30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Performance “Batu” : Ketika Perempuan Menatap Tubuhnya Sendiri

Arif WibowobyArif Wibowo
December 16, 2024
inUlas Pentas
Performance “Batu” : Ketika Perempuan Menatap Tubuhnya Sendiri

Performance “Batu”. Kolaborasi Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung), Hasyimah Harith (Nucleus Dance, Singapura) dan Ni Komang Wulandari (Komunitas Nayaknari/Blackkobra, Bali) | Foto : Amrita Dharma

Memasuki ruang pertunjukan di ruang Mayor yang bergaya arsitektur Cina Peranakan Palembang itu, penonton disambut dengan lagu dangdut Sambolado-nya Ayu Ting Ting. Lagu dangdut populer ini menyambut penonton dengan suka cita yang mencairkan suasana. Ya, musik dangdut memang mampu menyatukan semua kalangan. Para penikmat seni dari berbagai genre rupanya disatukan dengan dangdutan Sambalado dalam pertunjukan ini. Dua perempuan bergoyang bagai biduan di bagian tengah ruangan. Sedangkan tiga perempuan lain duduk bersimpuh sambil berjoget ria di antara gamelan Selonding yang mengitarinya. Sorot lampu warna-warni seakan membawa penonton pada konser dangdut rakyat. Memasuki pertunjukan, dua penari itu melontarkan dialog-dialog centil nan genit kepada penoton. Mulai dari perihal rasa sambal, ulekan dan urusan dapur yang dekat dengan keseharian perempuan Nusantara dengan nada-nada sensual yang menggoda.

Berangkat dari latar kultur perempuan Melayu yang berbasis di Lampung dan Singapura, gagasan pertunjukan ini mencoba menanyakan ulang narasi tentang batu lesung atau cobek yang dekat dengan kehidupan perempuan Melayu dan Nusantara pada umumnya. Dalam khasanah tradisi Melayu, perempuan memiliki kendali penuh dengan urusan dapur. Batu lesung atau cobek batu menjadi salah satu piranti penting dapur untuk menghasilkan ragam budaya gastronomi. Di tengah keseharinya sebagai piranti dapur, batu lesung dan cobek juga menumbuhkan mitos tentang seksualitas perempuan sebagai tubuh yang memiliki otoritas.

Bertajuk “Batu”, adalah sebuah karya pertunjukkan dari kolaborasi dua seniman Ayu Permata Sari  (Ayu Permata Dance, Lampung) dan Hasyimah Harith (Dance Nucleus, Singapura). Keduanya bersama Mulawali Institute menjalani ko-produksi melalui residensi beberapa minggu pada salah satu program B-Part (Performing Arts Meeting) 2024. Sebuah inisiatif temu seni jejering platform, seniman dan kelompok multidisiplin pertunjukan yang diselenggarakan saban tahun di Bali. B-Part berlangsung 29 November-2 Desember 2024 di Masa-Masa, Gianyar, Bali. Sebagai sebuah ruang transit dan pertukaran pengetahuan dari berbagai latar belakang, residensi Ayu dan Hasyimah juga melibatkan kolaborasi komposer perempuan Bali, Ni Komang Wulandari dari Komunitas Nayaknari (Blackkobra) serta Arco Renz (Belgia) sebagai creative presence. Tampil di hari kedua, pertunjukan ini menawarkan gagasan menarik tentang seksualitas dalam perspektif perempuan. Sebuah narasi alternatif di tengah ketabuan perempuan membicarakan perihal seks dan tubuhnya sebagai mahluk biologis yang setara dengan laki-laki.

Menyuarakan Ketabuan melalui Bahasa Koreografi

Di tengah panggung yang dikelilingi penonton duduk lesehan, tergelar sekumpulan batu lesung, cobek dan serta bumbu-bumbu dapur lain. Kedua perempuan Ayu dan Hasyimah duduk bersimpuh melakukan aktivitas membikin sambal. Dua penari asal bumi Melayu itu mengingatkan kita lazimnya perempuan yang sedang beraktivitas di dapur. Kemudian disusul Komang Wulandari yang beranjak dari kalangan gamelan memasuki obrolan mereka. Ketiga perempuan dengan latar belakang budaya berbeda itu menceritakan pengalamannya masing-masing melalui perannya sebagai perempuan di dapur dengan aktivitas sambal-menyambal. Adegan ini menunjukkan bentang keragaman sambal Nusantara dari sambal yang dirajang di Bali, sambal yang diulek di Lampung hingga sambal yang digiling dengan blender di Singapura.

Performance “Batu”. Kolaborasi Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung), Hasyimah Harith (Nucleus Dance, Singapura) dan Ni Komang Wulandari (Komunitas Nayaknari/Blackkobra, Bali) | Foto : Amrita Dharma

Ketiga perempuan tampil membawa ragam narasi perempuan dengan latar belakangan kebudayaan yang kuat. Seperti Ayu, sebagai perempuan yang lahir dari kebudayaan Melayu di Lampung, ia menangkap sebuah transfer pengetuhuan dari leluhurnya melalui mitos perempuan yang diharuskan memiliki kempuan membuat sambal dengan cobek sebagai piranti menghaluskan bumbu-bumbu. Dari aktivitas dan gerak ulekan sebagai proses menghaluskan bumbu juga melahirkan mitos lain tentang peran perempuan sebagai mahluk biologis yang memiliki hasrat seksual dengan pasangan. Mitos yang berkembang di kebudayaan Melayu mengatakan bahwa kepiwaian perempuan mengulek sambal di atas cobek juga harus diikuti dengan kepiwaiannya “mengulek” pasangan ketika memasuki fase rumah tangga di kemudian hari. Mengulek dalam konteks ini diartikan sebuah upaya perempuan menjalankan perannya sebagai istri yang harus mampu melayani sang suami dalam melakukan akivitas seksual.

Mitos ini kemudian diolah melalui pendekatan artistik pertunjukan yang membentangkan tubuh perempuan sebagai repertoar arsip untuk membicarakan seksualitas. Eksekusi artistik diekspersikan melalui berbagai medium seperti tubuh kedua penari sebagai medium utama. Sedangkan batu lesung dan cobek menjadi reprsentasi lingga yoni sebagai bahasa semiotika yang sudah umum dipahami dalam perjalanan sejarah kita sebagai simbol alat kelamin laki-laki dan perempuan. Serta sebongkah batu utuh berukuran diameter antara 30-40cmm sebagai material batu yang asali.

Sepanjang pertunjukan kurang lebih sejam itu, Ayu dan Hasyimah sangat eksploratif mengahdirkan koreografinya. Kedua koreografer ini mengekplorasi keragaman gerak tubuh yang merepresentasikan otoritas tubuh perempuan. Sensualitas gerakan menjadi sangat menonjol untuk menghadirkan bahasa tubuh perempuan dalam merespon pengalaman seksualnya. Kedua penampil merespon keberadaan batu lesung sebagai simbol penis laki dengan beragam ekspresi koreografi.

Performance “Batu”. Kolaborasi Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung), Hasyimah Harith (Nucleus Dance, Singapura) dan Ni Komang Wulandari (Komunitas Nayaknari/Blackkobra, Bali) | Foto : Amrita Dharma

Pertunjukan ini menghadirkan fungsi batu sebagai bagian dari keseharian yang melekat dengan perempuan. Melihat Batu sebagai elemen piranti dapur yang difungsingkan sebagai alat penghalus bumbu dan rempah  hingga sebagai piranti membersihkan tubuh baik untuk keseharian maupun ritus-ritus yang sakral bagi perempuan.

Lebih dari itu, kehadiran batu juga direspon melalui koreografi yang menggambarkan pengalaman seksual dari sudut pandang perempuan. Kedua penari itu membawa batu berbentuk lingga dengan berbagai komposisi koreografi. Babak akhir pertunjukuan ini menghadirkan secara gamblang ekstase puncak dari dari pengalaman seksual perempuan. Diikuti pukulan selonding yang bertalu-talu, kedua penari itu seakan mengalami puncak gairah seksual. Erotisme pengalaman seksual dibawakan melalui koreografi yang puitik sekaligus banal. Ayu menghadirkan ekspresi yang cukup menantang, bagai perempuan yang sedang mengalami puncak gairah seksual dengan gerak tubuh yang tidak terkontrol.

Sebuah lingga ditata diatas sebongkah batu, ia kangkangi seolah melakukan aktifitas persenggamaan. Posisi tubuhnya membungkuk terangkat ke atas, ditahan dengan kedua tangan dan kakinya. Kemudian diikuti  tubuh memutar searah jarum jam dengan batu lingga sebagai porosnya. Di babak pamungkas, pasca esktase telah reda, masing-masing penari itu membawa batu lingga disertai dengan formasi gerak yang harmonis membentuk formasi pola lantai dengan komposisi sejajar dan juga berhadapan. Kemudian sebagai penutupnya, Ayu menyunggi sepasangang lingga dan yoni diatas kepalanya dengan posisi duduk diatas batu, sedangkan Hasyimah duduk melantai membelakangi Ayu.

Pertunjukkan ini menghadirkan pengalaman menonton yang unik. Pada babak sebelum memasuki  bagian inti pertunjukan yang membicang seksualitas, penonton diajak untuk mengalami perbincangan pada dunia perempuan melalui aktivitas membuat rujak buah. Sebuah aktivitas sosial keseharian yang memungkinkan terjadinya perbincangan mulai dari yang topik keseharian hingga yang tabu dibicarakan, salah satunya urusan seksual. Tak hanya itu, penonton juga diajak merasakan rujak buah yang dibagikan ditengah pertunjukan.

Eksplorasi komposisi musik yang dibawakan oleh Ni Komang Wulandari dan kedua rekannya juga tak kalah menarik. Selonding, salah satu genre gamelan kuno Bali menjadi elemen musik utama yang menciptakan suasana dramatis apalagi pada babak yang menghadirkan ketegangan. Tak hanya itu, sumber-sumber bunyi dengan komposisi tertentu juga dihadirkan melalui eksplorasi benda-benda keseharian seperti batu lesung, pisau dan benda-benda yang diketukan pada lantai. Komposisi musik pengiring pertunjukan ini tampil menjadi bagian yang menyatu dengan pertunjukan. Pemusik juga terlibat menjadi penampil alih-alih hanya menjadi pemusik belaka.

Melawan Mitos

Dua perempuan Muslim-Melayu Ayu dan Hasyimah ini cukup berani dan menantang konstruksi kemapanan perempuan ditengah ketabuannya membicarakan pengalaman seksual apalagi dalam kultur dunia yang sangat patriarkis ini. Dalam konstruksi dunia yang patriarkis, perempuan kerap kali menjadi objek hasrat seksual laki-laki. Keadaan ini dilanggengkan dengan kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai komoditas yang laris manis dalam sistem ekonomi pasar.. Narasi media pun ikut melanggengkan objektifikasi perempuan. Seperti narasi perempuan sebagai sosok dengan tubuh ideal, penyangga keluarga, objek seksual, dan perempuan sebagai sosok yang identik dengan dapur. Kondisi diatas menyebabkan perempuan kerapkali tersubordinasi atas dominasi laki-laki termasuk dalam uruasan seks.

Performance “Batu”. Kolaborasi Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung), Hasyimah Harith (Nucleus Dance, Singapura) dan Ni Komang Wulandari (Komunitas Nayaknari/Blackkobra, Bali) | Foto : Amrita Dharma

Sepanjang sejarah, hubungan kesetaraan laki-laki selalu diposisikan sebagai subjek sedangkan perempuan sebagai objek tertanam kuat dalam budaya baik itu seni adiluhung, seni kerakyatan hingga industri pornografi, budaya pop dan budaya sehari-hari. Bahkan tanpa kesadaran kritis, perempuan kerap kali terbawa cara tatapan laki-laki menatap dirinya sendiri. Imam Setyobudi, dkk dalam jurnalnya berjudul Antropologi Feminsme dan Polemik Seputar Tubuh Penari Jaipongan menurut Perspektif Foucault mencoba mananyakan ulang laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek dalam diskursus kesetaraan. Melalui pembalikan posisi perempuan sebagai subjek dan laki-laki sebagai objek, justru perempuanlah yang menggunakan tubuhnya untuk menguasai dan mengendalikan laki-laki. Lebih lanjut ia menyitir komentar Kris Budiman dalam salah satu bukunya yang menggambarkan relasi seksual antar laki-laki dan perempuan. Justru perempuan yang melahap laki-laki, bukan sebaliknya. Mustahil sosis melahap mulut, melainkan mulut melahap sosis!. Penggambaran ini maksudnya, dalam hubungan penetrasi justru organ tubuh perempuanlah yang secara aktif melahap organ tubuh laki-laki. Begitulah penggambarannya sebagai usaha untuk membalik mitos yang selama ini memposisikan perempuan sebagai objek  dalam masyarakat patriarki.

Pada pertunjunkan ini, Ayu dan Hasyimah berusaha menantang narasi itu dengan menghadirkan tubuh perempuan yang dimilikinya secara utuh, dengan memposisikan tubuh perepempuan yang setara dalam menikmati pengalaman seksual dan membincangkannya kepada publik tanpa stigma dan stereotipe negatif. Melalui pertunjukan ini, penonton diajak untuk memahami tubuh perempuan dan suara-suara yang kerap kali tak didengarkan bahkan dipinggirkan. [T]

Ulasan pertunjukan ini ditulis dibawah program Arts Equator Fellowship 2024

  • BACA artikel lain dariARIF WIBOWO
Ritus Tari Seblang Bakungan dan Imaji Kontemporer Masyarakat Pedesaan di Masa Lalu
Menghidupkan Spirit Marya dan Pernik Estetika Festival sebagai Ruang Alternatif Seni Pertunjukan Bali
Pandangan Atas Tanah Dulu dan Kini : Catatan Repertoar Tari “Sejak Padi Mengakar”
Tags: Arts Equator Fellowship 2024B-PartMulawali Instituteperformance artseni pertunjukanseni tari
Previous Post

Parade Panen Padi, Sebuah Teatrikal Hidup di Subak Tingkihkerep, Tengkudak-Tabanan

Next Post

FBS Undiksha dan Gerakan Literasi Nasional — Catatan Dosen Penggerak Literasi Berbasis Komunitas

Arif Wibowo

Arif Wibowo

Lulusan Sarjana Arsitektur yang tertarik dengan isu-isu ketimpangan sosial dan lingkungan perkotaan sehingga lebih memilih untuk terlibat pada praktik arsitektur lansekap yang berfokus pada perancangan ruang publik dengan harapan semakin banyak ruang hijau di kawasan kota. Selain itu ia juga gemar menikmati seni tari, pertunjukan dan musik tradisi khususnya di Jawa dan Bali.

Next Post
FBS Undiksha dan Gerakan Literasi Nasional — Catatan Dosen Penggerak Literasi Berbasis Komunitas

FBS Undiksha dan Gerakan Literasi Nasional --- Catatan Dosen Penggerak Literasi Berbasis Komunitas

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co