Pendahuluan
DESA Trunyan merupakan salah satu desa tradisional yang terletak di kaki Gunung Batur. Desa ini termasuk wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, dan merupakan desa tradisional. Oleh karena itu, desa ini mempunyai keuinikan yang tidak dimiliki oleh desa lain. Ada beberapa keunikan Desa Trunyan. Pertama, sebagai desa tradisional, masyarakat Desa Trunyan berkomuniaksi keseharian menggunakan bahasa Bali Dialek Trunyan (BBTD). Setiap Desa Tradisional di Bali memiliki dialek bahasa Bali tersendiri. Khusus bahasa Bali yang digunakan oleh masyarakat di Desa Trunyan adalah bahasa Bali Dialek Trunyan (Adnyana, 2018)
Keunikan kedua adalah prosesi pemakaman. Masyarakat menyebutnya dengan mepasah. Masyarakat yang meninggal tidak dijadikan satu pemakaman. Ada tiga jenis makan di Desa Trunyan. Pengategorian pemakaman berdasarkan cara meninggal orang tersebut. Ketiga makam (sema) yang diimaksud, yaitu Sema Wayah, Sema Nguda, dan Sema Bantas (Aridiantari, dkk. 2020:67).
Sema Wayah adalah wilayah pemakaman yang diperuntukkan bagi mereka yang meninggal secara normal. Hanya terdapat 7 petak dalam wilayah pemakaman ini, sehingga jika ada jenazah baru, jenazah tersebut akan diletakkan pada petak yang sudah berisi jenazah yang paling lama dan tulang-belulang dari jenazah yang lama akan dipindahkan ke luar petak.
Sema Nguda adalah wilayah pemakaman untuk bayi dan anak kecil yang gigi susunya masih belum tanggal serta orang-orang yang masih lajang. Jasad di sini dimakamkan secara mepasah, pengecualian untuk bayi yang belum memasuki fase meketus yang akan dikuburkan.
Sema Bantas adalah wilayah pemakaman bagi jenazah yang meninggal masih dengan memiliki cacat fisik ataupun meninggal tidak secara natural, contohnya karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh orang lain. Hanya di area pemakaman ini tubuh jenazah akan dikubutkan secara normal (https://student-activity.binus.ac.id/himja/2021/11/desa-adat-trunyan-di-bali-dan-tradisi-pemakaman-uniknya/
Keunikan ketiga adalah tarian Barong Brutuk. Barong Brutuk diyakini sebagai perwujudan Ida Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat. Ida Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat merupakan leluhur masyarakat Desa Trunyan. Tarian Barong Brutuk dipentaskan setiap tahun sekali yaitu setiap Bulan Purnama Sasih Kapat.
Busana Barong Brutuk terbuat dari dari daun kraras (daun pisang yang kering). Ini mempunyai makna bahwa pada saat Ratu Sakti Pancering Jagat datang ke Desa Trunyan bersama pengikutnya menggunakan pakaian yang sangat sederhana.
Daun kraras yang digunakan sebagai busana Barong Brutuk dimabil dari kraras pohon pisang temaga (pisang tembaga) pisang gedang saba, dan pisang ketip. Daun kraras diambil dari desa tetangga, yaitu Desa Pinggan, Blandingan, dan Bayung. Berdasarkan kepercayaan masyarakat, hubungan ritual tradisional antara Desa Trunyan dengan Desa Pinggan, Desa Blandingan, dan Desa Bayung telah terjalin ratusan tahun. Daun kraras yang telah dipilih kemudian dirajut.
Daun kraras dipercaya sebagai simbol kesuburan, dan sebagai jimat penolak bala. Busana Barong Brutuk (berupa kraras) yang sudah digunakan pada saat ritual Barong Brutuk, disebarkan ke areal pertanian untuk menyuburkan tanah pertanian dan kraras tersebut juga dibawa ke rumah oleh masyarakat. Kraras terebut dipercaya sebagai penolak bala.
Pada saat menarikan Barong Brutuk, penari memegang pecut (cambuk) yang terbuat dari tiing (bambu) sulan. Diceritakan pada waktu Ida Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat datang ke Desa Trunyan terdapat banyak halangan yang dijumpai dalam perjalanan.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasai dengan mencambukkan cambuk tersebut pada setiap penghalang. Gerakan mencambuk pada Tarian Barong Brutuk dipercaya dapat menyembuhkan penonton dari penyakit atau aura negatif. Setiap cambukan pecut tersebut diyakini dapat menyucikan areal Pura Pancering Jagat.
Desa Trunyan yang kaya akan kearifan lokalnya tentu menghadapi tantangan dalam melestarikannya. Hal ini tidak dapat terhindarkan seiring arus globalisasi dan arus moderenisasi sehingga mobilitas masyarakat Desa Trunyan begitu tinggi. Banyak generasi muda meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan, meneruskan pendidikan di beberapa kota di luar Kabupaten Bangli.
Di samping itu, banyak pemuda yang bekerja di luar negeri. Dengan kenyataan ini, kearifan lokal masyarakat Desa Trunyan kian lama kian terkikis akibat arus moderenisasi. Jika hal ini tidak diantisipasi lambat laun kearifan lokal Desa Trunyan akan terkikis oleh arus globalisasi dan moderenisasi.
Agar kearifan lokal masyarakat Desa Trunyan tidak terkikis, perlu dirancang model pembelajaran etnopedagogis yang terintegrasi pada kurikulum sekolah. Hal ini sangat penting, karena dengan merancang pembelajaran dengan menerapkan model etnopedagogi generasi muda sejak dini sudah diperkenalkan tentang kebudayaan lokalnya sehingga siswa lebih awal memahami dan memaknai ragam kearifan lokal yang ada di Desa Trunyan.
Pembahasan
Arus globalisasi dan moderenisasi apabila tidak diantisipasi bisa mengakibatkan identitas masyarakat Desa Trunyan akan luntur. Hal ini tampaknya sudah terjadi pada keberlangsungan BBTD. Sikap positif generasi muda cukup rendah.Hal ini dapat dicermati dari kajian yang dilakukan oleh Adnyana (2018: 9).
Dengan sikap bahasa seperti ini, eksistensi BBDT akan mengkhawatirkan. Generasi muda perantau ketika berkomunikasi di luar desanya tentu lebih aktif menggunakan bahasa Bali Dialek Dataran (bahasa Bali yang lumrah digunakan oleh masyaralat Bali pada umumnya). Apabila hal ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan penutur BBDT akan semakin berkurang dan tidak menutup kemungkinan BBDT mengalami kepunahan.
Begitu pula kesakralan prosesi pemakaman akan tergerus dengan adanya moderenisasi. Prosesi pemakaman di Desa Trunyan hanya dipahami oleh tetua adat dan jero mangku (orang yang disucikan untuk memimpin upacara agama dalam Hindu).
Generasi belakangan tidak memahami apa makna dan bagaimana menjalankan prosesi pemakaman ini. Prosesi pemakaman cukup rumit. Dengan mobilitas yang begitu tinggi, generasi muda Desa Trunyan tidak mempunyai waktu untuk memahami prosesi pemakaman.
Kekhawatiran berikutnya adalah keberlangsungan ritual Barong Brutuk. Walaupun generasi muda berperan dalam upacara ritual Barong Brutuk tetapi generasi muda tidak memahami dengan baik apa makna ritual tersebut.
Pelaksanaan ritual yang dipimpin oleh pemuka adat tidak memberikan informasi apa makna dari ritual Barong Brutuk. Desa Adat tidak mempunyai program yang bertujuan untuk mentransfer nilai-nilai ritual kepada generasi muda. Hal ini tentu berakibat buruk bahkan tidak menutup kemungkinan pelaksanaan ritual esensinya akan berubah sekian tahun lagi.
Oleh karena itu, perlu diberikan etnopedagogi kepada generasi muda sejak dini melalui pembelajaran dengan mengintergrasikan dalam kurikulum sekolah. Etnopedagogi adalah pendekatan pendidikan yang menitikberatkan pada pengajaran nilai-nilai budaya lokal.
Dalam etnopedagogi, pendidikan tidak hanya menjadi sarana mentransfer ilmu, tetapi juga menjadi media untuk melestarikan dan menghidupkan kembali kearifan lokal yang hampir terlupakan. Hal ini relevan dalam konteks Desa Trunyan yang kaya akan tradisi dan kearifan lokal.
Pendekatan Etnopedagogi
Pendekatan etnopedagogi di Trunyan dapat membantu generasi muda memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mereka, seperti penghormatan kepada leluhur, harmoni dengan alam, dan solidaritas komunitas.
Pemahaman nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dapat tercapai apabila generasi muda masih setia terhadap BBDT. Pemahaman terhadap tradisi dan budaya dapat dilakukan dengan baik apabila generasi muda mempunyai sikap positif terhadap BBDT (bdk. Fairclough 1989 dan 1992).
Tradisi pemakaman unik di Trunyan mencerminkan filosofi kehidupan yang menghargai siklus alam dan menjaga keseimbangan lingkungan. Jika nilai-nilai ini diajarkan melalui pendidikan formal generasi muda dapat lebih memahami makna tradisi mereka dan merasa bangga akan identitas budaya mereka.
Begitu dalam ritual tarian Barong Brutuk tentu banyak megandung nilai-nilai filosofi dan nilai pendidikan. Jika hal ini tidak ditransfer melalui pendidikan formal, semua tradisi dan budaya yang ada di Desa Terunyan lambat laun akan punah.
Agar etnopedagogi di Sekolah Dasar yang ada di Desa Trunyan dapat berjalan dengan baik—dengan tujuan melestarikan kearifan lokal Desa Trunyan—diperlukan strategi dalam mengimplementasikannya di sekolah dasar.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan etnopepagogi di Sekolah Dasar di Desa Trunyan, sebagai berikut:
Pertama: Integrasi Kurikulum Sekolah
Pemerintah Desa Trunyan, Desa Adat Trunyan, dan Pemuka Agama dan institusi pendidikan (Dinas Pendidikan Dasar dan Menegah) dapat bekerja sama untuk memasukkan materi tentang tradisi dan kearifan lokal Desa Trunyan ke dalam kurikulum sekolah khusus untuk SD di Desa Trunyan. Hal ini bukan berarti memberikan mata pelajaran tambahan. Guru diwajibkan mengintegrasikan nilai kearifan lokal yang ada di Desa Terunyan pada setiap mata pelajaran.
Misalnya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, dalam mengajarkan tentang berbagai macam teks guru dapat menggunakan sumber informasi terkait dengan kearifan lokal Desa Trunyan sebagai sumber belajar. Apakah tentang tradisi mepasah dan ritual Barong Brutuk.
Dalam pembelajaran bahasa Bali, guru dapat mengajarkan bahasa Bali Dialek Trunyan. Guru dapat menekankan betapa pentingnya menguasai bahasa lokal. Dengan menguasai bahasa lokal generasi muda akan kuat dalam memertahankan ideologi yang dianut masyarakat (Thompson, 1984; William, 1986; Eryanto, 2001).
Begitu pula dalam pembelajaran yang lain, guru dapat mengintegrasikan tradisi dan kearifan lokal ke dalam pembelajaran. Internalisasi nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan dengan menggunakan tradisi dan kearifan lokal yang ada di Desa Trunyan.
Untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, guru bisa mengulas relasi ritual tari Barong Brutuk dengan Desa Pinggan, Desa Blandingan, dan Desa Bayung telah terjalin ratusan tahun. Dengan mengulas ini, guru dapat menginternalisasi betapa petingnya mempertahankan relasi keharmonisan den
Dengan cara ini ketertarikan siswa dalam mempelajari tradisi dan kearifan lokalnya semakin meningkat.
Kedua: Pelibatan Teknologi Digital
Di era digital, teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan tradisi dan kearifan lokal Desa Trunyan. Pemerintah Kabupaten Bangli hendaknya konsen terhadap kelestarian budaya dan kearifan lokal Desa Trunyan.
Bentuk perhatian pemerintah Kabupaten Bangli melakukan dokumentasi terhadap budaya dan kearifan lokal yang ada di Desa Trunyan. Kearifan lokal terkait dengan mitos, dongeng, dan tradisi diubah dalam bentuk pembelajaran inovatif dapat berupa film animasi, komik digital, dan game enteraktif yang bertemakan budaya dan kearifan lokal Desa Trunyan.
Dengan media pembelajaran digital ini, siswa sekolah dasar akan tertarik untuk mempelajari tradisi dan kearifan lokal yang ada di desanya.
Digital pedagogy merupakan pendekatan yang tidak sekadar berbasis pada keterampilan guru menggunakan teknologi namun bagaimana guru sebagai fasilitator memanfaatkan teknologi untuk membangun kemampuan berpikir sekaligus mengembangkan aspek afektif siswa (Purfitasaria, Septi, dkk. 2019).
Banyak penelitian mengenai pengembangan pedagogi kreatif telah dilakukan, di antaranya oleh Dezuanni & Jetnikoff, 2011; Lin, 2010; Lin, 2011, 2014; Harris & Lemon, 2012; Craft, 2014; Craft et al., 2012; Craft, Cremin, et al., 2014; Craft, Hall, et al., 2014; Gl\uaveanu et al., 2015; Cremin, 2016; Cremin et al., 2018; Cremin & Chappell, 2021; Cheung, 2016; Selkrig & Keamy, 2017; dan Harris & De Bruin, 2018.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pedagogi kreatif akan membantu mengebangkan pola berpikir kritis siswa.
Ketiga: Pelatihan Guru
Guru yang memahami konsep etnopedagogi dan budaya lokal memiliki peran penting dalam mengajarkan kearifan lokal kepada generasi muda. Pelatihan khusus dapat diberikan kepada mereka untuk mengembangkan metode pengajaran yang relevan dan menarik.
Pelatihan itu dapat berupa pengembangan keterampilan pembelajaran serta pelatihan pembuatan media pembelajaran berbasis digital. Dengan cara ini, guru bertindak selalu aktif dalam mengembangkan diri dan akan dapat mengelola pembelajaran dengan prinsip mindfull, meaningfull, dan joyfull.
Penutup
Desa Trunyan adalah cerminan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang menjadi warisan tak ternilai bagi Bali dan Indonesia secara keseluruhan. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, etnopedagogi menawarkan pendekatan yang relevan dan strategis untuk melestarikan tradisi dan nilai-nilai budaya lokal.
Melalui pendidikan berbasis budaya, generasi muda Desa Trunyan dapat dibekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan rasa bangga akan identitas mereka, sehingga tradisi yang kaya dan unik ini dapat terus hidup dan berkembang.
Pendidikan etnopedagogi yang ditawarkan berupa intergrasi kearifan lokal ke dalam kurikulum sekolah. Integrasi ini bukanlah menciptakan mata pelajaran baru tetapi dalam mata pelajaran yang sudah ada diintegrasikan tradisi dan kearifan lokal Desa Trunyan. Dengan cara ini siswa akan mengenal lebih awal tradisi dan kelarifan lokalnya.
Pembelajaran akan lebih menarik apabila tersedia media pembelajaran berbasis teknologi. Dengan media ini kearifan lokal terkait dengan mitos, dongeng, dan tradisi diubah dalam bentuk pembelajaran inovatif dapat berupa film animasi, komik digital, dan game enteraktif yang bertemakan budaya dan kearifan lokal Desa Trunyan.
Pembuatan konten pembelajaran berbasis digital memerlukan tingkat literasi digital yang baik. Oleh karena itu, guru perlu diberikan pelatihan tentang pendekatan etnopedagogi dan pembuatan media pembelajaran berbasisi digital.[T]
Baca artikel lain dari penulisSUAR ADNYANA