SEBENTAR lagi tahun akan berganti dan kita akan memasuki tahun 2025. Dalam rentang dua belas bulan ini, arsitektur di Bali bergerak menuju ke arah heterogenitas. Meskipun arsitektur tradisional ataupun bangunan-bangunan dengan tema-tema lokalitas masih bertahan, tetapi ruang-ruang hidup kita telah mulai dimasuki oleh bentuk-bentuk baru yang tidak berasal dari masa lalu.
Secara visual, Bali saat ini menjadi gambaran atas keberagaman penduduk yang menghuninya. Kira-kira, seperti apa wujud ruang fisik kita di masa yang akan datang?
Akankah heterogenitas akan semakin meluas ataukah akan ada gerakan untuk mengarahkan bentuk-bentuk bangunan agar mengikuti norma tertentu?
Untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di masa lampau. Memperhatikan lagi pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui dalam hal pembangunan akan memberikan kita kerangka berpikir tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Satu hal yang pasti, arsitektur tidak berjalan di ruang hampa. Banyak hal-hal di luar bidang ini yang memberi pengaruh terhadap perkembangannya.
Desain arsitektur bambu sedang disukai oleh pasar | Foto: Gede Maha Putra
Setengah abad lampau, tepatnya di tahun 1974, pemerintah sempat mengeluarkan peraturan yang bertujuan untuk mengelola bentuk-bentuk fisik yang akan dibangun agar sejalan dengan tradisi yang sudah diwarisi sejak ribuan tahun. Peraturan tersebut melarang bangunan didirikan melebihi ketinggian pohon kelapa. Secara visual, bangunan-bangunan baru dianjurkan untuk menerapkan arsitektur tradisional Bali. Selain itu, semua aktivitas fisik disarankan untuk menghormati kelestarian lingkungan. Ini menyebabkan bangunan-bangunan untuk tampil dalam tema yang sama yaitu yang bersumber dari tradisi membangun lokal. Peraturan ini sepertinya bukan hanya keinginan dari pemerintah semata tetapi ada dukungan bahkan dorongan yang sangat kuat dari kalangan investor.
Mungkin kita bertanya kenapa investor justru mendoronga agar Bali mempertahankan budayanya?
Kita tarik lagi garis ke belakang, ke satu abad lampau. Saat itu, Bali mulai dikenalkan kepada dunia internasional sebagai daerah yang eksotik, mistik, dihuni oleh penduduk yang mengembangkan kebudayaan klasik saat jaman sudah bergerak sangat modern. Imaji tersebut tersebar luas melalui berbagai publikasi termasuk brosur-brosur Bali Hotel milik pemerintah kolonial.
Puncaknya, tahun 1931, saat pemerintah kolonial membawa misi kesenian Bali ke pentas dunia pada pameran kolonial internasional. Pada pameran tersebut, pavilion Hindia Belanda dibangun dengan imaji arsitektur Bali yang kuat. Dua buah meru tumpang sebelas mengapit sebuah kori agung yang menjadi gerbang utama. Di halaman pavilion, para penari asal Desa Peliatan mementaskan aneka tarian tradisional yang dianggap unik sekaligus aneh namun mengundang penasaran pengamat kulit putih.
Sejak saat itu, pemerintah ingin mempertahankan Bali sebagai Bali dengan berbagai upaya. Terbukti, kebertahanan tersebut mengundang banyak turis untuk datang.
Saat pemerintah memutuskan untuk menjadikan Bali sebagai pusat pengembangan pariwisata bagian tengah, sebuah studi besar dilakukan melibatkan konsultan internasional.
Dalam laporannya yang diterbitkan tahun 1971, konsultan tersebut meramalkan bahwa budaya Bali akan pudar seiring dengan kemajuan jaman dan pembangunan kepariwisataan. Ini bukan hal baik bagi investasi sehingga upaya untuk mempertahankan kebudayaan untuk mendatangkan keuntungan ekonomi harus dilakukan. Para investor lalu menganjurkan agar ada kebijakan yang dapat menjamin Bali tidak akan berubah agar investasi mereka aman. Dari sinilah muncul peraturan daerah nomer 2,3, dan 4 ahun 1974.
Desain arsitektur Amandari Hotel di Ubud yang dibangun akhir tahun 1980-an | Foto: Gede Maha Putra
Meskipun sukses menata pembangunan dalam beberapa hal, Perda ini menimbulkan multitafsir. Bahkan intelektual Bali pun menunjukkan jika masih ada banyak persoalan dalam penerapannya sehingga sepuluh tahun setelah dikeluarkan, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali menyelenggarakan apa yang disebut sebagai Sabha Arsitektur Bali. Pertemuan kaum terpelajar ini mengeluarkan sebuah rekomendasi yang disebut sebagai Rumusan Arsitektur Bali.
Ruang fisik dengan karakter Bali tetap muncul di tengah multitafsir tersebut karena aktor yang mendukung pembangunan masih menginginkan Bali tetap Bali. Para pengusaha perhotelan dan restaurant pada masa itu masih memiliki obsesi untuk ‘menjual’ Bali seperti apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial di tahun 1930-an yaitu Bali yang autentik.
Untuk menciptakan autentisitas ini, Bali cukup beruntung karena didatangi oleh arsitek-arsitek yang memiliki visi yang sama yaitu menghadirkan eksotika Bali jaman dahulu. Jadilah kita melihat bangunan rumah tinggal di Batujimbar yang mirip dengan Bale Agung di desa Bali Timur. Kita juga melihat hotel-hotel yang menggunakan tektonika lokal di mana tukang-tukang terbaik yang ada di pulau terlibat penuh dalam pengerjaannya seperti Oberoi di Seminyak, Amandari di Ubud, Four Seasons di Jimbaran dan hotel lainnya.
Selain proyek milik swasta, pembangunan di Bali sejak masa awal Orde Baru juga dipenuhi oleh BUMN dan perwakilan pemerintah pusat yang membuka cabang di Bali. Perlu juga disebut pemerintah daerah turut membangun kantor-kantor. Arsitek yang mengerjakan proyek-proyek pemerintah dan badan usaha milik negara ini umumnya datang dari Jakarta dan Bandung. Mereka memiliki latar belakang pendidikan modern.
Desain Gedung Kantor Bank Indonesia (sekarang kantor OJK) dengan desain modern tetapi dibungkus ornamen tradisional | Foto: Gede Maha Putra
Sebagain besar tahap desain dari proyek-proyek tersebut sudah dikerjakan di Jakarta atau Bandung. Desainnya tentu saja sangat modern pada masa itu. Sebut saja gedung Bank Indonesia (kini Gedung OJK) di Jl. WR. Supratman, Gedung Bank Mandiri di dekat Lapangan Puputan Badung, Gedung Kantor PLN di Jl. PB. Sudirman, Gedung Keuangan Negara (GKN) dan Gedung TVRI yang keduanya ada di Renon.
Secara fungsi, mereka tidak memiliki kewajiban untuk tampil tradisional atau menciptakan imaji eksotik. Akan tetapi, karena peraturan sudah ditetapkan, maka ada upaya untuk membuat gedung-gedung tersebut tampil lokal. Dari sini mulai muncul bata merah yang berfungsi sebagai penghias wajah bangunan. Ornamen-ornamen paras ditempatkan dalam skala dan proporsi yang berbeda dengan yang tradisional. Singkatnya, arsitektur tradisional menjadi ‘baju‘ bagi desain yang sosoknya sangat modernis.
Dari dua kelompok contoh tersebut kita melihat bagaimana lokalitas dalam arsitektur dilihat dan dihadirkan pada bangunan kontemporer. Di bidang pariwisata, yang ditampilkan bukan hanya wujud fisik tetapi juga ambience atau atmosfernya sementara pada bangunan-bangunan pemerintah, unsur lokal hadir sebagai wujud fisik terutama wajah atau fasad.
Desain fasilitas turisme kontemporer menyasar pasar masyarakat lokal dan wisatawan domestik | Foto: Gede Maha Putra
Bagaimana dengan masa yang akan datang? Kita perlu lihat tipe aktivitas ekonomi yang berlangsung di Bali. Dari sini kita bisa mempertanyakan siapa yang mau membelanjakan uangnya di Bali? Dan, siapa yang bisa membaca situasi pasar wisata yang berkembang lalu mensponsori pembangunan di Bali? Suka atau tidak, aktivitas pelesiran masih akan menjadi primadona di masa depan.
Tipe aktivitas ekonomi pariwisata di masa datang nampaknya bukan yang mengutamakan eksotika Bali atau imaji Bali masa lampau. Hal itu disebabkan oleh banyak hal. Misalnya, wisatawan yang menginginkan Bali yang autentik semakin tergerus. Jumlahnya memang masih ada tetapi proporsinya bisa jadi tidak lagi banyak. Kini wisatawan yang datang lebih beragam mulai dari yang ingin mengunjungi beach club dengan musik hingar bingarnya sampai mereka yang datang untuk menyepi melakukan yoga di kedalaman hutan-hutan di Ubud yang semakin terbatas.
Di antara dua spektrum wisatawan tersebut ada juga wisatawan yang sebenarnya adalah orang Bali sendiri yang menjadi pelancong di pulaunya sendiri. Kelompok terakhir ini ingin berkunjung ke tempat wisata yang menawarkan sensasi yang berbeda, sensasi non tradisional.
Kebutuhan orang Bali yang ingin berwisata di Bali telah memunculkan fasilitas wisata kuliner, ngopi-ngopi di Kintamani dan berbagai tempat, hingga wisata ala Swiss di daerah pegunungan Bedugul atau wisata salju yang sudah mulai hadir. Selain masyarakat Bali, ada juga wisatawan domestik yang menyukai fasilitas serupa.
Desain kontemporer tempat ngopi di pelosok Ubud | Foto: Gede Maha Putra
Proporsi wisatawan lokal dan domestik yang membelanjakan uangnya pada jenis-jenis usaha yang bersifat kuliner akan semakin banyak di masa depan. Demikian juga wisatawan yang memilih untuk berwisata dengan cara menghabiskan waktu sambil bersantai dengan musik berdentam di tepian pantai. Wisata-wisata ini mempertemukan sesama wisatawan dengan kebutuhan yang sama. Hal ini berbeda dengan masa 50-an tahun yang lampau saat wisatawan memiliki ketertarikan untuk berinteraski dengan masyarakat lokal dengan bedayanya.
Dari kemungkinan-kemungkinan yang diuraikan tersebut, maka dapat diramalkan bahwa arsitektur lokal akan semakin menurun popularitasnya. Penurunan ini tidak memiliki kaitan dengan kualitas arsitektur tradisional atau modern tetapi lebih ditentukan oleh kehendak pasar. Kerja-kerja pasar yang bertugas untuk melipatgandakan modal membelokkan, jika tidak mendikte, arah pembangunan arsitektur kepada failitas yang melayani kebutuhan terkini para wisatawan. Karena kebutuhan wisatawan tidak terletak pada eksotika budaya lokal, maka ini akan berimbas pada wujud arsitekturnya yang juga tidak mengarusutamakan budaya setempat.
Jadi, seperti apa arsitektur di Bali di masa yag akan datang? Sejarah membuktikan bahwa pasar adalah pembentuk utama dari wujud-wujud bangunan sejak tahun 1970-an di pulau yang dianggap sebagai pelabuhan terakhir budaya klasik Jawa ini. Meramal masa depan arsitektur berarti juga membayangkan kondisi pasar di masa yang akan datang. [T]
BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA