TIGA hari dua malam saya merasakan kehangatan, keramahtamahan masyarakat Kelecung, Tabanan, Bali. Kunjungan ke desa tersebut mungkin bisa disebut Study Tour, karena memang kami banyak belajar, dan juga sedikit melakukan verifikasi atas naskah disertasi ”Pemaknaan Perempuan Dalam Pengembangan Kelecung Eco Village di Desa Tegal Mengkeb, Tabanan, Bali” yang ditulis ibu Ni Wayan Giri Adnyani.
Sebenarnya disertasi sudah dipertahankan pada sidang terbuka promosi Doktor Ilmu Komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta, pada tanggal 4 Oktober 2024.
Jadi mungkin ini salah satu cara mendapatkan pengalaman fenomenologi merasakan apa yang dirasakan penulis disertasi menyaksikan Kelecung mulai dirambah oleh para investor membeli lahan secara masif.
Naskah disertasi dilatarbelakangi utamanya oleh, kegelisahan ibu Ni Putu Ayu Puspawardani, atau yang akrab disapa Aniek, aktor dalam penelitian ini. Keresahan Aktor akan penguasaan lahan oleh investor yang berpotensi meminggirkan peran masyarakat lokal. Aktor merupakan seorang perempuan Bali yang memiliki semangat dan dedikasi dalam membangun dan mengembangkan desanya.
Pengalaman Aktor sesudah bekerja dan menetap selama 10 tahun di Kota Surabaya, juga di Kota Malang saat kuliah di program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Malang menyelesaikan sarjana pendidikan kurang dari 4 tahun.
Ketika berlibur di kampung halaman untuk bernostalgia dengan suasana pantai di kampung halamannya, yang letaknya agak jauh dari desanya kurang lebih 2 km, nostalgianya terganggu, sebab deretan pantai yang dikunjunginya tersebut sudah berubah. Pantai yang dulunya lapang sejauh mata memandang, kini sudah penuh dengan bangunan vila atau resor wisata.
Meski nostalgianya terganggu karena pantai telah dipenuhi dengan bagunan vila dan resor, Aktor tetap saja berusaha menikmati deburan suara ombak Samudera Hindia sambil mendengar suara bocah-bocah yang sedang asyik bermain di pantai. Melihat anak-anak yang sedang asyik bermain di pantai mendapat teguran dari security karena mereka bermain-main di area resor.
Tanpa berpikir panjang, anak-anak itu lekas beranjak pergi dan mencari tempat baru untuk bermain. Meskipun terjadi hanya sepintas, peristiwa itu menghentak batinnya dan seakan ia sedang berdiri di antara dua batas makna yang samar-samar; satu sisi, apa yang dilakukan security tentu merupakan hal wajar (menjalankan tugas sebagai penjaga resor), sementara di sisi lain, anak-anak itu juga memiliki “hak” untuk bermain dan bersenang-senang di pantai. (seperti ditulis Ni Wayan Giri Adnyani)
Kejadian tersebut membuat Aniek gelisah, mulai terusik dengan realitas yang baru dialaminya (lived experienced). Kegelisahan itu, yang terbawa ke rumahnya, makin bertambah ketika ia mengetahui dari kerabatnya (yang kebetulan menjabat kepala dusun) bahwa sebagian besar dari area sepanjang pantai itu sudah tak lagi dimiliki masyarakat lokal, melainkan sudah beralih ke tangan para investor. Bahkan, di kampung halamannya (Dusun Kelecung), Aktor juga menemukan beberapa papan tanda yang menegaskan kepemilikan lahan sebagian pantai di desanya.
Konon kebanyakan pemilik lahan itu warga negara Rusia, atau perusahaan-perusahan dari Rusia. Saya menyaksikan sendiri patok-patok lahan, pagar pembatas yang menghalangi aktivitas warga lokal. ”Dilarang masuk ini Property Pribadi” ini menjadi ”pengumuman” biasa di Kelecung.
Itulah realitas yang dihadapi Aktor ketika berlibur di kampung halaman, yang memunculkan keprihatinan, ketika; (1) berinteraksi dengan anak-anak yang terusir ketika sedang bermain di tepi pantai, dan (2) mengetahui bahwa sebagian dari pantai dan sawah di desanya sudah tak lagi menjadi milik masyarakat. Apa yang muncul dalam benak Aktor adalah rasa kecewa; rasa kecewa itu tetap terbawa hingga ia kembali ke kota Surabaya untuk melanjutkan kehidupannya.
Berangkat dari Keresahan
Kegelisahan akan realitas sosial di kampung halamannya, yang dirasakan Aktor dan terbawa hingga ke Surabaya, membawanya kepada upaya untuk memaknai kembali realitas terpinggirnya hak anak-anak desa untuk bermain di alam bebas di wilayah kampung halamannya seperti pantai sebagai area publik di desanya.
Proses ini kemudian memunculkan keresahan dalam benaknya. Bagi Aktor, kemunculan keresahan atas kesenjangan antara das sein dan das sollen yang mengganggu batinnya. Dari keresahan tersebut, kemudian ingin mewujudkan desanya, sebagai Kelecung Eco Village. Namun, taruhan untuk menjadikannya nyata adalah kehilangan “karier mapan” yang sudah dibangunnya selama belasan tahun di Surabaya. Inilah yang melatar belakangi naskah disertasi ibu Ni Wayan Giri Adnyani.
Saya menginap di homestay milik ibu Dian salah satu perempuan yang tergabung dengan gerakan konsep Kelecung Eco Village yang digagas sang aktor. Menurutnya, ini salah satu cara kami dengan mba Aniek untuk menjawab dan mempertahan desa kami dari para investor yang ingin membeli lahan lebih banyak lagi dari desa kami.
Di tengah pesatnya pembangunan dan arus investasi yang terus mengalir ke Pulau Bali, muncul sebuah ironi yang mengusik hati masyarakat Bali, salah satu mbak Aniek (Ni Putu Ayu Puspawardani). Lahan-lahan yang dulunya merupakan warisan leluhur dan sumber penghidupan kini sebagian besar berpindah tangan ke investor besar. Fenomena ini menimbulkan keresahan mendalam, terutama bagi masyarakat lokal yang semakin terpinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri.
Hal ini dibuktikan dari riset Arisanjaya & Arimbawa (2021) yang menyoroti fenomena konflik pertanahan yang terjadi akibat pembangunan akomodasi pariwisata di wilayah pesisir di sekitar Tanah Lot. Seperti disampaikan Giri Adnyani, fenomena tersebut muncul sebagai implikasi dari kompleksitas konflik kepentingan yang muncul di antara berbagai kelompok, termasuk dari investor dengan masyarakat setempat.
Aktor pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kariernya yang mapan, ia ingin mewujudkan berdirinya Kelecung Eco Village. Sejarah Kelecung Eco Village di Desa Adat Kelecung, yang secara administratif merupakan bagian dari Desa Tegal Mengkeb, telah mengembangkan sektor pariwisatanya dengan brand Kelecung Eco Village. Inisiatif ini bermula pada September 2015, sebagai upaya kolektif masyarakat Kelecung untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Upaya pengembangan desa wisata ini dilakukan melalui Kelecung Project, sebuah program kerja sama antara tim dari Kanada dan Bali yang dipimpin oleh Aktor dalam disertasi ini. Program Eco Village diluncurkan dengan tujuan menarik wisatawan untuk merasakan kehidupan Bali yang otentik, sekaligus memberikan dampak positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Perekonomian Kelecung, yang awalnya bertumpu pada pertanian tanaman pangan dan peternakan, kini mulai merambah ke sektor ekowisata. Penginapan lokal menawarkan akomodasi dan makanan yang nyaman, sementara tur keliling, program pendidikan, dan pengalaman langsung memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan dan budaya lokal kepada para wisatawan.
Pesona Kelecung
Keberadaan Kelecung yang strategis, diapit oleh pegunungan dan Samudera Hindia, menjadikannya seperti oasis yang damai dan ramah bagi pengunjung. Sungai Yeh Mataan yang mengalir melintasi dusun, serta pantai berpasir hitam yang eksotis, menambah daya tarik alamiahnya. Hamparan sawah yang luas tidak hanya menjadi sumber penghidupan bagi penduduk desa melalui pertanian, tetapi juga menyuguhkan pemandangan indah yang memanjakan mata.
Kelecung Eco Village merupakan landscape yang begitu indah. Pengunjung bisa bermain di bibir pantai yang langsung berbatasan dengan Samudera Hindia, sekaligus bisa melihat gagahnya Gunung Batukaru yang berdiri tegak perkasa.
Pesona Kelecung Eco Village di Desa Tegal Mengkeb yang terletak di Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, berada pada ketinggian ± 8,533 meter di atas permukaan laut (MDPL). Desa ini memiliki luas wilayah yang cukup besar, yakni 549,363 hektar. Salah satu ciri khas Tegal Mengkeb adalah garis pantainya yang membentang sepanjang 549 hektar linear, berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan berdekatan dengan ikon wisata Bali, Pura Tanah Lot.
Desa Tegal Mengkeb merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) desa yang terdapat di Kecamatan Selemadeg Timur, terletak 5,9 km ke arah selatan dari Jalan Raya Denpasar – Gilimanuk dan termasuk dalam sebaran wisata Pantai Soka. Desa ini memiliki luas wilayah 549.663 Ha, berada pada ketinggian 200-300 m dari permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 34-32℃.
Atraksi wisata alam yang terdapat di Desa Tegal Mengkeb berupa wisata alam pantai yaitu Pantai Kelecung yang terdapat di Banjar Kelecung Kelod. Pantai Kelecung merupakan pantai berpasir hitam yang terdapat di bagian selatan Desa Tegal Mengkeb. Sepanjang jalan menuju ke arah Pantai Kelecung, terdapat pemandangan alam sawah dan pohon kelapa yang menghiasi pinggir jalan.
Sesampainya di Pantai Kelecung, para wisatawan akan disuguhi dengan pemandangan laut yang menyegarkan mata dengan gulungan ombak yang saling kejar-mengejar. Batu karang besar yang terdapat di Pantai Kelecung menambah keindahan pantai yang masih sepi pengunjung ini, didukung pula dengan kondisi pantai yang bersih dan asri. Pantai Kelecung ini sangat cocok bagi para wisatawan yang menginginkan suasana santai, tenang, damai, dan privat karena jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.
Jawaban Kegelisahan
Gagasan Kelecung Eco Village, sebagai perpaduan dari terbebasnya pantai dan lahan-lahan dari gempuran para investor dan pembangunan pariwisata yang tidak meminggirkan masyarakat Kelecung.
Sebagai sebuah gagasan, Kelecung Eco Village dalam bingkai pariwisata Bali juga menjadi jawaban atas kegelisahan perkembangan pariwisata Bali yang banyak memunculkan dampak negatif menurut Giri Adnyani. Seperti dilaporkan, Suriyani (2023) mengemukakan bahwa perkembangan pariwisata di Bali telah menimbulkan masalah ketidakadilan agraria, budaya, dan sosial; dalam studi ini, ketidakadilan itu bertambah satu, yakni ketidakadilan gender.
Juga dalam laporannya, Colorni (2018) menjelaskan betapa sektor pariwisata kerap kali menggusur para petani dari tanah mereka, mengambil sumber daya air dengan berlebihan dan bahkan mencemarinya, dan termasuk juga mengikis keragaman dan warisan varietas padi lokal. Colorni (2018) menguraikan bagaimana perkembangan pariwisata di Bali membuat Bali harus kehilangan hampir 25% lahan pertaniannya selama 25 tahun terakhir.
Apa yang dilihat Aktor dalam Kelecung Eco Village merupakan suatu bentuk pembangunan pariwisata humanis, tidak melandasi pariwisata semata mata dengan nilai-nilai kapitalistik (mass tourism) atau menggeser peran dari masyarakat lokal terlibat dalam berbagai prosesnya. Itulah visi sang Aktor di balik Kelecung Eco Village yang hendak diwujudkannya, dan sekaligus menjadi simbol bahwa perempuan juga bisa berkarya (dengan pemikiran) dan bergerak (mengambil peran tertentu sehingga dapat mewujudkan pemikiran tersebut).
Semoga gagasan Kelecung Eco Village menjadi gerakan sosial pada masyarakat untuk melindungi daerahnya, memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika lokal, menawarkan wawasan baru tentang bagaimana konsep global seperti pariwisata berbasis masyarakat dan pemberdayaan perempuan diterjemahkan dan dinegosiasikan dalam konteks budaya lokal yang spesifik.
Lestari alamku, lestari desaku, lestari Baliku. Naskah ini merupakan cuplikan disertasi Giri Adnyani, yang saya coba tulis ulang, menambahkan sedikit pengalaman selama di Klecung. [T]