DI tengah meningkatnya laju kunjungan wisatawan, model pembangunan kawasan di Bali saat ini mengarah kepada enclave. Enclave adalah sebuah kawasan yang dibangun secara khusus dengan perimeter yang tegas memiliki luasan yang relatif besar dan di dalamnya terdapat berbagai fasilitas untuk melayani penghuninya.
Meski tidak menyebutkan secara khusus, enclave ini tidak hanya berfungsi untuk melayani kepentingan wisatawan secara ekslusif tetapi juga berfungsi sebagai instrument investasi. Itulah sebabnya lokasi-lokasi tempat enclave ini berada di dekat kawasan wisata yang sedang berkembang dimana nilai lahan terus mengalami peningkatan. Reputasi tempat menjadi penting untuk menarik minat investor global.
Data kunjungan wisatawan sejak 1965-2023 menunjukkan jika jumlah kunjungan belum mencapai angka seperti sebelum covid tetapi lajunya jauh lebih cepat sehingga dalam waktu singkat angka tersebut akan segera terlampaui. | Sumber: diolah dari BPS Provinsi Bali
Wujud dari enclave ini berupa kawasan wisata yang direncanakan secara eksklusif, seperti resor all-inclusive, komunitas villa yang terjaga keamanannya dalam bentuk gerbang satu pintu (one gate system), beach club atau day club dengan fasilitas lengkap, dan pantai yang diprivatisasi.
Dalam satu dekade terakhir, jumlah fasilitas semacam ini meningkat dengan pesat. Termasuk juga di dalamnya adalah kompleks villa-villa yang bisa dimiliki secara pribadi yang dilengkapi fasilitas publik dengan sistem bagi hasil yang menggiurkan para pemilik modal.
Menilik dari jenis fasilitas yang disediakan, skala luas yang dicakup hingga lokasi yang ada di kawasan premium maka dapat dipastikan bahwa ada investasi sangat besar yang ditanamkan. Dana-dana besar tersebut sangat kecil kemungkinan dimiliki oleh orang lokal sehingga pemiliknya merujuk aktor-aktor global yang memiliki dana besar, serta melibatkan kuasa politik yang kuat untuk meloloskan perijinannya.
Secara wujud, ciri-ciri pokoknya adalah adanya pemisahan secara fisik dan simbolik dengan kawasan sekitar yang membuatnya tidak memiliki koneksi langsung dengan masyarakat serta struktur ekonomi lokal. Enclave-enclave ini seperti ‘pulau-pulau’ ekslusif di tengah lautan lansekap vernacular sekitarnya. Seringkali secara kasat mata menunjukkan adanya kesenjangan kuasa, ketidakadilan social akibat konsentrasi infrastruktur di kawasan tersebut, dan bisa mengarah pada praktik-praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan. Meski banyak menggunakan jargon-jargon lokal seperti Tri Hita Karana, Nawa Sanga, dan sebagainya, dalam praktiknya justru tujuan untuk mengumpulkan kapital sangat kentara.
Saat ini, kondisi kawasan mungkin terlihat baik-baik saja, tetapi ada potensi dampak negatif yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Realita kawasan enclavic ini memisahkan wisatawan atau pemilik yang beraktivitas di dalamnya dengan realitas sosial di sekitarnya karena akses penduduk lokal yang dikontrol bahkan dicegah. Akses hanya berlaku untuk tujuan kerja. Pekerja lokal pun seringkali menempati hirarki bawah: tukang kebun, satpam, sopir, room service.
Dalam proses pembangunannya, seringkali masyarakat lokal selaku ‘tuan rumah’ tidak memiliki akses memadai sejak tahap penetapan lokasi, pemberian ijin, perencanaan kawasan, perancangan arsitektur hingga operasional dari kawasan-kawasan terbatas tersebut. Hal ini menunjukkan dengan jelas adanya kekuatan-kekuatan aktor eksternal baik itu pemodal, developer, perencana hingga arsitek non-lokal yang bekerja di balik terwujudnya kawasan enclave.
Dengan demikian, wujudnyapun lebih memenuhi tuntutan dan selera global atau setidaknya hanya memenuhi pandangan para aktornya terhadap Bali.
Enclave pertama yang hadir di Bali, bolehdibilang, adalah kompleks Batujimbar yang diinisiasi oleh Donald Friend bersama rekan bisnisnya Wija Waworuntu. Beruntung bagi Bali karena yang mereka undang ke Bali adalah arsitek regionalis Geoffrey Bawa. Meskipun merupakan aktor global, kelompok ini merupakan pecinta budaya lokal yang kental.
Sebelum mulai merancang, Bawa melakukan studi mendalam tentang arsitektur di Bali. Hasil rancangannya dengan wujud tidak kontras dengan bangunan dan lansekap lokal Bali menjadi awal mula kelahiran gaya arsitektur resort Bali Style.
Meski demikian, ruang-ruang yang dia rancang sebetulnya sangat modern. Interior rumah-museum Donald Friend, yang ada di dalam kawasan tersebut, dirancangnya lebih mendekati loft ala kota besar dunia seperti di London atau New York. Untunglah secara tektonika, Bawa mengambil referensi bangunan Bale Kambang di Kertagosa.
Enclave yang lebih gigantic adalah kawasan BTDC Nusa Dua. Tujuan pembangunannya memang mau memisahkan fasilitas turis dengan permukiman masyarakat. Ini lahir dari kekhawatiran konsultan SCETO yang memprediksi jika keduanya digabung akan berdampak buruk bagi kebudayaan Bali yang menjadi modal dasar pengembangan kepariwisataan.
Selain enclave, konsultan asal Perancis ini juga merekomendasikan stop-over. Tujuannya sama, agar turis tidak menganggu aktivitas budaya Masyarakat. Ini adalah keterlibatan konsorsium besar pertama di dunia dimana perencanaan dan pembangunannya dibiayai oleh Lembaga keuangan global, World Bank, melibatkan actor-aktor global dan nasional, konsultan SCETO, dengan amat sangat sedikit keterlibatan orang Bali.
Enclave Nusa Dua yang mulai dikenalkan tahun 1971, melalui Bali Tourism Masterplan, tidak menarik minat investor yang masih skeptis dengan potensi pariwisata Bali. Pemerintah akhirnya membuka hotel pertama, Nusa Dua Beach Hotel, sebagai pancingan. Arsiteknya adalah Dharmawan Prawirohardjo yang sempat magang di WATG, konsultan resort terkemuka. Seperti juga Bawa, Dharmawan mengambil referensi lokal dalam mewujudkan rancanganya.
Setelah itu, barulah dimulai pembangunan oleh swasta dengan banyak kemudahan dan insentif yang diberikan oleh pemerintah. Karena SCETO khawatir jika Pembangunan oleh investor global bisa merusak modal kebudayaan, maka mereka juga merekomendasikan agar pembangunan diawasi dengan ketat sehingga muncul badan Design Committee yang bertanggung jawab atas wujud fisik kawasan.
Enclave ini berjalan mulus. Tetapi kawasan serupa yang muncul tahun 1990-an mendapat banyak penolakan. Bali Pecatu Graha, BTID di Serangan, Bali Nirwana Resort, hingga pengembangan Kawasan Padang Galak ramai penolakan dengan demo berjilid-jilid. Penolakan ini muncul akibat minimnya kontribusi langsung dari pengembangan enclave-enclave ini bagi mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah petani. Kehadirannya juga dianggap menganggu indentitas simbolik hingga dapat mempengaruhi kesejahteraan spiritual masyarakat.
Bukan kebetulan jika semua enclave yang ditolak tersebut berlokasi di dekat kawasan pantai yang disucikan oleh penduduk lokal.
Gerakan kapital global yang dinamis belakangan ini, setelah dibukanya sekat-sekat investasi antar negara, membuat pembangunan enclavic kembali menjadi trend. Tidak perlu insentif karena nama Bali terlanjur menjadi merk dagang dengan banyaknya predikat dan penghargaan yang disandangnya. Tidak banyak penolakan yang terjadi karena masyarakat Bali sudah memiliki ketergantungan yang akut terhadap pariwisata. Angka-angka kunjungan yang melonjak drastis setelah dibukanya bandara pasca pandemi menarik minat wisatawan yang selanjutnya juga mengundang investor global.
Pemerintah daerah yang ekonominya tiarap selama dua tahun masa pandemi menyambut kehadiran tamu-tamu ini dengan antusias. Antusiasme yang ditunjukkan ini juga menjalar kepada berbagai kemudahan ijin masuk, ijin tinggal, serta peluang membuka usaha di Bali. Ini menjadi kondisi ideal bagi masuknya modal global yang digerakkan sistem neoliberalistik untuk mendorong pembangunan enclavic.
Kendali petani atas lahan sawahnya dalam intaian investasi global | Foto: Maha Putra
Karakter enclave baru ini terbagi dua. Yang pertama adalah yang disponsori oleh pemerintah. Enclave kategori kedua merupakan kawasan yang dikembangkan oleh swasta. Enclave yang dikembangkan oleh pemerintah bersifat tematik, memfasilitasi kapital-kapital besar dan strategis bagi perekonomian negara. Lokasi yang dipilih tentu saja bukan tempat sembarangan tetapi yang memiliki akses sangat memadai ke bandar udara karena penggunanya diproyeksikan berasal dari luar pulau bahkan luar negeri. Wujudnya adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dimana pemerintah dan pengembang swasta bekerjasama dalam perwujudannya. Pemerintah menyediakan aturan-aturan terkait dengan perijinan sementara swasta berinvestasi dalam wujud fisik dan operasional kawasan ekslusif ini.
Enclave jenis kedua adalah yang diinisiasi dan dikembangkan oleh swasta. Meski tidak secara terbuka didukung oleh pemerintah, pembangunannya juga difasilitasi oleh elit-elit birokrasi lokal. Tanpa pihak ini, dipastikan hal-ihwal perijinan akan rumit. Bentuk yang kedua ini juga masih bisa dibagi ke dalam kategori lagi dari segi pembiayaan. Ada yang dibiayai oleh pemodal satu perusahaan dan ada juga yang dibangun dengan modal yang diakumulasi dari banyak pemodal kecil atau diistilahkan dengan co-funding.
Dalam penyediaannya, pengembang bertugas memilih lokasi yang memiliki nilai lahan yang terus meningkat sehingga bagus sebagai instrumen investasi, menyeleksi arsitek ternama yang memiliki nilai jual di mata calon investor, memberi pekerjaan kepada kontraktor yang mampu memberi harga terbaik dengan kualitas yang bagus, menyediakan supplier material kualitas bagus dan harga terjangkau.
Selain itu, peran para penjual, marketer, juga tidak bisa diabaikan. Mereka memiliki kemampuan memprediksi pasar, menghitung pengembalian modal serta keuntungan, memitigasi kemungkinan kegagalan investasi serta memberi jaminan keamanan investasi. Ini adalah kelompok yang memberi rasa nyaman bagi para calon investor. Bayarannya bisa sangt tinggi atas jasa yang diberikan.
Proses pembangunan enclavic oleh swasta juga memiliki tingkat kerawanan hukum. Persoalan agraria, masalah perijinan, urusan perbankan dan hal lainnya bisa menjadi potensi yang bisa menimbulkan persoalan. Pengembang umumnya akan menyewa pengacara yang bertugas mengurus asas-asas legalitas. Lokasi yang strategis, keterlibatan arsitek ternama, jaminan kemanan finansial, serta kenyamanan dari sisi legal adalah pancingan bagi investor dalam menanamkan modalnya di property enclavic.
Kita hari ini menyaksikan beberapa proyek enclavic swasta berukuran besar di Bali mulai dari Nuanu City di Tabanan, ParQ di Ubud dan di beberapa lokasi lainnya, proyek-proyek milik kelompok Magnum, komplek-komplek villa dan apartment sewa dan seterusnya dibangun di Lokasi-lokasi paling premium yang ada di Bali.
Tugas utama dari proyek-proyek ini adalah sebagai mesin uang bagi para investor globalnya. Sebagai mesin uang, maka harus menarik perhatian dengan desain-desain arsitektur spektakuler. Desain yang biasa saja? Lupakan saja. Impor-impor wujud arsitektur yang laku secara global terjadi tanpa bisa ditahan. Pertahanan perijinan seperti jaring jebol saat berhadapan dengan pemodal raksasa.
Keberhasilannya mencetak keuntungan besar membuat model pembangunan semacam ini menjadi semakin lumrah. Lokasi-lokasi baru terus dicari dan dikembangkan. Tanpa sadar, kita semakin kehilangan kontrol atas lahan-lahan yang ada di Bali karena ada dalam genggaman kuasa aktor global. Sekali berkuasa, mereka dengan leluasa memanfaatkan lahan-lahan tersebut dengan cara disewakan, dikomersialkan, dialihtangankan, atau dijadikan sebagai lokasi festival-festival global mendatangkan DJ, dancers, penghibur pertunjukan kelas dunia.
Modal investasi di dalam enclave berputar cepat dalam jumlah besar. Tetapi Masyarakat lokal, yang sudah kehilangan kontrolnya atas lahan-lahan tersebut dan memiliki akses yang terbatas, tidak mendapat keuntungan langsung dari aktivitas di dalam enclave. Jikapun ada, bentuknya hanya bersifat sekunder atau tertier seperti menjadi sopir taksi online yang mengantar tamu ke bandara atau hotel selepas pesta.
Model pembangunan enclavis saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan surut. Malah, semakin banyak model-model investasi yang ditawarkan dengan berbagai skema keuangan yang kian canggih. Ini menyebabkan para pengembang menjadi semakin terpacu untuk menambah cabang-cabang enclave nya. Di sinilah letak masalah akan muncul.
Bagaimana jika sebagian besar kawasan di Pantai Nyanyi menjadi enclave? Ke mana penduduk lokal akan pindah? Bagaimana jika sebagian besar lokasi-lokasi tepian pantai dikuasai oleh investor-investor global? Bagaimana sistem kontrol akan diberlakukan? Bagaimana jika ruang-ruang simbolik masyarakat lokal dikuasai dan direncanakan menurut keinginan kapital global?
Masih banyak pertanyaan yang berputar dan membutuhkan pemikiran. Mohon maaf, tidak ada gambar meyakinkan soal ini. [T]
- BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA