KALA Teater kembali menunjukkan keindahan seni panggung melalui karya terbarunya, Passompe’: Perjalanan Melintas Batas Kesedihan. Disutradarai dan ditulis oleh Shinta Febriany, pementasan ini tak hanya bercerita tentang tradisi migrasi masyarakat Bugis-Makassar, tetapi juga menggugah emosi dan menyingkap makna perantauan yang begitu lekat dalam sejarah dan jiwa budaya Sulawesi Selatan.
Pementasan ini yang digelar di Gedung Mulo, Makassar, pada 10 Desember 2024, pementasan ini merangkum semangat perlawanan, harapan, dan nostalgia dalam sebuah mahakarya yang pantas dikenang.
Pementasan Passompe’ dari Kala Teater | Foto: Dok. Kala Teater
Teater Passompe’‘ dengan alur maju mundur, melintasi batas waktu abad 17-21 berhasil memberikan eksplorasi mendalam tentang tradisi migrasi orang Bugis yang berakar pada tragedi dan perjuangan pasca Perang Bongaya. Perang Bongaya (1667) menjadi titik balik penting dalam sejarah Bugis-Makassar, di mana perjanjian tersebut memaksa mereka untuk tunduk pada VOC dan menyerahkan sebagian besar otonomi mereka.
Kekalahan itu tidak hanya melahirkan trauma tetapi juga memantik semangat perlawanan yang abadi—sebuah perjuangan yang tidak pernah mengenal kata menyerah.
Orang Bugis menjawab kekalahan ini dengan massompe’, atau merantau, meninggalkan tanah air mereka untuk mencari harapan baru di wilayah-wilayah jauh. Massompe’ bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga ekspresi dari siri’ na pesse—rasa harga diri dan solidaritas yang mendalam.
Dalam semangat mallekke dapureng (keberanian untuk meninggalkan zona nyaman demi masa depan), mereka melintasi lautan dengan perahu-perahu seperti Pinisi, Palari, dan Lambo, membawa serta harapan untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik.
Pementasan Passompe’ dari Kala Teater | Foto: Dok. Kala Teater
Teater ini secara puitis menggambarkan bagaimana orang Bugis menggunakan “tiga ujung” sebagai strategi bertahan hidup dalam perantauan: yang pertama ujung lidah (diplomasi), kedua ujung kemaluan (perkawinan), dan terakhir ujung badik (perlawanan).
Melalui diplomasi, mereka membangun hubungan dengan komunitas baru; melalui perkawinan, mereka mengakar pada budaya asing tanpa kehilangan identitas mereka; dan melalui perlawanan, mereka mempertahankan martabat serta tanah air simbolis mereka di hati.
Lakon Passompe’‘ memadukan elemen sejarah dan mitos, mengangkat kisah Sawerigading dari epos Sureq Lagaligo. Sawerigading, yang juga seorang perantau besar, menjadi simbol dari perjuangan tak kenal lelah dan semangat melintasi batas-batas untuk menemukan makna baru dalam kehidupan. Pesan ini relevan dengan pengalaman diaspora Bugis, di mana setiap perjalanan adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan upaya untuk mempertahankan martabat.
Penonton juga diajak untuk merenungkan kompleksitas identitas transnasional orang Bugis, di mana setiap persinggungan budaya menghasilkan identitas yang kaya dan dinamis. Teater ini menggarisbawahi bahwa massompe’ adalah perjalanan spiritual yang mempertegas nilai-nilai Bugis di tengah perubahan zaman.
Pementasan Passompe’ dari Kala Teater | Foto: Dok. Kala Teater
Dengan latar musik tradisional dan dialog yang menggugah emosi, Passompe’‘ tidak hanya menjadi pengingat akan masa lalu tetapi juga penghormatan terhadap semangat para perantau Bugis yang terus hidup hingga kini. Pesannya adalah bahwa perjuangan bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang keberanian untuk terus melangkah meski menghadapi keterasingan dan kesedihan.
Fenomena massompe’ diulas sebagai simbol mobilitas sosial dan identitas transnasional yang telah berlangsung sejak abad XVII. Pada masa itu, migrasi dipicu oleh tekanan pasca Perjanjian Bongaya tahun 1667, yang memaksa masyarakat Bugis untuk meninggalkan tanah air sebagai bentuk perlawanan dan tidak berterimanya masyarakat terhadap kekuasaan kolonial VOC pada saat itu.
Pementasan yang menyajikan kisah tragis namun penuh semangat tentang pergulatan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Dalam konteks ini, tema kesedihan yang melintas batas begitu kuat terasa, mengingat latar belakang sejarah yang menggugah tentang peristiwa besar dalam sejarah Makassar, yaitu perang Bongaya pada tahun 1667.
Perjanjian Bongaya tidak hanya mengubah peta politik kerajaan-kerajaan di Celebes Selatan, tetapi juga merenggut kebebasan, menggiring masyarakat Makassar pada eksodus besar yang akhirnya membentuk komunitas-komunitas baru di luar Sulawesi.
Pementasan ini membawa penonton untuk merenungkan kembali masa lalu yang penuh gejolak. Ketika pasukan Belanda, setelah memecah perlawanan hebat Kerajaan Gowa, akhirnya memaksa Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, untuk menandatangani Perjanjian Bongaya.
Perjanjian ini mengakhiri dominasi politik Kerajaan Gowa di wilayah Celebes Selatan dan mengubah kehidupan masyarakat Makassar selamanya. Dalam perjanjian tersebut, sebagian besar wilayah kekuasaan Gowa diserahkan kepada Belanda, dan sejumlah besar penduduk Makassar terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Mereka yang selamat dari perang dan penjajahan Belanda ini lalu melakukan migrasi besar-besaran ke berbagai tempat, baik di dalam maupun luar Sulawesi.
Salah satu aspek penting yang diangkat dalam Passompe’ adalah jejak-jejak migrasi orang Makassar, atau dikenal dengan istilah sompe’. Proses migrasi ini bukan hanya sekadar perpindahan fisik, melainkan juga perpindahan budaya dan ekonomi. Masyarakat Makassar yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya menemukan diri mereka di luar Sulawesi, membangun komunitas-komunitas baru dengan berbagai kegiatan ekonomi yang kemudian menjadi titik kekuatan mereka.
Salah satu tokoh yang sangat penting dalam sejarah migrasi ini adalah La Maddukelleng, seorang bangsawan Wajo yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran orang Bugis dan Makassar.
La Maddukelleng terkenal karena perannya dalam mempertahankan nilai-nilai kerajaan Gowa setelah Perjanjian Bongaya. Dia tidak hanya berperan dalam politik, tetapi juga dalam menyebarkan budaya dan kegiatan perdagangan orang Bugis dan Makassar ke berbagai wilayah. Para pelaut Bugis yang dikenal dengan keahlian mereka dalam bidang perkapalan dan navigasi, menjadi bagian penting dalam arus migrasi ini.
Mereka bergerak jauh hingga ke Maluku, Jawa, NTB, Kalimantan, bahkan sampai ke pesisir Barat Sumatra- Wilayah Melayu. Aktivitas mereka lebih banyak berfokus pada perdagangan rempah-rempah, beras, dan hasil bumi lainnya yang menjadi komoditas penting.
Pementasan Passompe’ dari Kala Teater | Foto: Dok. Kala Teater
Tokoh lain yang tak kalah berpengaruh dalam migrasi ini adalah La Satumpugi, yang merupakan pemimpin di Wilayah Kerajaan Cina-Wajo dalam memperluas wilayah perdagangan orang Bugis-Makassar ke luar Sulawesi. Di bawah kepemimpinan La Satumpugi, para pedagang Bugis memperkenalkan berbagai komoditas lokal dari Sulawesi ke pasar-pasar besar di luar pulau. Mereka membawa hasil bumi, terutama rempah-rempah dan rotan, yang sangat dicari di pasar internasional, termasuk China dan India.
Aktivitas perdagangan ini menjadi salah satu kunci utama dalam menjaga ekonomi masyarakat Bugis-Makassar, meskipun jauh dari tanah air mereka.
Tidak bisa dilupakan pula peran La Tenri Lai To Sengngeng, seorang tokoh perempuan yang menjadi simbol keberanian dan kebijaksanaan dalam sejarah masyarakat Makassar.
Setelah perang Bongaya, We Tenri Senngeng menjadi simbol dari keteguhan hati masyarakat Makassar dalam menghadapi tantangan berat. Ia membantu mengorganisir komunitas-komunitas yang tersebar, menjaga kekuatan mental mereka, serta memfasilitasi perdagangan antar pulau. La Tenri Lai To Sengngeng juga dikenal dalam sejarah sebagai tokoh yang mempengaruhi hubungan politik antara komunitas Makassar dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Sulawesi.
Pasca perang Bongaya, wilayah penyebaran orang Bugis-Makassar menjadi sangat luas. Mereka tersebar hingga ke Malaysia dan Singapura. Komunitas Makassar di luar negeri ini terus mengembangkan kekuatan mereka dalam perdagangan, sehingga seiring waktu, mereka menjadi bagian integral dari jaringan perdagangan internasional. Dengan keahlian dalam navigasi dan perkapalan, mereka menjadi penghubung penting antara pasar-pasar besar di Asia Tenggara dengan dunia internasional.
Komoditas yang diperjualbelikan tidak hanya terbatas pada rempah-rempah, tetapi juga barang-barang hasil kerajinan tangan dan tekstil yang diproduksi di Sulawesi. Para pedagang Makassar dikenal memiliki jaringan yang luas dan hubungan yang erat dengan pedagang-pedagang asing. Hal ini membuat mereka memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut.
Melalui teater Passompe’, kita diajak untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa bersejarah yang bukan hanya menjadi kenangan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan semangat masyarakat Bugis-Makassar. Kisah migrasi ini bukan sekadar cerita tentang kehilangan, tetapi juga tentang kebangkitan, adaptasi, dan ketahanan dalam menghadapi tantangan.
Penonton yang menyaksikan pementasan ini tidak hanya diajak untuk merasakan kesedihan yang melintas batas, tetapi juga untuk menghargai perjuangan dan semangat masyarakat Makassar yang melintasi batas-batas geografi dan waktu.
Dalam setiap gerakan, setiap kata, dan setiap rintihan, Passompe’ menggambarkan bagaimana sejarah yang pahit sekaligus membentuk perjalanan hidup banyak orang, yang terus melanjutkan tradisi mereka dalam mencari harapan baru di luar batas-batas yang telah ditentukan.
Pementasan Passompe’ dari Kala Teater | Foto: Dok. Kala Teater
Dalam konteks seni pertunjukan, Passompe’’ menghidupkan kembali kisah perjalanan Sawerigading dari Sureq Lagaligo, yang menjadi simbol perjuangan, adaptasi, dan transformasi hidup. Dialog penuh emosi dan tata panggung yang dramatis, diiringi musik tradisional, menghadirkan semangat keberanian dan harapan baru bagi para perantau.
Pementasan ini juga menyoroti nilai-nilai Bugis seperti mallekke dapureng, keberanian meninggalkan tempat yang tidak memberikan keadilan demi masa depan yang lebih baik. Selain itu, interaksi para perantau Bugis dengan berbagai budaya lain melalui perdagangan dan diplomasi menunjukkan betapa massompe’ telah membentuk identitas Bugis-Makassar yang adaptif dan penuh daya juang.
Sebagai penutup teater, lagu Summertime Sadness dari Lana Del Rey yang menggambarkan kerinduan pada kawan baik yang telah meninggalkan dunia di musim panas dengan bunga-bunga yang sedang mekar.
Sebelumnya, salah seorang aktor, menyanyikan lagu Totona Passompe’e dari Tajuddin Nur yang menceritakan kerinduan pada kampung halaman. Teater ini mengingatkan bahwa perantauan bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual menuju identitas yang lebih kuat dan pantas. [T]