BEBERAPA hari yang lalu saya berkunjung ke Pantai Kelecung, Desa Tegal Mengkeb, Tabanan, Bali. Menyusuri jalan-jalan di pedesaan, memasuki perkampungan, menyusuri sudut-sudut perkampungan di sana.
Ada satu yang menjadi perhatian saya ketika di sana, yaitu banyak sekali banten, sesaji yang selalu ada di setiap sudut rumah, halaman, pepohonan dan tempat-tempat yang menurut kepercayaan masyarakat di sana harus ada banten-nya.
Saya sendiri orang Banten jadi teringat dengan orang Baduy yang pernah bercerita kalau Banten itu mereka yang memberi nama (maksudnya Provinsi Banten, dahulu kerajaan atau Kesultanan Banten itu mereka yang memberi nama).
Maksudnya, orang Baduy juga memiliki pandangan atau kisah tentang satu nama Banten sebagai suatu wilayah yang ada di ujung barat Pulau Jawa ini. Begini kisahnya, seperti pernah dituturkan kepada saya saat melakukan penelitian untuk keperluan menulis disertasi perihal kebutuhan keluarga masyarakat adat Baduy 2008 silam, untuk menyelesaikan program doktoral pada program studi penyuluhan pembanguan Institut Pertanian Bogor ( IPB).
Kala itu, beberapa tokoh adat Baduy dan Ayah Mursid Jaro Baduy Dalam Cibeo sebagai juru bicara masyarakat Adat Baduy Dalam meminta dituliskan dalam bentuk buku kepada saya dan sahabat saya Asep Kurnia (seorang guru SMP Negeri di Leuwidamar Lebak), yang tinggal berbatasan dengan tanah ulayat Baduy, di Kampung Ciboleger.
Mereka berharap dituliskan hal-hal yang sudah lama mereka pendam tentang cerita, kisah mereka menurut persepsi orang luar Baduy, apakah itu yang ditulis oleh seorang Sejarawan, sosiolog, antropolog, dan ahli lainnya mengenai mereka.
Para Jaro (sebutan untuk kepala dusun, kepala kampung, dan juru bicara masyarakat adat) menyadari dan sudah membayangkan, bahwa penjelasan riwayat ini akan menimbulkan berbagai respons dan kritikan.
Tapi dengan jiwa besar ia sudah siap, karena memandang bahwa respons dan kritikan yang bakal muncul sebenarnya adalah sebuah pengakuan tentang keberadaan dari buku Saatnya Baduy Bicara, yang kami tulis.
Sebagai upaya menjelaskan riwayat mereka versi para jaro, isi dari riwayat ini adalah penjelasan dan atau cerita dari catatan-catatan yang ada di ingatan Ayah Mursid dan para jaro. Maksud saya dengan ingatan, karena di Baduy tidak ada tradisi tulis menulis, hanya lisan yang diturunkan dari generasi ke genersi berikutnya tentang Banten, dari pembentukan nama Banten, Kesultanan Banten, Kersidenan Banten sampai pada Banten menjadi sebuah Provinsi.
Etnografi Menak (Pemimpin) Banten
Menurut dan sepengetahuan Ayah Mursid sangat banyak buku dan penjelasan lain tentang sejarah Banten, yang pada intinya penjelasan sejarah Banten itu lebih terfokus dari masa Kejayaan Sultan Maulana Hasanudin (1522 – 1570) ke masa sekarang ditambah catatan-catatan sejarah sejak abad ke 17 Masehi di mana mulai masuknya bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda sebagai penjajah.
Beliau memandang itu tidaklah salah, tetapi tidak banyak penjelasan yang mengarah pada riwayat Banten secara menyeluruh, dari sudut pandang mereka sebagai suku yang berada di Banten.
Kegelisahan dan kegalauan orang Baduy mengenai kisah, cerita-cerita tentang mereka dari pihak luar, yang menurut mereka mendegradasi harkat orang Baduy sudah saya tuliskan bersama Asep kurnia dalam buku “Saatnya Baduy Bicara” dengan menggunakan metode etnografi.
Kami hanya menuliskan apa yang mereka katakan dan kami saksikan, seperti masalah kelahiran anak, menikah, reproduksi, meninggal, menguburkan jenazah, ketahanan pangan, selengkapnya sudah diterbitkan PT. Bumi Aksara.
Seperti tentang mereka yang disebut sebagai suku yang melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanuddin Banten karena tidak memeluk Islam ke Gunung di selatan Banten, juga tentang susuhunan 40 di Baduy Dalam.
Kembali ke tema dalam tulisan ini, yaitu asal usul Banten, salah satunya adalah riwayat Banten sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Berikut penuturanya, saya coba rangkai dengan bahasa dan kalimat sederhana apa adanya.
Berbicara Banten menurut Ayah Mursid sebenarnya adalah membicarakan sebagian kecil dari catatan dan cerita tentang asal-muasal suku Sunda, karena Banten sekarang adalah wilayah yang penduduk mayoritasnya suku Sunda.
Berikut tutur Ayah Mursid, “Menurut catetan jeung carita nu aya di Baduy ngeunaan silsilah Ratu atawa Menak Banten ti mimiti leuweung kolot dibuka ku Sabakingking nu disebut Banten Lama ayeuna nepika jujutan ayana Gubernuran memang aya jeung lengkep termasuk rentetan ngaran-ngaran Ratu atawa Menak nu mimpina, sabab nyaritakeun Banten kudu lengkep ti awal carita waktu Sungsunan, Kasultanan, Kresidenan nepika Gubernuran, jeung kade ulah poho yen Banten teh salah sahiji bagaian ti carita sunda.”
Artinya, “Menurut catatan dan cerita yang ada di Baduy tentang silsilah Ratu atau Menak (Pemimpin) Banten dari mulai Hutan Tua yang dibuka oleh Sablakingking, yang disebut Banten Lama sekarang sampai pada terbentuknya Gubernuran memang ada dan lengkap termasuk daftar (catatan) nama-nama Ratu atau Pemimpin yang memimpinnya, sebab membicarakan Banten harus lengkap dari mulai cerita masa Sungsunan, Kesultanan, Kresidenan sampai pada Gubernuran, dan awas jangan lupa bahwa Banten itu adalah salah satu bagian dari cerita Suku Sunda.”
Riwayat Sungsunan
Riwayat ini bermula dari adanya kehendak semacam wangsit, dan musyawarah dari para wali, sahabat-sahabat, para tokoh adat Baduy untuk membentuk kesultanan di Tanah Sunda bagian kulon (barat) agar menjadi ramai dan untuk meramaikan negara. Maka dari hasil musyawarah tersebut dipilihlah dan ditugaskan seorang yang bernama Sablakingking, utusan khusus dari Wiwitan untuk membuka hutan lebat (hutan larangan) menjadi dayeuh (kota).
Sebagai persiapan untuk dijadikan pusat pemerintahan, kemudian Sablakingking bersama pasukannya melaksanakan tugas tersebut dengan membuka hutan yang telah ditetapkan pada musyawarah tersebut. Demi kelancaran dan untuk mempermudah membuka lahan, mereka memilih tempat di sekitar aliran Sungai Cilarangan yang dijadikan sebagai tempat tampian atau tempat tinggal Sablakingking.
Tempat tersebut terus dibuka dan dibenahi menjadi suatu tempat pemukiman yang ramai dan besar sampai akhirnya Sablakingking dan para sahabat mengadakan ritual adat atau selamatan agar tempat tersebut terhindar dari malapetaka dan bencana jika nanti sudah menjadi kota (dayeuh).
Ritual dan selamatan agar berjalan lancar, maka secara adat harus menyediakan satu ekor ikan emas yang diambil dari Sungai Cilarangan, acara tersebut dinamakan Ngabanten. Setelah acara tersebut selesai karena syarat utama ritual tersebut terpenuhi dari Sungai Cilarangan maka sejak saat itu Sablakingking dan para sesepuh menobatkan sungai tersebut diganti namanya menjadi Sungai Cibanten sebagai cikal bakal nama Banten.
Apakah ini termasuk ilmu cocokologi, hanya Tuhan yang Maha Esa yang Maha Tahu. Itulah versi mereka (orang Baduy) tentang nama Banten. Tempat tersebut mulai dikenal oleh daerah-daerah lain, banyak warga luar yang berdatangan untuk bermukim.
Setelah beberapa lama Sablakingking memimpin dan membangun pemukiman tersebut, akhirnya tempat itu berhasil dibentuk menjadi pusat pemukiman yang sangat maju hingga menjadi cikal bakal terbentuknya Kesultanan Banten.
Intinya, mereka ingin menyampaikan masa Banten sebelum menjadi kesultanan, kerajaan Islam di Nusantara ini, bahwa ada pengaruh kepercayaan Hindu, ritual-ritual seperti yang saya saksikan di kampung Kelecung di Bali itu.
Nama Sungsunan yang tercatat di Baduy adalah: 1) Sungsunan Saba Kingking; 2) Sungsunan Sang Jari; 3) Sungsunan Sangsarean; 4) Sungsunan Gunung Jati; 5) Sultan Jindul (mulai berubah gelar); 6) Sultan Jimber; dan 7) Sultan Jenal.
Riwayat kesultanan, dari masa kepemimpinan ke-8, menurut versi mereka mulai masuk pada masa Kesultanan Banten yang tercatat secara resmi dalam sejarah Banten, Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Maulana Yusuf, Sultan Haji, dan seterusnya.
Pada akhir penjelasannya Ayah Mursid berpesan: “Ka sakebeh dulur-dulur, ieu riwayat nu ku kami dicaritakeun jeung ditulis poma ulah ngajadikeun permasalahan nu matak jadi rumit, sabab ieu mah salah sa hiji sumbangan pikiran jeung carita nu aya di kami anu mudah-mudahan ayan manfaat keur balarea. Mun bener atawa saluyu jeung catatan sajarah nu geus aya atuh syukur, mun teu cocok jeung catatan sejarah nu aya atuh hampura, anggap bae dongeng, sabab kalemahanan teu bisa ngabuktikeun catatan tahun atawa waktu seperti dulur-dulur, dibaduy mah teu diwenangkeun budaya tulis.”
Artinya: “Kepada semua pihak (saudara-saudaraku), riwayat yang kami ceritakan dan ditulis ini, mohon jangan menjadi permasalahan yang rumit atau menyusahkan, sebab ini hanya salah satu sumbangan pikiran dan cerita yang ada di Baduy yang mudah-mudahan bermanfaat bagi semua pihak. Jikalau benar atau sesuai dengan catatan sejarah yang sudah ada saya bersyukur, jikalau tidak sesuai dengan catatan sejarah yang ada saya mohon maaf, anggap saja sebuah dongeng, sebab kelemahannya kami tidak bisa membuktikan catatan tahun, dan waktu kejadian seperti yang ada pada saudara-saudaraku, sebab di Baduy tidak diperbolehkan budaya tulis.”
Lain ladang lain belalang, lain kata lain pula pemaknaannya. Ngebanten pada masa lalu di Banten adalah ritual seperti apa yang saya saksikan di Kampung Kelecung Bali yang mempersembahkan Banten setiap hari. Fantasi pikiran saya berloncatan kian kemari membayangkan kembali Banten pada masa lalu seperti yang dituturkan para Jaro Baduy tersebut.
Tulisan ini hanya sekadar berbagi kisah tentang kami, orang Banten di masa lalu versi orang Baduy. Dan terakhir saya ingin mengutip apa yang dikatakan Jalaluddin Rumi, “Kebenaran itu seperti cermin yang pecah di langit. Semua kita hanya memungut serpihan dari pecahan itu, lalu mengira itu keseluruhannya.”[T]