatkan—memimjam kata Goenawan Mohamad—“klise tumbuh seperti benalu pada karya seni, yang mematikan daya cipta” sebab “klise adalah hasil yang selalu siap mengikuti formula—gampang karena mengulang”, Wayang Wong akan selalu dipelajari dan dipentaskan sampai kapan pun. Kesakralan kesenian ini menjadi benteng utama dalam kelestariannya.

Upaya ini perlu terus dilanjutkan dari segala arah, dengan pendekatan transdisiplin, melalui ingatan dan penggalian kembali warisan masa lalu, maupun kreasi baru yang mencerahkan. Cerita, lagu, dan berbagai karya seni lainnya, dan yang terutama adalah melalui praktik mengorganisasikan kolektivitas secara inklusif, harus terus diproduksi dan digalakkan.

Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan pertunjukan wayang kulit di Jawa. Di Jawa hari ini, seperti yang pernah dikatakan Mahfud Ikhwan dalam esainya, tanpa mencoba meremehkan para pemujanya, juga falsifikasi atasnya, wayang kulit tak pernah melebihi fungsi asalinya: hiburan rakyat. Dengan bahasa yang lebih akademis: budaya massa.

Tetapi, hari ini, wayang di Jawa kalah bersaing dengan budaya massa yang lain, dan kemudian gagal lolos dari ujian masa. Mungkin karena formatnya yang kurang menarik, mungkin perangkat sosial-budayanya kurang memadai, atau mungkin juga ada penyebab lain.

Sepertinya, sekali lagi mengutip Goenawan Mohamad, memang sudah lama dunia pewayangan tak digerakkan daya cipta. Kisah Mahabharata dan Ramayana berubah sekadar jadi potongan-potongan melodrama.

Cerita-cerita wayang hanya menempatkan para Kurawa dalam pihak yang-jahat-dan-pasti-kalah, dan Pandawa pada posisi sebaliknya. Wayang kulit makin tak berdaya membangun sebuah tragedi. Semoga, Wayang Wong Tejakula tak bernasib demikian. Ya, semoga.[T]

Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole

Menyemai Harmoni Gambelan Tradisi di Jantung Budaya Bali: Pembinaan dan Pementasan Iringan Batel Wayang Wong di Banjar Pesalakan, Gianyar
Wayang Wong (Anak) Tejakula: Melestarikan Kesenian, Menjaga Lingkungan
Ketut Sweta Swatara, Menjaga Nyala Wayang Wong Tejakula
Menyaksikan Lakon Wayang Wong “Ripati Patih Sputa Daksa lan Pratapa Naksir” di Pura Ratu Gede Sambangan Tejakula
Ketika Siswa SMKN 4 Bangli Memainkan Wayang Wong Kumbakarna Lina
Wayang Wong yang Kikuk di Panggung “Buleleng Festival”
Tags: kesenian baliMulawali InstituteTejakulawayang wongWayang Wong Tejakula
Previous Post

Apa Tantangan Arsitektur di Bali Saat ini dan Masa yang akan Datang?

Next Post

Perjalanan di Tahun 2024: Pelajaran Sebagai Pondasi untuk Melangkah di Tahun 2025

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Puasa, Kebutuhan dan Hari Kelahiran

Perjalanan di Tahun 2024: Pelajaran Sebagai Pondasi untuk Melangkah di Tahun 2025

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Kisah Perseteruan Anak Banteng dan Sang Resi

by Ahmad Sihabudin
May 27, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

PERSETERUAN anak-anak banteng dengan seorang resi kesatria paripurna masih terus berlanjut, malah semakin sengit dengan melontarkan serangan membabi-buta, penuh amarah...

Read more

Menelusuri Jejak Walter Spies Sembari Membangun Refleksi Pembangunan Bali

by Gede Maha Putra
May 26, 2025
0
Menelusuri Jejak Walter Spies Sembari Membangun Refleksi Pembangunan Bali

NAMA Walter Spies tentu saja sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Bali, terutama Ubud. Di tempat tinggal terakhirnya...

Read more

Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

by Hartanto
May 25, 2025
0
Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

"Seniman adalah wadah untuk emosi yang datang dari seluruh tempat: dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, dari bentuk yang...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space
Pameran

Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space

ANAK-ANAK muda, utamanya pecinta seni yang masih berstatus mahasiswa seni sudah tak sabar menunggu pembukaan pameran bertajuk “Secret Energy Xchange”...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Wahyu Sanjaya dan Cintya Pradnyandewi Terpilih Sebagai Duta Bahasa Provinsi Bali 2025
Gaya

Wahyu Sanjaya dan Cintya Pradnyandewi Terpilih Sebagai Duta Bahasa Provinsi Bali 2025

WAYAN Wahyu Sanjaya dan I Gusti Ayu Cintya Pradnyandewi  terpilih sebagai Duta Bahasa Provinsi Bali 2025 dalam puncak acara pemilihan...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co